Kebebasan berbicara merupakan asas penting dari masyarakat yang memiliki hak berdemokarasi di negara demokarasi itu sendiri. Namun terkadang negara yang memilki masyarakat yang hegemonik menciptakan sebuah keterwakilan untuk direpresentasikan suara maupun pandangannya dalam ruang public.Â
Atau bahkan kemampuan komunikasi dan retoris tidak dapat disempaikan dengan baik, sehingga membutuhkan seorang wakil yang akan menyuarahkan hak-hak mereka. Hal yang dijelaskan merujuk pada sebuah teori yang berkembang dari kajian poskolonial yakni subaltern. Teori subaltern adalah konsep yang berkembang melalui karya Gayatri Chakravorty Spivak.Â
Teori ini fokus pada kelompok-kelompok yang berada di luar struktur kekuasaan dominan dan sering kali tidak memiliki suara atau representasi dalam diskursus dominan. Bagi Spivak, di dalam istilah pascakolonial, istilah tersebut merujuk pada segala sesuatu yang terkait dengan pembatasan akses (Rahmat Setiawan, 2018).
Maka penjelasan disini bukan siapa yang ditindas namun siapakah yang tidak dapat mengakses pembicaraan publik untuk mewakili dirinya sendiri. Bahkan misalnya wanita dari keluarga kaya apakah bisa bersuara menyaluarkan keluh kesah dari pandangan berdasarkan lingkungan sosialnya, maka hal itu mungkin akan dianggap oleh mayoritas publik si wanita adalah orang kaya, sehingga dari kacamata yang terlihat hidupnya tidak perlu dibicarakan karena hidupnya yang mapan, namun melupakan subtansi dari keluh kesah terhadap pandangan sosialnya.Â
Maka dalam pengertian subaltern hanya bukan hanya soal kalangan miskin atau yang tertindas saja, namun dari secara wadah komunikasi atau menyuarakan pandangan orang tersebut tidak memiliki akses atau dibungkam sehingga hadirnya seorang yang menjadi wakil untuk merepresntasi suaranya (Rahmat Setiawan, 2018).
Dalam fenomal di Indonesia, kita dapat melihat misalnya, seorang pemimpin demonstrasi yang berkoar-koar mengenai hak agama minoritas untuk beribah atau juga perempuan, entah siapapun yang berada di sana (orang kaya, orang miskin, atau siapapun), ketika suara mereka selalu terwakili dan mereka tidak memiliki kebebasan bersuara, mereka dapat dilihat sebagai subaltern.Â
Di sini, Spivak menekankan pentingnya melihat mekanisme hegemonik yang tidak disadari mengenai penggunaan atribut kata subaltern. Mereka berada dalam wacana hegemonik yang berarti ada semacam manipulasi secara tidak sadar atas apa yang mereka lakukan.
Dalam konteks negara demokrasi seperti Indonesia, teori subaltern dapat dianalisis melalui beberapa aspek: Pertama politik yang mana meskipun Indonesia adalah negara demokrasi, keterlibatan politik kelompok subaltern sering kali terbatas. Mereka mungkin tidak memiliki akses yang sama untuk berpartisipasi dalam proses politik karena faktor ekonomi, pendidikan, atau geografis.
Selanjutnya partai politik sebagai tempat Pendidikan politik dan ideologi masyarakat, yang mana partai-partai politik sering kali didominasi oleh elit yang mungkin tidak merepresentasikan kepentingan kelompok-kelompok subaltern. Hal ini bisa dilihat dari kebijakan-kebijakan yang kurang memperhatikan kepentingan masyarakat miskin atau minoritas.
Lalu Ekonomi menjadi aspek penting negara memandang kelompok subaltern, yang sering kali berada di posisi ekonomi yang terpinggirkan. Di Indonesia, ini bisa dilihat pada masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan atau terpencil yang memiliki akses terbatas terhadap infrastruktur dan layanan dasar.Â
Sehingga hadirlah lingkup professional seperti pekerja informal dan buruh migran sering kali tidak memiliki perlindungan yang memadai dan bisa dianggap sebagai bagian dari kelompok subaltern karena ketidakmampuan mereka untuk memperjuangkan hak-hak mereka secara efektif.Â
Lalu Akses terhadap Pendidikan di daerah-daerah terpencil atau miskin, terutama akses terhadap pendidikan yang berkualitas masih menjadi masalah, yang berdampak pada kemampuan kelompok subaltern untuk meningkatkan status sosial-ekonomi mereka.
Ada juga faktor budaya dan bahasa yang menjadikan kategori dalam hal representasi sering kali tidak mendapat tempat yang setara dalam wacana nasional. Misalnya, bahasa dan tradisi lokal sering kali dianggap kurang penting dibandingkan dengan bahasa dan budaya yang dominan.Â
Ditambah media mainstream mungkin tidak selalu merepresentasikan kehidupan dan isu-isu yang relevan bagi kelompok subaltern, yang dapat menyebabkan marjinalisasi lebih lanjut. Dan hak manusia itu sendiri seperti kelompok-kelompok minoritas, baik etnis, agama, atau gender, sering kali menghadapi diskriminasi dan kurangnya perlindungan hak asasi manusia.Â
Sehingga akses kepada keadilan law terhadap kelompok subaltern mungkin kesulitan untuk mengakses sistem hukum dan peradilan yang adil, yang bisa memperburuk situasi mereka.
Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, penting untuk mengakui dan mengatasi isu-isu yang dihadapi oleh kelompok-kelompok subaltern untuk memastikan bahwa demokrasi benar-benar inklusif dan representatif. Ini bisa dilakukan melalui kebijakan yang lebih adil, pemberdayaan komunitas, serta peningkatan kesadaran dan solidaritas di antara berbagai kelompok dalam masyarakat.Â
Tetapi dengan adanya era teknologi seperti digitalisasi, orang dapat menyuarakan aspirasi secara individu tanpa ada yang mewakilinya. Sehingga media informasi dan komunikasi di media social menjadi penting untuk mempertahakann isu-isu yang menjadi asas negara demokarasi yang semakin termaginalkan.
Referensi:
Setiawan, R. (2018). Subaltern, Politik Etis, dan Hegemoni dalam Perspektif Spivak. Universitas PGRI Adi Buana Surabaya. https://jurnal.ugm.ac.id/poetika/article/download/35013/22036
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H