Mohon tunggu...
KH Imam Jazuli
KH Imam Jazuli Mohon Tunggu... Guru - Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon.

Saya adalah seorang Kiai, Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015. Hobi saya menulis tentang diskursus keagamaan, politik, sosial, budaya dan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hukum Musik dalam Hadits Nabi: Halal dan Haram dengan Catatan

17 Mei 2024   12:55 Diperbarui: 17 Mei 2024   13:00 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KH. Imam Jazuli memainkan gitar (Source: Dokumentasi Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon). 

Hukum Musik dalam Hadits Nabi: Halal dan Haram dengan Catatan

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA.

Sudah jelas dalam Al-Qur'an bahwa hukum musik bergantung pada syair-syair atau lirik-lirik lagunya. Jika syairnya mengandung dusta dan maksiat, sudah barang tentu bermusik haram. Bila syairnya mengandung kebenaran, apalagi ayat suci Al-Qur'an, maka wajib menyenandungkannya dengan indah, sebagaimana diatur dalam ilmu Tajwid dan ilmu Qiroah. Jika musik tanpa syair, melainkan sebatas suara bernada indah, maka hukumnya boleh/mubah.

Al-Qur'an adalah sumber hukum atau pegangan utama dan terutama bagi umat muslim. Sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur'an adalah Sunnah atau hadits-hadits Rasulullah Saw. Menyangkut hukum musik, dalil-dalil hadits selaras dengan Al-Qur'an dan menjadi penjelas atau pemerinci terhadap kandungan Al-Qur'an yang masih bersifat umum. Melalui hadits pula, umum muslim memiliki pegangan hukum yang detail dalam semua bidang kehidupan, termasuk hukum musik.

Sebuah hadits menerangkan praktik bernyanyi dan memainkan alat musik pada zaman Rasulullah Saw. Diriwayatkan dari Aisyah Ra., beliau berkata: Pada suatu hari Abu Bakar Ra. datang menghadap Nabi Saw., dan saat itu di sampingku ada dua budak perempuan yang sedang bernyanyi dan menabuh Duff (rebana). Kemudian Abu Bakar melarang mereka berdua. Lalu Rasulullah Saw bersabda: "da'huma ya Aba Bakar, fainnahu yawmun 'ied (biarkan saja mereka, wahai Abu Bakar. Karena sekarang Hari Raya)", (HR. An-Nasai, 3/196; Ahmad, 6/84; Abdurrazzaq, 19735).

Bagi ulama yang mendukung kebolehan bermusik, maka hadits di atas sering dipakai sebagai dalil. Sebaliknya, bagi ulama yang menolak musik, mengatakan bahwa hadits tersebut harus ditakwil atau ditafsir. Musik hanya boleh pada Hari Raya. Di luar Hari Raya, hukum musik adalah haram. Jadi, hukum haram musik adalah produk penafsiran terhadap hadits.

Kelompok pendukung keharaman musik mendatangkan hadits lain, yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, bahwa Rasulullah Saw bersabda: "layakunanna aqwamun min ummati yastahilluna al-hirra wal harira wal khamra wal ma'azifa (bakal muncul sebagian golongan umatku yang menghalalkan free sex, sutera, alkohol, dan alat musik)", (HR. Bukhari, 10/15; Abu Dawud, 4039; Ibnu Majah, 4020).

Sebagaimana dalil kelompok pendukung kebolehan bermusik, dalil kelompok pendukung keharaman musik juga ditakwil atau ditafsir. Misalnya, Abu Muhammad bin Hazm al-Zhahiri mengatakan bahwa hadits riwayat Bukhari ini adalah hadits munqathi', di mana al-Bukhari diyakini oleh Ibnu Hazm al-Zhahiri tidak pernah berjumpa dengan salah satu perawi hadits yang bernama Hisyam bin 'Ammar.

Tentu saja, pandangan Ibnu Hazm al-Zhahiri tersebut ditentang oleh kelompok pendukung keharaman musik. Dengan keyakinan bahwa al-Bukhari dan Hisyam bin 'Ammar pernah berjumpa. Dalil penentang pendapat Ibnu Hazm bukan dalil historis, melainkan analisa linguistik. Bagi mereka, karena al-Bukhari mengatakan "Hisyam bin 'Ammar mengatakan", maka ucapan al-Bukhari tersebut mengindikasikan perjumpaan antara al-Bukhari dan Hisyam bin 'Ammar. Di sinilah perdebatan terjadi.

Mencari Jalan Tengah

Umat muslim tidak boleh terjebak pada perdebatan teknis. Seyogyanya masuk ke dalam dimensi yang lebih mendalam dan subtansial, yaitu mengapa Rasulullah Saw membiarkan dua budak perempuan Aisyah bernyanyi dan bermain Rebana, serta mengapa Rasulullah Saw juga meramalkan kemunculan golongan orang-orang yang menghalalkan perzinaan, sutera, alkohol dan alat musik. Umat muslim harus bersandar pada ayat-ayat Al-Qur'an yang sudah sangat jelas dan final.

Rasulullah Saw melarang Abu Bakar Ra mencegah dua pemain musik dan penari itu, bukan hanya karena hari itu adalah hari raya, sebagaimana tersurat dalam teks hadits. Sebaliknya, karena Rasulullah Saw memastikan tidak ada dosa dan maksiat yang dilakukan oleh dua budak perempuan Aisyah Ra tersebut. Seandainya Rasulullah Saw melihat secara langsung praktik maksiat di dalam permainan musik tersebut maka sudah pasti Rasulullah Saw akan bertindak melarang tanpa perlu menunggu kedatangan Abu Bakar.

Larangan berbuat maksiat itu sendiri tidak ada hubungannya dengan permainan musik. Maksiat dan dosa bisa dilakukan tanpa dibarengi dengan permainan musik. Artinya, ketika ada permainan musik yang ditonton oleh Rasulullah Saw dan Aisyah Ra, maka itu berarti tidak ada perbuatan dosa dan maksiat di saat musik sedang dimainkan.

Namun, apakah permainan musik pasti tanpa maksiat? Tentu saja tidak. Permainan musik bisa dilakukan bersamaan dengan dosa-maksiat maupun tanpa dosa-maksiat. Ketika permainan musik dibarengi maksiat maka hukumnya haram. Oleh karenanya berlakulah hadits tentang larangan musik. Hadits ini berlaku bagi orang yang melakukan musik bersamaan dengan pesta free sex, pesta minuman keras, dan berfoya-foya, yang disimbolkan dengan memakai kain sutera.

Alhasil, tidak ada pertentangan antara hadits yang membolehkan permainan musik di waktu hari raya dan hadits melarang penggunaan alat-alat musik bersamaan dengan perbuatan-perbuatan maksiat. Dua hadits tersebut akan sepintas terlihat bertentangan apabila tidak berpegang teguh pada Al-Qur'an. Sementara Al-Qur'an sendiri sudah jelas dan tegas mengatakan bahwa ada 2 (dua) macam penyair, pemusik, yang satu diikuti oleh orang-orang sesat dan yang lainnya diikuti oleh orang-orang beriman dan bertakwa.

Di sini kita bisa mengasumsikan bahwa permainan musik yang dibarengi dengan maksiat (baca: free sex, minuman keras, dan foya-foya) akan tetap haram walaupun dilakukan di hari raya. Artinya, hari raya itu sendiri bukan alasan Rasulullah Saw membiarkan Aisyah dan Abu Bakar mengizinkan permainan musik, melainkan karena Rasulullah melihat tidak ada maksiat di saat itu, di saat musik dimainkan. Ketika Rasulullah melihat ada maksiat (hirra, harira, khamra) maka memainkan alat musik adalah haram.[]   

*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun