Beberapa hari terakhir, siapa tidak kenal Selly Yustiawati alias Rasellya Rahman Taher dan Melinda Dee alias Inong Melinda. Keduanya sontak menjadi pesohor baru dan menjadi isu nasional karena terlibat dalam kasus penipuan dan pencucian uang. Sudah menjadi perbincangan umum serta di dunia maya jika keduanya memiliki paras cantik, seksi dan hal "menonjol" lainnya. Dengan latar belakang pendidikan tinggi dan kemampuan bersosialisasi di atas rata-rata (lincah dan supel), mereka mampu membuat korbannya bertekuk lutut.
Lebih mencengangkan, Selly mengelabui dan membawa lari uang korbannya untuk sekedar foya-foya dan menuruti gaya hidup. Sedangkan Melinda lebih wah lagi, aksinya mampu "menghasilkan" mobil-mobil mewah seharga miliaran rupiah (MetroTVNews, 1/4/2011). Dilihat dari posisinya sebagai Relation Manager sebuah bank swasta asal Paman Sam, jelas dia tidak kekurangan gaji dan hemat penulis dia tidak sekedar menuruti gaya hidup. Terus, apa yang sebenarnya dicari?
Tidak arif dan tidak bijaksana menjustifikasi Selly dan Melinda sebagai sampah masyarakat. Karena sejatinya mereka adalah bagian dari kita, (mungkin) kita memiliki peran (langsung maupun tidak langsung) menjadikan mereka seperti itu. Point penting dari kasus Selly dan Melinda, perlunya kita merenung untuk memahami fenomena yang sedang terjadi dengan bangsa ini...
Materi dan Ketenaran
Jika dikaji lebih mendalam, dilihat dari sisi lahiriah, keduanya bisa dibilang cantik jika dinilai dari foto-foto yang beredar di media elektronik. Namun bila dilihat pada tataran kenyataan, baik Selly maupun Melinda tidaklah terlalu cantik, itu bisa dilihat di layar kaca (Selly). Sedangkan dari sisi Melinda, menurut pihak kepolisian, dia pernah melakukan operasi plastik untuk mempermak wajahnya, aslinya tidaklah cantik sebelum operasi (www.kompas.com, 1/4/2011), foto memang menipu. Intinya, keduanya pandai menggunakan "senjata" lahiriah dengan memolesnya sedemikian rupa untuk berbuat kejahatan (dengan cara manipulasi).
Semakin membuat mereka berdua dapat leluasa melanggengkan perbuatannya, di mana saat ini kemapanan lahiriah, baik materi maupun fisik, lebih diagungkan. Kecenderungan itu bisa dibaca dari psikologi masyarakat (massa) yang digiring oleh industri untuk merubah nilai dan kultur luhur yang sudah mengakar di masyarakat. Sebagai contoh sederhana, wanita berparas cantik (berpenampilan menarik) biasanya akan mendapat tempat lebih baik daripada mereka yang memiliki kekurangan lahiriah, meskipun memiliki kelebihan dalam bidangnya. Sudah menjadi rahasia umum dalam dunia kerja, keelokan wajah atau tubuh sering dijadikan syarat oleh institusi tertentu. Lambat laun pergeseran nilai ini semakin kita rasakan.
Hal di atas searah dan semakin menguatkan budaya yang materialistik berbanding nilai-nilai spiritual, intelektual, maupun budaya, dan seakan begitu nyata merasuk dalam budaya masyarakat kita. Budaya materialistik sejalan dengan budaya pop (popular culture) yang lebih mengedepankan keinginan pribadi untuk diakui atau diagung-agungkan di komunitasnya. Karena dengan merasa diakui dan diagungkan, pribadi akan merasa lebih "dituhankan," atau lebih tepatnya merasa menjadi lebih hebat dari orang lain.
Perlu digarisbawahi, budaya pop cenderung menghalalkan jalan pintas untuk meraih yang diinginkan oleh pribadi-pribadi tersebut, itu bisa dilihat dari perkembangan masyarakat di negara ini. Di mana semakin banyak program acara untuk menjadi bintang dengan cepat di media televisi. Lebih parah lagi, merebaknya budaya korupsi dari tingkat bawah hingga atas merupakan indikator paling jelas bahwa sebagian bangsa terjangkiti virus merusak (Materialisme dan Popularisme).
Berkaca dari tulisan di atas, pencapaian materi dan popularitas seakan menjadi tujuan utama dalam hidup bagi sebagian bangsa ini. Kisah Selly dan Melinda hanya setitik gambaran nyata dari begitu nyatanya fenomena keserakahan akan materi dan ketenaran sebagian masyarakat, pemerintah, elite politik atau penegak hukum di negeri ini. Mereka berlomba-lomba untuk menutupi wajah asli dengan topeng-topeng cantik nan menawan. Memanfaatkan keelokan fisik dan sikap lahiriah sebagai wahana untuk menutupi kebusukan demi mencapai kepentingan pribadi atau kelompok. Tidak peduli perbuatannya menyengsarakan orang lain.
Fenomena ini sebenarnya telah menarik perhatian filsuf besar sekelas Plato. Dalam karyanya Sophist, Plato menyatakan bahwa ada dua cara pembuatan gambar. Pertama, meniru seperti aslinya tanpa membuat perubahan apapun. Kedua, mendistorsi dengan sengaja gambar yang ditiru sehingga tampak seperti aslinya bagi yang melihat, padahal jauh berbeda dari objek aslinya atau simulacrum (dari bahasa Latin yang berarti keserupaan atau kemiripan) (Wikipedia).