Lalu Akses terhadap Pendidikan di daerah-daerah terpencil atau miskin, terutama akses terhadap pendidikan yang berkualitas masih menjadi masalah, yang berdampak pada kemampuan kelompok subaltern untuk meningkatkan status sosial-ekonomi mereka.
Ada juga faktor budaya dan bahasa yang menjadikan kategori dalam hal representasi sering kali tidak mendapat tempat yang setara dalam wacana nasional. Misalnya, bahasa dan tradisi lokal sering kali dianggap kurang penting dibandingkan dengan bahasa dan budaya yang dominan.Â
Ditambah media mainstream mungkin tidak selalu merepresentasikan kehidupan dan isu-isu yang relevan bagi kelompok subaltern, yang dapat menyebabkan marjinalisasi lebih lanjut. Dan hak manusia itu sendiri seperti kelompok-kelompok minoritas, baik etnis, agama, atau gender, sering kali menghadapi diskriminasi dan kurangnya perlindungan hak asasi manusia.Â
Sehingga akses kepada keadilan law terhadap kelompok subaltern mungkin kesulitan untuk mengakses sistem hukum dan peradilan yang adil, yang bisa memperburuk situasi mereka.
Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, penting untuk mengakui dan mengatasi isu-isu yang dihadapi oleh kelompok-kelompok subaltern untuk memastikan bahwa demokrasi benar-benar inklusif dan representatif. Ini bisa dilakukan melalui kebijakan yang lebih adil, pemberdayaan komunitas, serta peningkatan kesadaran dan solidaritas di antara berbagai kelompok dalam masyarakat.Â
Tetapi dengan adanya era teknologi seperti digitalisasi, orang dapat menyuarakan aspirasi secara individu tanpa ada yang mewakilinya. Sehingga media informasi dan komunikasi di media social menjadi penting untuk mempertahakann isu-isu yang menjadi asas negara demokarasi yang semakin termaginalkan.
Referensi:
Setiawan, R. (2018). Subaltern, Politik Etis, dan Hegemoni dalam Perspektif Spivak. Universitas PGRI Adi Buana Surabaya. https://jurnal.ugm.ac.id/poetika/article/download/35013/22036