Mohon tunggu...
Khairul Fahmi
Khairul Fahmi Mohon Tunggu... profesional -

Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS). Lahir di Mataram, 5 Mei 1975. Tahun 1990 melanjutkan studi di kota gudeg, Jogjakarta. SMA 3 Padmanaba, menjadi pilihannya. Program Studi Ilmu Politik Universitas Airlangga menjadi tempat studi berikutnya. Kampus ini juga kemudian menjadi alamat domisilinya yang paling jelas selama beberapa tahun. Nomaden, T4 (Tempat Tinggal Tidak Jelas), 'mbambung'. Jangan kaget kalau menemukannya sedang tidur di bangku terminal, stasiun, atau rumah sakit, baik di Surabaya atau di kota lain," kata beberapa rekan dekatnya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

ISIS Berulah, Indonesia Tak Boleh Lengah

6 Juli 2016   07:47 Diperbarui: 6 Juli 2016   09:00 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Breaking news Kompas TV tentang bom bunuh diri di Mapolresta Solo, Selasa, 5 Jyli 206"][/caption] Tiga serangan di tiga kota berbeda di Arab Saudi kemarin, sangat memprihatinkan. Kawasan suci Madinah, Masjid Syiah di Qatif dan kawasan Konsulat AS di Jedah menjadi sasaran bom bunuh diri. 

Sepekan terakhir, ISIS memang dikabarkan mengganas. Rangkaian serangan bersenjata dan peledakan yang terjadi di Turki, Perancis, Irak dan terakhir di Arab Saudi dikaitkan dengan ancaman seorang petinggi ISIS pada bulan Mei lalu bahwa Ramadhan kali ini akan jadi bulan yang sangat berdarah-darah bagi musuh-musuh mereka. Selain rangkaian itu, sebuah serangan bersenjata di AS, dilaporkan juga terinspirasi ISIS.

Bukan mengecilkan makna peristiwa di Arab Saudi, otoritas Indonesia perlu lebih waspada terhadap potensi model serangan Turki dan Perancis, terjadi di sini. Selain karena sudah pernah terjadi sebelumnya dengan serangan Thamrin, situasi dan kondisi Indonesia memang lebih memungkinkan model serangan ke Bandara Istanbul dan serangan terhadap aparat kepolisian terjadi di Indonesia.

Rangkaian serangan itu bagi saya juga menunjukkan bahwa ISIS belum mengidentifikasi secara jelas musuh ideologisnya selain Syiah. Kecuali serangan ke Madinah yang tampak sebagai peringatan atas praktik apa yang mereka anggap sebagai bid'ah dan pemberhalaan di tanah suci, serangan ISIS selama ini lebih menggambarkan motif ekonomi-politik terkait aset, sumber daya dan teritorial.

Terkait Indonesia, saya berkali-kali mengingatkan bahwa kita masih sangat rentan terhadap aksi-aksi terorisme. Meski demikian, saya masih meragukan afiliasi langsung ISIS dengan kelompok-kelompok penggemar teror di Indonesia. Saya melihat mereka sebagai kelompok penggemar yang terinspirasi dan terus berupaya memelihara korespondensi dengan kekuatan-kekuatan utama ISIS di Timur Tengah. Juga mengajukan proposal bagi kiprah ISIS di Asia Tenggara dan sebagai daerah persiapan untuk menyerang Australia.

Rangkaian serangan kampanye horor ISIS pekan ini, menurut saya, bisa saja memotivasi mereka untuk kembali antusias berkorespondensi dan mengingatkan proposal-proposal yang telah diluncurkan. Tentu saja 'reminder' itu bukan sekedar surat, melainkan penanda. Berupa serangan kecil, simultan, sporadis dan acak, meski sasaran ruang publik dan aparat keamanan terutama yang relatif lemah, tetap yang paling potensial.

Peringatan Kapolri pekan lalu terhadap potensi teror di Indonesia, menunjukkan pemerintah sudah lebih waspada dan tak ingin kecolongan. Serangkaian upaya pengungkapan jaringan teror terus berjalan. Bahkan harus diakui lebih baik dari sebelumnya, dengan minimnya tersangka yang tewas.

Sayangnya, prediksi ini belum dibarengi peningkatan kewaspadaan yang lebih sistematis dan tidak terkesan panik. Jangan sampai ada semacam kelengahan karena sukses-sukses penangkapan kemarin sehingga hanya terfokus pada informasi-informasi para tersangka dan tidak mengembangkan kemungkinan-kemungkinan.

Pasalnya, euforia sukses kampanye ISIS di Timur Tengah, bisa saja menular. Jaringan teror yang sebelumnya merasa terjepit, terpacu semangatnya untuk beraksi. Meski dalam intensitas kecil hingga sedang yang bisa saja tak direncanakan jauh hari sebelumnya, atau bahkan berubah dari rencana awal.

Terkait dengan program-program deradikalisasi yang diusung pemerintah, dalam pandangan saya, metode sosialisasi melalui pengajian, ceramah Pancasila maupun kampanye belanegara, tak cukup efektif bahkan tak konstruktif. Hal itu sudah dilakukan sejak 15 tahun lalu, dan nyatanya tak membuahkan berkurangnya ancaman teror. Lagipula bagaimana kita menepis bahwa teror itu berkait dengan radikalisme agama, jika program-program pencegahannya mayoritas melibatkan kelompok berbasis agama?

Ratusan WNI yang dikabarkan berada di kawasan yang dikuasai ISIS, maupun penggemar-penggemar kelompok ini di dalam negeri, tak cukup menunjukkan bahwa mereka  terafiliasi dalam kelompok-kelompok Islam arus-utama. Mereka bisa datang dari strata masyarakat mana saja. Fanatisme mereka tepatnya,  dibangun atas dasar persepsi kebencian dan dendam atas apa yang dirasakan sebagai ketidakadilan, kemelaratan dan kebodohan.

Untuk itu, alangkah baiknya jika pemerintah menyusun program mitigasi yang lebih komprehensif. Mulai dari peningkatan kewaspadaan, daya tahan warganegara terhadap ancaman hingga pemulihan pasca teror. Sembari tentu saja memperbaiki kondisi sosial ekonomi dan penegakan hukum, yang menumbuhsuburkan kekecewaan, kebencian dan akhirnya niat mengubah keadaan.

Di sisi lain, aparat di lapangan tanpa memandang besar-kecil peran mereka, terutama pada aparat-aparat kepolisian dan penyedia jasa keamanan yang tidak terkait langsung dengan penanganan ancaman teror, mesti dibekali informasi cukup soal situasi dan kondisi ancaman. Kita melihat betapa petugas polisi lalulintas menjadi korban serangan Thamrin. Informasi ini diperlukan agar para petugas memiliki cara bertindak, pelaksanaan prosedur dan analisis cepat terhadap kemungkinan situasi yang dihadapi dengan lebih memadai.

Rangkaian serangan pekan ini tak boleh dianggap sepele. Serangan Thamrin 14 Januari 2016 terjadi hanya berselang dua bulan dari serangan Paris dan hanya beberapa hari setelah serangan di Ankara, Turki. Begitu pula soal potensi model serangannya. Apakah dengan bom, senjata api atau bahkan dengan bahan kimia beracun berbahaya.

Aparat terkait seperti Polri, BNPT, BIN dan TNI perlu mempelajari dan bertukar informasi mengenai apa-apa yang dinilai tidak efektif dalam deteksi dini dan respon terhadap ancaman teror di kawasan-kawasan yang mendapat serangan belakangan ini. Kita juga harus terus memastikan kesiapan, terutama di kota-kota besar, terhadap potensi seperti serangan bunuh diri dan situasi pengepungan/penyanderaan.

Simulasi model-model serangan yang kurang lebih merekonstruksi skenario yang terjadi di Turki dan Arab Saudi yang mungkin ditiru oleh kelompok-kelompok teror di dalam negeri perlu terus dilakukan dan diuji pola reaksinya. Sementara itu, pengawasan dan deteksi dini juga tidak bisa hanya mengandalkan perangkat digital dengan teknologi canggih sekalipun.

Kewaspadaan memang harus ditingkatkan mengingat kita memiliki banyak 'sasaran empuk' terhadap aksi-aksi teror bersenjata dan ada celah rawan dalam hal kewaspadaan dan deteksi dini terutama di sasaran-sasaran sipil.

Kepekaan, kewaspadaan dari aparat keamanan hingga lini terdepan seperti Satpam, unit-unit keamanan internal maupun petugas-petugas lainnya yang secara langsung berhadapan dengan publik harus terus diperkuat dan ditingkatkan. Tentunya dalam batas yang tidak sampai mengganggu kenyamanan warga.

Selain itu, jangan dilupakan juga, sistem keamanan yang baik selalu membutuhkan partisipasi masyarakat. Penting bagi Polri dan aparat keamanan lainnya untuk menjaga perilaku dan tindakannya agar tidak mencederai hati masyarakat. Agar jangan sampai kehilangan potensi sumber informasi terbaiknya, yaitu masyarakat.

Terakhir perlu juga diingatkan terus, bahwa potensi ancaman ini jangan sampai juga dimanfaatkan hanya sebagai 'cipta kondisi'. Terutama terkait pembahasan RUU Anti Terorisme dan sekedar mencari dukungan tambahan anggaran dengan memasukkan urgensi penambahan personil, logistik dan peralatan pada aktivitas-aktivitas operasi seperti di Poso, Sulawesi Tengah maupun di berbagai daerah lainnya. Semoga tidak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun