Mohon tunggu...
Khairul Fahmi
Khairul Fahmi Mohon Tunggu... profesional -

Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS). Lahir di Mataram, 5 Mei 1975. Tahun 1990 melanjutkan studi di kota gudeg, Jogjakarta. SMA 3 Padmanaba, menjadi pilihannya. Program Studi Ilmu Politik Universitas Airlangga menjadi tempat studi berikutnya. Kampus ini juga kemudian menjadi alamat domisilinya yang paling jelas selama beberapa tahun. Nomaden, T4 (Tempat Tinggal Tidak Jelas), 'mbambung'. Jangan kaget kalau menemukannya sedang tidur di bangku terminal, stasiun, atau rumah sakit, baik di Surabaya atau di kota lain," kata beberapa rekan dekatnya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

ISIS Berulah, Indonesia Tak Boleh Lengah

6 Juli 2016   07:47 Diperbarui: 6 Juli 2016   09:00 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk itu, alangkah baiknya jika pemerintah menyusun program mitigasi yang lebih komprehensif. Mulai dari peningkatan kewaspadaan, daya tahan warganegara terhadap ancaman hingga pemulihan pasca teror. Sembari tentu saja memperbaiki kondisi sosial ekonomi dan penegakan hukum, yang menumbuhsuburkan kekecewaan, kebencian dan akhirnya niat mengubah keadaan.

Di sisi lain, aparat di lapangan tanpa memandang besar-kecil peran mereka, terutama pada aparat-aparat kepolisian dan penyedia jasa keamanan yang tidak terkait langsung dengan penanganan ancaman teror, mesti dibekali informasi cukup soal situasi dan kondisi ancaman. Kita melihat betapa petugas polisi lalulintas menjadi korban serangan Thamrin. Informasi ini diperlukan agar para petugas memiliki cara bertindak, pelaksanaan prosedur dan analisis cepat terhadap kemungkinan situasi yang dihadapi dengan lebih memadai.

Rangkaian serangan pekan ini tak boleh dianggap sepele. Serangan Thamrin 14 Januari 2016 terjadi hanya berselang dua bulan dari serangan Paris dan hanya beberapa hari setelah serangan di Ankara, Turki. Begitu pula soal potensi model serangannya. Apakah dengan bom, senjata api atau bahkan dengan bahan kimia beracun berbahaya.

Aparat terkait seperti Polri, BNPT, BIN dan TNI perlu mempelajari dan bertukar informasi mengenai apa-apa yang dinilai tidak efektif dalam deteksi dini dan respon terhadap ancaman teror di kawasan-kawasan yang mendapat serangan belakangan ini. Kita juga harus terus memastikan kesiapan, terutama di kota-kota besar, terhadap potensi seperti serangan bunuh diri dan situasi pengepungan/penyanderaan.

Simulasi model-model serangan yang kurang lebih merekonstruksi skenario yang terjadi di Turki dan Arab Saudi yang mungkin ditiru oleh kelompok-kelompok teror di dalam negeri perlu terus dilakukan dan diuji pola reaksinya. Sementara itu, pengawasan dan deteksi dini juga tidak bisa hanya mengandalkan perangkat digital dengan teknologi canggih sekalipun.

Kewaspadaan memang harus ditingkatkan mengingat kita memiliki banyak 'sasaran empuk' terhadap aksi-aksi teror bersenjata dan ada celah rawan dalam hal kewaspadaan dan deteksi dini terutama di sasaran-sasaran sipil.

Kepekaan, kewaspadaan dari aparat keamanan hingga lini terdepan seperti Satpam, unit-unit keamanan internal maupun petugas-petugas lainnya yang secara langsung berhadapan dengan publik harus terus diperkuat dan ditingkatkan. Tentunya dalam batas yang tidak sampai mengganggu kenyamanan warga.

Selain itu, jangan dilupakan juga, sistem keamanan yang baik selalu membutuhkan partisipasi masyarakat. Penting bagi Polri dan aparat keamanan lainnya untuk menjaga perilaku dan tindakannya agar tidak mencederai hati masyarakat. Agar jangan sampai kehilangan potensi sumber informasi terbaiknya, yaitu masyarakat.

Terakhir perlu juga diingatkan terus, bahwa potensi ancaman ini jangan sampai juga dimanfaatkan hanya sebagai 'cipta kondisi'. Terutama terkait pembahasan RUU Anti Terorisme dan sekedar mencari dukungan tambahan anggaran dengan memasukkan urgensi penambahan personil, logistik dan peralatan pada aktivitas-aktivitas operasi seperti di Poso, Sulawesi Tengah maupun di berbagai daerah lainnya. Semoga tidak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun