Mohon tunggu...
Khairudin M. Ali
Khairudin M. Ali Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wartawan

Seorang wartawan...

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Gowes di Ncai Kapenta, KBC Nikmati Sagele

31 Desember 2015   08:28 Diperbarui: 31 Desember 2015   08:28 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masyarakat Bima menyebutnya Sagele. Menurut Alan Malingi dalam https://alanmalingi.wordpress.com/2013/12/10/tradisi-sagele-dan-arugele/ menyebut bahwa bagi masyarakat Inge Ndai (Sambori, Kuta,Teta,Tarlawi, Kadi, Kaboro dan sekitarnya) menyebutnya dengan Arugele. Malah Arugele di wilayah ini tidak hanya identik dengan prosesi menanam, tapi juga berkaitan dengan upacara dan hajatan hidup dan kematian. Sehingga di wilayah ini dikenal Arugele Ngguda, Arugele nika ro neku, arugele Suna Ra Ndoso, dan lain-lain.  Tapi bagi masyarakat di sekitar Lelamase, Ntobo,Ndano Nae dan sebagian wilayah Bima lainnya menyebutnya dengan Sagele. Sagele dan Arugele adalah tradisi menanam mayarakat Bima yang telah turun temurun dilakukan terutama memasuki musim penghujan.

Yang membedakan Arugele di Sambori dan sekitarnya dengan Sagele menurut Alan adalah pada nyanyian dan iringan alat musiknya. Arugele Ngguda (Arugele menanam) di Sambori dan sekitarnya hanya diiringi senandung Arugele tanpa musik pengiring. Bagi masyarakat Sambori dan sekitarnya, Arugele juga menjadi tarian nyanyian yang berhubungan dengan tanam dan panen. Oleh karena itu, atraksi seni ini biasa digelar di sawah dan huma ketika mulai menanam maupun pada saat panen. Arugele dinyanyikan bersama-sama oleh semua orang yang ada di hamparan ladang yang melakukan prosesi menanam.

        Karena penasaran, anggota KBC memutuskan untuk mengikuti jalan menurun ke arah asal suara musik Sagele yang menggunakan pengeras suara merek Toa yang digantung di pundak pemain musik. Kami memutuskan untuk mendatangi dan menyaksikan tradisi masyarakat yang hanya bisa disaksikan setiap musim tanam dan musim panen itu. Kami menyimpan sepeda di jalan raya dan mendaki mengikuti ibu-ibu dan remaja putri yang sedang menanam diiringi musik Sagele. Semua kami antusias mengabadikan dengan smartphone yang kami bawa. Ibu-ibu pun makin semangat dan meminta mereka untuk direkam. ‘’Semoga bisa masuk tivi ya,’’ kata seorang ibu.

        Sementara yang lain sudah sibuk mengambil gambar dan video, Sugiharto terlihat kesulitan untuk merangkak naik di gunung itu. Dengan susah payah dia terus mencoba menyusul ibu-ibu yang menanam karena ingin juga mengambil gambar. Khairul Nawawi dan Tyanto sudah sibuk membuat reportase dan stand up seperti layaknya reporter televisi. Sementara Halida Naief yang kalem dan paling muda di antara kami, hanya sesekali mengambil gambar.

Semuanya puas. Perjalanan pulang adalah bonus, karena kami tidak perlu mengayuh sepeda untuk jarak yang panjang. Jalan menurun digunakan untuk kebut-kebutan. Bahkan beberapa sepeda motor pun bisa dilewati. ‘’Ini pengalaman gowes yang luar biasa,’’ ujar Naief. Kapan Anda mulai bersepeda? Ayo mulai sekarang! (*)

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun