Mohon tunggu...
Kezia Grace L
Kezia Grace L Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Ilmu Komunikasi

Tulisanku adalah aku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memangnya Benar, Diam Itu Emas?

8 Oktober 2020   00:47 Diperbarui: 15 Mei 2021   10:01 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Ket Quang from freeimages.com

Diam adalah Emas?

"Diam tak selalu emas," begitu kata dosen yang mengajar mata kuliah Lobi dan Negosiasi di kelas saya. Dan saya percaya itu.

Istilah "diam adalah emas", dalam Cambridge Dictionary, memiliki pengertian lebih baik tidak mengatakan apa-apa. 

Namun tentu saja, diam adalah emas ini, tidak bisa kita terapkan dalam setiap kondisi komunikasi yang kita hadapi. Toh, kita hidup di dunia ini bersama 7 miliar manusia lainnya, dengan karakteristik dan pemikiran yang berbeda-beda. Bagaimana mungkin kita tahu sikap, sifat, dan pemikiran satu sama lain jika kita hanya berdiam diri saja?

Berbicaralah Saat Diperlukan

Seperti pacarmu yang tidak akan tahu kamu mau makan apa , saat kamu ditanya "mau makan apa?" hanya merespon dengan "terserah".

Begitu pula dengan orang tuamu, tidak akan pernah mengerti cita-citamu dan mungkin hanya akan menyuruhmu mengikuti ambisi mereka, jika kamu tidak pernah menceritakan keinginanmu yang sebenarnya kepada mereka. 

Temanmu yang meminjam uangmu, dan berkata "besok gue ganti", namun kemudian melupakannya, mungkin akan terus lupa jika kamu tidak menagih uang itu  hanya karena kamu takut dicap "perhitungan".  

Mereka yang terlalu nyaman bertamu di rumahmu mungkin akan tetap  di rumahmu hingga larut malam, jika kamu tidak menyuruhnya pulang dan memberitahu alasan bahwa kamu sedang kecapekan atau tidak enak badan. 

Dan masih banyak  lagi contoh 'diam' lainnya yang jika terus kamu pelihara akan merugikan dirimu sendiri.

Diam yang Tak Sesuai Tempat itu Pasif

Sebenarnya, ada banyak penyebab orang menjadi 'diam' saat seharusnya ia berbicara, seperti: ngga enakan, ngga suka ribut-ribut alias menghindari konflik, takut salah ngomong, takut dianggap tidak sopan, dll. Nah, kalau kamu relate banget sama ciri-ciri tersebut, berarti kamu tipe orang yang cenderung berkomunikasi secara pasif.

 Seorang komunikator yang pasif cenderung menghindari untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya secara jujur dan lebih memilih untuk  memendam perasaan dan berpura-pura. Saya pun dulu termasuk orang yang terbilang sangat pasif. Mau saya ceritain, ngga?

 

Diam yang Tak Sesuai Tempat itu Rugi

Saat masih SD dulu, saya sangat suka membaca manga-manga Jepang diantaranya yaitu Hai Miiko!, Detective Conan, One Piece, dan juga Doraemon. Btw, saya tidak mengeluarkan uang sepeser pun untuk membaca manga-manga tersebut. Manga Hai Miiko! saya pinjam dari adik saya, sedangkan Detective Conan dan One Piece saya pinjam dari sepupu saya. Makanya saya lancar baca setiap chapter-nya, ada yang gratisan sih hehehe.

Singkat cerita, saat saya menduduki bangku SMP, seperti ada yang salah pada diri saya, yang ternyata disebabkan oleh hobi buruk saya saat membaca, namun saya belum sadar akan hal itu. 

Di dalam kelas, ibu guru mulai menulis di papan tulis. Saya menyipitkan mata saya. "Kok blur ya?", pikir saya. Saya tidak bisa melihat tulisan di papan tulis dengan jelas. Rasanya saya ingin menyalahkan tulisan ibu guru yang terlalu kecil atau tempat duduk saya yang terlalu jauh. Namun saya ingin memastikan dulu dengan bertanya pada teman yang jaraknya tak jauh dari saya.

Saya: "Meg, lo kelihatan ngga sih tulisan di papan tulis?"

Mega: "kelihatan kok, Grace."

Saya bingung, yang saya bisa lihat hanya cahaya yang terpantul di papan tulis. Sedangkan tulisannya sama sekali tidak bisa terbaca, terlihat kabur.

Saya memutuskan bertanya sekali lagi pada Mega untuk memastikan.

Saya: "Meg, seriusan kelihatan? kok gue lihatnya ngeblur dan silau gitu ya.

Mega:" Iyaaaa, serius Grace."

Ternyata karena kebiasaan membaca yang buruk, yaitu sambil tiduran dan menggunakan pencahayaan yang kurang, saya mengalami rabun jauh (mata minus). Dan karena saya terlalu takut untuk bertanya pada orang lain (saya pikir cuma saya yang mengalami ini) saya pun jadi tidak tahu kalau mata saya sudah mengalami kerusakan. 

Saat saya akhirnya tahu bahwa mata saya minus, selanjutnya apa yang saya lakukan?  Tidak ada, saya diamkan saja. Saya menganggap remeh masalah mata ini. 

Sampai saya semakin merasa menderita karena tidak bisa mengenali orang yang menyapa saya dari jauh, sampai saya semakin tertinggal oleh pelajaran demi pelajaran di SMP saya, sampai saya merasa malas keluar rumah, karena di lingkungan yang luas sekalipun, kemampuan mata saya memandang ya tetap segitu-gitu saja.

Bayangkan berapa banyak ilmu yang lewat sia-sia saat saya SMP, hanya karena saya memilih diam dan tidak menceritakannya kepada orang tua saya. Dulu saya nggak enak karena takut ngerepotin, takut nambah beban keluarga, takut malah terjadi konflik, dan masih banyak lagi ketakutan-ketakutan lainnya.

Menjadi pasif memang se-merugikan itu kok.

Solusinya? Komunikasi Asertif!

Jika kamu termasuk tipe orang yang pasif yang susah untuk mengekspresikan isi pikiranmu. Cobalah berlatih menjadi asertif. 

Poots (2013)  menyatakan bahwa perilaku asertif adalah ekspresi yang terbuka dan jujur tentang perasaan, pendapat, dan kebutuhan seseorang, dengan cara mengkomunikasikan apa yang seseorang inginkan dengan jelas, dengan menghormati hak-hak diri  sendiri dan hak orang lain.

Orang yang asertif adalah orang  yang mampu untuk mengungkapkan pendapat dengan percaya diri tanpa menunjukan perilaku pasif, agresif, atau manipulatif. Artinya, orang ini tuh bisa speak up tentang hak-haknya dia secara jujur tapi tetap respect terhadap hak-hak orang lain juga. 

Kamu bisa melatih diri menjadi asertif dengan cara: belajar mengatakan "tidak", memberanikan diri menyampaikan pendapat yang berbeda, mengungkapkan emosi dengan intonasi suara yang stabil dan pemilihan diksi yang baik, dan yang tidak kalah pentingnya, tetap menghargai orang lain ya. Karena kalau kamu bicara jujur namun dengan bahasa yang kasar dan tidak menghargai orang lain, itu bukan asertif namanya, tapi agresif.

Memang menjadi asertif tidak bisa se-instan memasak mi instan. Maka dari itu harus terus dilatih ya! Saya pun tidak akan pernah berhenti belajar menjadi asertif.

Kesimpulan:

Jadi apakah diam itu benar-benar emas? ya tergantung. Kalau kamu diam saat ada masalah, jelas itu bukan emas. Masalah yang didiamkan tidak akan hilang begitu saja. Karena, ibarat melempar bumerang, ia akan tetap kembali padamu.

Lalu apakah "diam adalah emas", itu salah? saya tidak bilang begitu,  kita harus tahu situasi dan kondisi saat ingin menerapkan pernyataan ini. Diam itu emas, saat kamu tidak tahu apa-apa tentang topik pembicaraan yang sedang berlangsung, daripada asbun 'asal bunyi' dan jatuhnya hoaks, lebih baik diam, kan?

Diam itu emas, saat kamu sedang berada di emosi yang negatif (hot state) seperti sedang marah atau pikiran kalut, dan kamu merasa tidak akan bisa mengendalikan perkataan dan sikapmu, lebih baik diam, kan?

"Don't promise when you're happy, Don't reply when you're angry, and don't decide when you're sad."

Ziad K. Abdelnour

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun