Hukum Musik dalam Hadits Nabi: Halal dan Haram dengan Catatan
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA.
Sudah jelas dalam Al-Qur'an bahwa hukum musik bergantung pada syair-syair atau lirik-lirik lagunya. Jika syairnya mengandung dusta dan maksiat, sudah barang tentu bermusik haram. Bila syairnya mengandung kebenaran, apalagi ayat suci Al-Qur'an, maka wajib menyenandungkannya dengan indah, sebagaimana diatur dalam ilmu Tajwid dan ilmu Qiroah. Jika musik tanpa syair, melainkan sebatas suara bernada indah, maka hukumnya boleh/mubah.
Al-Qur'an adalah sumber hukum atau pegangan utama dan terutama bagi umat muslim. Sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur'an adalah Sunnah atau hadits-hadits Rasulullah Saw. Menyangkut hukum musik, dalil-dalil hadits selaras dengan Al-Qur'an dan menjadi penjelas atau pemerinci terhadap kandungan Al-Qur'an yang masih bersifat umum. Melalui hadits pula, umum muslim memiliki pegangan hukum yang detail dalam semua bidang kehidupan, termasuk hukum musik.
Sebuah hadits menerangkan praktik bernyanyi dan memainkan alat musik pada zaman Rasulullah Saw. Diriwayatkan dari Aisyah Ra., beliau berkata: Pada suatu hari Abu Bakar Ra. datang menghadap Nabi Saw., dan saat itu di sampingku ada dua budak perempuan yang sedang bernyanyi dan menabuh Duff (rebana). Kemudian Abu Bakar melarang mereka berdua. Lalu Rasulullah Saw bersabda: "da'huma ya Aba Bakar, fainnahu yawmun 'ied (biarkan saja mereka, wahai Abu Bakar. Karena sekarang Hari Raya)", (HR. An-Nasai, 3/196; Ahmad, 6/84; Abdurrazzaq, 19735).
Bagi ulama yang mendukung kebolehan bermusik, maka hadits di atas sering dipakai sebagai dalil. Sebaliknya, bagi ulama yang menolak musik, mengatakan bahwa hadits tersebut harus ditakwil atau ditafsir. Musik hanya boleh pada Hari Raya. Di luar Hari Raya, hukum musik adalah haram. Jadi, hukum haram musik adalah produk penafsiran terhadap hadits.
Kelompok pendukung keharaman musik mendatangkan hadits lain, yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, bahwa Rasulullah Saw bersabda: "layakunanna aqwamun min ummati yastahilluna al-hirra wal harira wal khamra wal ma'azifa (bakal muncul sebagian golongan umatku yang menghalalkan free sex, sutera, alkohol, dan alat musik)", (HR. Bukhari, 10/15; Abu Dawud, 4039; Ibnu Majah, 4020).
Sebagaimana dalil kelompok pendukung kebolehan bermusik, dalil kelompok pendukung keharaman musik juga ditakwil atau ditafsir. Misalnya, Abu Muhammad bin Hazm al-Zhahiri mengatakan bahwa hadits riwayat Bukhari ini adalah hadits munqathi', di mana al-Bukhari diyakini oleh Ibnu Hazm al-Zhahiri tidak pernah berjumpa dengan salah satu perawi hadits yang bernama Hisyam bin 'Ammar.
Tentu saja, pandangan Ibnu Hazm al-Zhahiri tersebut ditentang oleh kelompok pendukung keharaman musik. Dengan keyakinan bahwa al-Bukhari dan Hisyam bin 'Ammar pernah berjumpa. Dalil penentang pendapat Ibnu Hazm bukan dalil historis, melainkan analisa linguistik. Bagi mereka, karena al-Bukhari mengatakan "Hisyam bin 'Ammar mengatakan", maka ucapan al-Bukhari tersebut mengindikasikan perjumpaan antara al-Bukhari dan Hisyam bin 'Ammar. Di sinilah perdebatan terjadi.
Mencari Jalan Tengah