Mohon tunggu...
Khaidir Asmuni
Khaidir Asmuni Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Alumnus filsafat UGM

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bias Politik dan Sikap Seorang Negarawan

15 Desember 2021   05:33 Diperbarui: 15 Desember 2021   06:12 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Survei dan berita-berita media sudah berjalan begitu jauh tentang pilpres 2024, seolah secara de fact hal itu sudah dimulai, meski secara legitimated (de yure) belum ada karena tahapan Pemilu memang belum dimulai. Seolah memperebutkan posisi di masyarakat sejumlah nama tampak menghiasi lembaran screen dunia maya dengan kegiatan riil ataupun virtual.

Dari sekian banyak seliweran status facebook yang dibrowsing dan ditouchscreen, Ketua DPR RI Puan Maharani salah satu yang mendapat tempat di hati masyarakat. 

Kendati cucu Bung Karno ini didera oleh bias politik (bias kognitif), namun ketegarannya membuktikan sebuah sikap kenegarawanan. Salah satu sikap bias yang dimunculkan kalangan tertentu adalah sering melahirkan distorsi maksud-maksud baik menjadi sesuatu yang agak miring. 

Dalam hal ini, jika menggunakan kacamata para ahli, ada kecenderungan sebagian kecil pengguna media sosial sulit berpikir lebih proporsional. Namun cenderung membenarkan pendapat politiknya sendiri yang menyebabkan terjadi bias. Mereka berpendapat namun tanpa melakukan eksplorasi informasi agar sikapnya rasional dan lebih netral.

Misalnya, pada akhir Mei 2021 lalu, ketika Puan Maharani mengatakan bahwa pemimpin ke depan adalah pemimpin yang ada di lapangan bukan di sosmed, pendapat yang mengandung kebaikan ini jadi bias.

Pernyataan Puan ini jika dieksplorasi maka diperoleh benang merah bahwa seorang pemimpin harus memiliki kegiatan nyata atau program-program nyata di masyarakat bukan hanya beraktivitas di medsos. Di medsos, bisa saja aktivitas virtual itu belum tentu akan sesuai dengan kenyataan.

Pendapat Puan ini tidak banyak dieksplorasi. Yang justeru berkembang adalah soal popularitas ketokohan seseorang yang follower IG nya jutaan dan terus menerus diblow-up di medsos.

Padahal bukan itu inti persoalannya. Melalui kegiatan yang nyata dan program-program yang riil di masyarakat, hal ini akan memberikan dampak yang lebih baik daripada sekadar mengisi aktivitas identitas virtual yang berada dalam skope dunia maya.

Diakui Puan, memang manfaat dari internet sangat besar untuk komunikasi dan penyebaran informasi. Namun kalau hal ini tidak diimbangi dengan kegiatan yang nyata di lapangan maka akan bersifat semu.

Bias politik dan sulit berpikir untuk lebih proporsional dalam mengeluarkan pendapat juga terlihat ketika Puan turun ke sawah di Yogyakarta bulan November 2021 lalu. Yang kemudian gaduh. Karena kalau menanam padi di saat hujan bisa disamber petir. Demikian yang berkembang di medsos. Sampai sampai tekno.tempo.co membuat tulisan soal ini dengan mewawancari penyuluh pertanian.

Padahal, di lapangan belum tentu terjadi seperti itu. Di video terlihat kalau itu bukan hujan deras yang bisa menimbulkan geledek dan petir. Bahkan sebagian melihatnya selintas hanya seperti embun turun.

Lagipula jika ditinjau secara proporsional bisa saja pada saat itu acara Ketua DPR RI untuk turun bersama petani terkendala oleh adanya hujan. Namun acara harus tetap berlangsung. Mestinya hal ini dapat dimaklumi. Sebagai manusia kita tidak bisa menolak hujan sebagai anugerah. Hanya yang terjadi adalah kegaduhan di medsos.

Bias juga terjadi pada insiden mematikan mikropon bulan November 2020. Semua kegaduhan seolah tertuju pada Puan Maharani. Padahal jika ingin bersikap lebih proporsional terhadap masalah tersebut, eksplorasi kenyataan yang ada di lapangan menunjukkan bahwa peristiwa tersebut memiliki latar belakang yang ada sebelumnya.

Mengutip yang diberitakan bisnis.com dan jawaban atas insiden tersebut kepada YouTuber Boy William, terkuak alasan Puan melakukan itu. Puan menegaskan pemimpin rapat harus bisa mengatur jalannya persidangan dengan baik dan benar. Dengan demikian, katanya, jika satu orang sudah diberikan kesempatan bicara seharusnya tidak mengulang lagi berbicara.

Anggota tersebut, ujar Puan, sebaiknya memberikan kesempatan kepada yang lain untuk bicara.

"Kalau mic ini [anggota] bunyi, cuma satu yang bisa ngomong. Yang lain kedip-kedip terus. Karena yang bersangkutan ngomong terus, tentu saja sebagai pimpinan sidang harus mengatur pembicaraan supaya semuanya dapat waktu untuk bicara," ujar Puan.

Dia mengungkapkan fakta bahwa satu-satunya microphone yang bisa mengatur mic lain untuk berhenti atau mute hanya ada di meja Ketua DPR RI yang berada di bagian tengah.

Padahal, kata dia, pimpinan sidang paripurna pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja adalah Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Golkar Azis Syamsuddin.

Puan menuturkan kala itu Azis ingin berbicara, tetapi mic tidak bisa menyala karena Benny terus-terusan memencet mic atau ngomong.

"Makanya pimpinan sidang [Aziz Syamsudddin] meminta saya mengatur jalannya persidangan supaya dia bisa berbicara. Bisa gak dimatiin? Ya, saya kemudian mematikan mic tersebut," imbuhnya.

Puan menegaskan keputusan untuk mematikan mic tidak dilakukan dengan sengaja. Politisi PDI Perjuangan itu menegaskan hal itu mau tak mau dilaksanakan demi memuluskan jalannya persidangan.

"Waktu itu yang bersangkutan sudah diberikan kesempatan untuk bicara, tapi mau bicara lagi bicara lagi," kata Puan.

Penjelasan panjang lebar ini memang sangat teknis menjelaskan yang terjadi di lapangan. Juga menunjukan realitas sebenarnya di balik isu yang menyebar melalui medsos.

Ganjar Paradoks

Tanpa bermaksud membenturkan Ganjar Pranowo dan Puan Maharani terkait hasil survey, sebenarnya apa yang berkembang di media sosial memiliki beberapa catatan kritis yang layak untuk diungkapkan. Hal ini terutama terkait bias kognitif pada pemberitaan media massa.

Pertama, bias yang terjadi saat ini justeru mengesankan pertentangan calon presiden dari PDIP yang akan bertarung di tahun 2024. Padahal, PDIP belum menentukan sikap.

Tingginya animo yang menyodorkan nama Ganjar Pranowo, membuat seolah-olah PDIP "didikte" oleh situasi itu. Padahal ini hasil pembiasan dari sebuah kepentingan politik tertentu yang ingin membenturkan kader PDIP potensial seperti Ganjar dengan Puan Maharani.

Situasi ini jadi mengaburkan program-program unggulan dari PDIP yang diharapkan dapat mensejahterakan masyarakat karena terimbas oleh berita benturan Ganjar dan Puan.

Padahal, program-program PDIP yang notabene adalah partai "penguasa" yang memiliki pengaruh di dalam pemerintahan, menunjukan kebijakan yang diambil Pemerintah merupakan kebijakan dari PDIP juga. Artinya, program-program yang dibuat PDIP melalui kadernya diharapkan membuat Indonesia lebih maju. Hal itu semestinya lebih ditonjolkan.

Namun, pada kenyataannya, terjadi bias. Apa yang diungkapkan Puan tentang program kerja tidak begitu populer daripada berita elektabilitas Ganjar yang dinilai melebihi Puan.

Kedua, adanya sikap paradoks dari Ganjar, yang di satu sisi mengaku sebagai kader, namun di sisi lain memiliki potensi untuk dilirik partai lain dan melakukan pembiaran. Seolah ini manjadi sarana bargaining.
Sikap paradoks ini lebih mengandalkan fanatisme ketokohan Ganjar yang sebetulnya lebih bersifat ikatan emosional daripada sesuatu yang berdasarkan rasionalitas.

Hal ini dapat dilihat dari berbagai komentar yang muncul di media sosial ketika muncul dukungan terhadap Puan Maharani. Dimana kelompok pendukung Ganjar menyuarakan bahwa mereka adalah loyalis yang tetap akan berpihak pada Ganjar dengan tanpa memberikan argumen argumen yang kuat.

Artinya penokohan Ganjar telah mengikat mereka secara emosional tanpa memberikan alasan rasional. Misalnya mereka melakukan itu karena Ganjar memiliki program kerja yang diharapkan dapat memberi pengaruh kepada masyarakat.

Ada penelitian menarik yang diungkapkan oleh Thomas Zoga Ramsy, saat mengkaji salah satu pilpres di Amerika Serikat. Thomas mengungkapkan manusia tidak membuat pilihan politik murni berdasarkan rasional, proses kognitif, melainkan proses emosional dan sosial. Orang juga cenderung mengikuti kelompoknya dan tidak mengikuti ideologinya.

Pendapat ini menunjukkan bahwa persoalan emosional sangat menentukan dalam memilih calon presiden. Padahal hal ini bisa saja diatasi apabila program-program partai lebih digaungkan agar masyarakat condong rasional.

Hal ini kontradiktif dengan apa yang sering diungkapkan oleh para pengamat. Jika politik identitas ditinggalkan karena sarat dengan pesan pesan emosional, maka apa bedanya dengan menonjolkan penokohan individu? Karena keduanya sama sama menekankan sikap emosional.

Dengan kata lain, jika masalah dasar rasionalitas diabaikan, dan lebih menonjolkan sisi emosional terhadap tokoh yang didukung, bahkan cenderung memupuk fanatisme, lantas apa bedanya dengan politik identitas yang sama sama menonjolkan emosional.

Menonjolkan sisi personal ketokohan yang menimbulkan fanatisme terhadap para pendukung dan tidak berdasarkan pada program-program kerja ataupun ideologi kepartaian sama halnya tidak mendidik ke arah pemikiran yang lebih rasional di dalam memilih pemimpin.

Ketiga, meski banyak keunggulan, Ganjar "can't win them all". Dalam konteks ini diartikan selain ada kelebihan di pihak Ganjar namun di sisi lain ada pula keunggulan telak Puan Maharani yang dibias oleh gencarnya berita medsos.

Kelebihan Puan di antaranya tidak membuka konflik terbuka tapi lebih banyak mengayomi.
Saat masalah menanam padi di musim hujan, Puan hanya diam. Dan mencari waktu tepat untuk menjelaskan. Juga ketika masalah mikropon merebak. Puan tidak memanfaatkan situasi untuk membentuk opini.

Sikap Puan Maharani justeru menunjukka tidaklah bijaksana jika membuat kegaduhan di tengah masyarakat yang sedang susah didera pandemi.

Itulah sebabnya diam dan mencari waktu yang tepat untuk menjelaskan merupakan sikap seorang negarawan, daripada gaduh di tengah upaya bangsa untuk bamgkit.

Begitu juga terkait dengan masalah rivalitas yang diciptakan medsos antara dirinya dengan Ganjar. Puan lebih banyak melakukan aktivitas kenegaraan dan mengeluarkan retorika retorika yang berpihak kepada rakyat kecil. Dengan cara ini, Puan lebih produktif ketimbang menghadapi konflik-konflik yang tidak perlu dan hanya menghabiskan energi. Di sinilah keunggulan telak Puan Maharani.

Publik memang tengah menunggu bagaimana akhir dari calon yang dikeluarkan oleh PDIP. Apakah memasangkan Ganjar dan Puan? Ataukah Ganjar dilirik oleh partai lain?

Diantara pilihan-pilihan ini tetap saja merupakan ujian bagi Ganjar sebagai kader partai yang loyal. Apabila Ganjar dicalonkan oleh partai lain dan diterimanya, maka apakah hal itu semakin menunjukkan sikap paradoksnya sebagai kader partai? Atau jika dia menolak pinangan dari partai lain? Apakah partainya sendiri akan mencalonkannya? Let's see ....(KHAIDIR ASMUNI/Democracy Care Institute)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun