Umat muslim tidak boleh terjebak pada perdebatan teknis. Seyogyanya masuk ke dalam dimensi yang lebih mendalam dan subtansial, yaitu mengapa Rasulullah Saw membiarkan dua budak perempuan Aisyah bernyanyi dan bermain Rebana, serta mengapa Rasulullah Saw juga meramalkan kemunculan golongan orang-orang yang menghalalkan perzinaan, sutera, alkohol dan alat musik. Umat muslim harus bersandar pada ayat-ayat Al-Qur'an yang sudah sangat jelas dan final.
Rasulullah Saw melarang Abu Bakar Ra mencegah dua pemain musik dan penari itu, bukan hanya karena hari itu adalah hari raya, sebagaimana tersurat dalam teks hadits. Sebaliknya, karena Rasulullah Saw memastikan tidak ada dosa dan maksiat yang dilakukan oleh dua budak perempuan Aisyah Ra tersebut. Seandainya Rasulullah Saw melihat secara langsung praktik maksiat di dalam permainan musik tersebut maka sudah pasti Rasulullah Saw akan bertindak melarang tanpa perlu menunggu kedatangan Abu Bakar.
Larangan berbuat maksiat itu sendiri tidak ada hubungannya dengan permainan musik. Maksiat dan dosa bisa dilakukan tanpa dibarengi dengan permainan musik. Artinya, ketika ada permainan musik yang ditonton oleh Rasulullah Saw dan Aisyah Ra, maka itu berarti tidak ada perbuatan dosa dan maksiat di saat musik sedang dimainkan.
Namun, apakah permainan musik pasti tanpa maksiat? Tentu saja tidak. Permainan musik bisa dilakukan bersamaan dengan dosa-maksiat maupun tanpa dosa-maksiat. Ketika permainan musik dibarengi maksiat maka hukumnya haram. Oleh karenanya berlakulah hadits tentang larangan musik. Hadits ini berlaku bagi orang yang melakukan musik bersamaan dengan pesta free sex, pesta minuman keras, dan berfoya-foya, yang disimbolkan dengan memakai kain sutera.
Alhasil, tidak ada pertentangan antara hadits yang membolehkan permainan musik di waktu hari raya dan hadits melarang penggunaan alat-alat musik bersamaan dengan perbuatan-perbuatan maksiat. Dua hadits tersebut akan sepintas terlihat bertentangan apabila tidak berpegang teguh pada Al-Qur'an. Sementara Al-Qur'an sendiri sudah jelas dan tegas mengatakan bahwa ada 2 (dua) macam penyair, pemusik, yang satu diikuti oleh orang-orang sesat dan yang lainnya diikuti oleh orang-orang beriman dan bertakwa.
Di sini kita bisa mengasumsikan bahwa permainan musik yang dibarengi dengan maksiat (baca: free sex, minuman keras, dan foya-foya) akan tetap haram walaupun dilakukan di hari raya. Artinya, hari raya itu sendiri bukan alasan Rasulullah Saw membiarkan Aisyah dan Abu Bakar mengizinkan permainan musik, melainkan karena Rasulullah melihat tidak ada maksiat di saat itu, di saat musik dimainkan. Ketika Rasulullah melihat ada maksiat (hirra, harira, khamra) maka memainkan alat musik adalah haram.[] Â Â
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI