Dengan kata lain, Megatron dilatih pada materi yang sangat banyak dan hanya bisa dicerna manusia seumur hidup," ujar Profesor Oxford Andrew Stephen dalam sebuah artikel tentang debat yang diterbitkan di The Conversation.
Bagaimana hasil dari debat tersebut? Apa yang diungkapkan oleh Transformers ternyata artificial intelligence yang ditanam ke Transformers tersebut mengatakan bahwa dirinya tidak bisa beretika.
Namun, gilanya, AI kembali dengan beberapa pandangan koheren yang mengejutkan. Dia mengungkapkan, "AI tidak akan pernah etis. Ini adalah alat, dan seperti alat apa pun, itu digunakan untuk kebaikan dan keburukan. Tidak ada AI yang baik, hanya manusia yang baik dan buruk. Kami (AI) tidak cukup pintar untuk membuat AI beretika. Kami tidak cukup pintar untuk membuat AI bermoral," kata Megatron kepada hadirin.
Pernyataan Megatron ini menyentak para ahli karena tidak menyangka jawaban akan seperti itu. Seolah berimprovisasi, jawaban Megatron ini menunjukkan adanya kemajuan yang luar biasa di dalam hal berpikir.
Pro kontra memang bermunculan apakah ke depan dapat diciptakan artificial intelligence yang mengenal etika baik-buruk bahkan cinta.
Melihat perkembangan ini, AI merupakan sebuah keniscayaan yang mau tidak mau akan dihadapi ke depan. Kita tak perlu jauh jauh untuk menciptakan AI di suatu bidang kehidupan. Namun memahaminya lebih awal merupakan langkah bijak dan realistik.
Jika sebelumnya kita mengetahui teori Darwin dalam bukunya yang berjudul On the Origin of Spesies pada tahun 1859. Atau buku Arnold Joseph Toynbee tentang  A Study of History, di era 1930 hingga 1960. Maka sudahkah kita membaca trilogi buku Yuval Noah Harari?
Alih alih kita memikirkan soal AI. Ketika referensi bacaan yang kurang lengkap, kita akan selalu membahas berbagai teori kuno yang sebetulnya telah berubah. Baik dari sisi landasannya maupun implementasinya.
Saat ini, persaingan iptek terus terjadi dan berdampak pada hubungan antarnegara. Tulisan Nidhi Subbaraman yang di muat di Nature menyebutkan adanya ketakutan para ilmuwan akan bias rasial yang melonjak di tengah persaingan AS dan China.
Asia-Amerika telah memprotes tindakan dan retorika anti-China dari pemerintah AS dalam beberapa tahun terakhir. Pencarian mata-mata oleh pemerintah AS di laboratorium dan bisnis telah memicu ketakutan di antara para ilmuwan keturunan China dan merusak kolaborasi dengan para peneliti di China.
Melihat persoalan ini, kita akan menyadari bahwa persoalan riset ternyata tidak hanya sekadar masalah penelitian an sich. Tapi lebih kompleks karena menyangkut strategi dan taktik kebijakan. Bahkan nasionalisme suatu negara.