Mohon tunggu...
Khaidir Asmuni
Khaidir Asmuni Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Alumnus filsafat UGM

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tembang di Balik Makan Bergizi Gratis: Ada Susu untuk Temon dan Kipli

7 Januari 2025   00:08 Diperbarui: 8 Januari 2025   14:24 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Hari-hari yang penat, di musim hujan bulan Januari 2025, saat jemari lelah membrowsing peristiwa politik, perang atau bahkan teriakan para buzzer, terinterupsi dengan gambaran yang sangat berbeda yaitu anak-anak sekolah yang menikmati makan bergizi gratis.

Kita mungkin bukanlah seorang pembuat film yang handal, seperti layaknya drama Korea, di mana panggung kecil di sebuah dapur, bisa diolah menjadi drama hingga puluhan episode. Kita hanya bagian kecil masyarakat yang tidak mampu menggambarkan bagaimana hari pertama berlangsungnya makan bergizi gratis ini, sebuah peristiwa bersejarah ini, memendam banyak cerita yang tak terkisahkan.

Kisah kisah keluarga kecil pedesaan yang didera paceklik, kisah para orang tua masih muda yang ter-PHK. Kisah suka cita orang orang yang diterima PPPK atau yang kecewa. Kisah senang orang tua mendapat discount listrik. Ataupun kisah penggemar bola yang kehilangan STY.

Romantika kehidupan ini seperti tidak bisa mengaburkan begitu saja, situasi hari ini, 6 Januari 2025, saat ada 190 dapur di 26 Provinsi, anak anak Indonesia mendapat makan bergizi gratis.

Setiap dapur memiliki kisah sendiri. Yang bicara makna kebersamaan. The Power of Togetherness. Kesibukan kolektif yang dilakukan masyarakat dari mempersiapkan makanan, memberi pasokan sayuran, hingga kalkulasi agar mencukupi hitungan dari bujet.

Aktivititas ini seperti melupakan kesedihan dari peristiwa PHK, isu-isu hoaks yang gencar dilakukan di media sosial ataupun harga-harga yang mungkin sulit terjangkau karena situasi ekonomi yang sulit. Semua seolah terlupakan dengan adanya aktivitas dan kesibukan baru yang dialami oleh para ibu dan bapak.

Rasa rasanya hari ini, kehidupan negara dimulai dari dapur. Karena dari sini tekad berjuang untuk bangkit dimulai. Dari dapur, mentalitas itu terbentuk. Seperti tergambar di novel Chocolat karya Joanne Harris yang kemudian difilmkan dengan judul yang sama.

Bagaimana dari olahan coklat di dapur seorang single mother Vianne Rocher menciptakan sebuah perubahan yang signifikan di sebuah desa di perkampungan Prancis sekitar tahun 1959.

Makanan coklat yang secara ilmiah mengandung serotonin, membantu masyarakat merasa baik dan bahagia. Perasaan sedih atau cemas, berubah lebih baik. Cokelat mengandung sesuatu yang disebut triptofan, yang merupakan bahan penyusun serotonin.

Digambarkan dalam film itu, suasana di pedesaan yang kaku. Kental dengan tekanan psikologis. Kehidupan keluarga kurang harmonis. Ketegangan dan komunikasi di masyarakat sering terjadi.

Kehadiran Vianne Rocher di kampung tersebut yang mulai membuat makanan kue dari coklat memberikan perubahan yang cukup berarti. Suami-istri yang semula dingin jadi mesra. Keluarga yang dulunya dingin jadi hangat. Dari  tegang berubah menjadi rasa cinta dan kasih sayang.

Meski hanya sebuah kisah novel yang difilmkan, gambaran bahwa romantika dapur yang menciptakan makanan dapat mengubah semangat masyarakat. Apalagi dari suatu makanan bergizi.

Dapur dari penyedia makanan bergizi gratis saat ini diharapkan memberikan sebuah semangat dan motivasi. Dampak psikologis dari program makan bergizi gratis ini akan menciptakan kreativitas sejauh melibatkan partisipasi rakyat.

Ada dinamika pembuatan menu di dalamnya. Ini sebuah tantangan. Berkreasi.

Tidak semua anak disajikan menu yang sangat lengkap oleh orang tuanya. Terkadang, ada nasi dan hanya ada 1 lauk dan dibantu dengan air putih. Itu sudah cukup dan dia pun kenyang dan berangkat sekolah.  Namun dengan program makan bergizi gratis ini, makanannya jadi lengkap. Ada buah-buahannya. Ada ikan dan lauknya. Tentu ini membuat semangat tersendiri bagi si anak.

Gambaran lainnya, ada anak yang biasanya di perkotaan, terbiasa dengan menu fried chicken yang mungkin (maaf) harganya lebih mahal. Sehingga anak itu tak begitu tertarik dengan menu yang disajikan dari program ini. Tapi sudahlah. Kita tidak perlu memperdebatkan menu menu yang disukai atau tidak disukai anak dari sisi harga. Intinya, kita berharap dapat membangun sebuah budaya memberikan gizi yang seimbang.

Selain yang tergambar di atas, tak bisa dipungikiri ada gambaran lain dari kehidupan anak anak di negara ini. Misalnya, di banyak desa, digambarkan keberadaan sosok anak seperti Temon. Temon adalah seorang anak dalam film Serangan Fajar, film perjuangan di era 80-an. Dia bocah kecil pemberani dari keluarga tak mampu.

Dalam pandangan generasi X dan Y, Temon memiliki mental pekerja keras dan mampu berjuang dalam situasi Indonesia yang sulit saat itu.
Tergambarlah, bagaimana situasi makan bergizi gratis ini diisi jiwa-jiwa seperti Temon, yang mewakili tekad anak anak Indonesia untuk maju.

Untuk generasi Milineal dan Gen Z, wajah Temon seperti terwakili dengan Kipli dalam sinetron Kiamat Sudah Dekat. Kipli bahkan merupakan sebuah satir. Bahkan ada cuplikan film yang menyebut "Tidak perlu keliling Indonesia untuk merasakan penderitaan, semua ada didalam wajah anak ini ..." ujar seseorang berambut gondrong saat bertemu Kipli.

Temon atau Kipli yang mungkin tidak terbiasa sarapan pagi. Entah karena orangtuanya terlanjur pergi ke sawah. Ataupun karena orang tuanya sedang mengalami kesulitan ekonomi. Namun dengan jiwa Temon dan Kipli yang memiliki daya juang tinggi membuatnya bersyukur di dalam hati. Bahwa hari yang bersejarah ini dia mendapat makanan bergizi dari negara.

Negara yang kaya ini sebetulnya tidak perlu membeli dengan mahal menu-menu bergizi itu. Tumbuhan sayuran, ternak ayam dan telur mudah ditemui. Lagu Koes Plus Kolam Susu cukup mewakili gambaran Sumbar daya alam Indonesia yang subur dan melimpah.

Hari-hari yang penat ini, di tengah rintik gerimis pada 6 Januari 2025, saat jemari terhenti menekan tombol hp. Suara azan magrib terdengar dari masjid. Anak anak kecil dengan memakai peci dan sarung tampak tertawa berlarian. Mereka kelihatan bahagia hari ini.

(Khaidir Asmuni/
Democracy Care Institute)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun