Perbedaan upah ini tentunya memliki dampak negatif bagi para perempuan dan keluarganya dan ada ketimpangan seumur hidup antara laki-laki dan perempuan dan lebih banyak perempuan yang pensiun ke dalam kemiskinan. Kesenjangan dalam upah ini terjadi di semua negara dan di semua sektor, sebab perempuan kurang dihargai dan perempuan lebih fokus pada pekerjaan yang berbeda dengan laki-laki.
Jepang merupakan salah satu negara yang memiliki kesenjangan upah terbesar diantara semua negara OECDÂ (Economic Co-operation and Development). Dilansir dari laman resmi milik OECD, pada tahun 2021 Jepang menempati urutan ketiga dalam kesenjangan upah gender, yaitu sebesar 22,1%. Pada tahun 2022, diperkirakan kesenjangan upah gender di Jepang sebesar 22%.Â
Mayoritas perempuan dan laki-laki di Jepang mulai bekerja di usia 20-an dan mereka menerima upah bulanan dengan rata-rata yang sama, masing-masing sebesar 214.600 dan 209.200 yen (Rp24.557.724 dan Rp23.935.554). Menjelang akhir usia 50-an, upah bulanan laki-laki Jepang sebesar 420.100 yen (Rp48.063.547), sedangkan upah perempuan hanya 271.100 yen (Rp31.013.263) (Dalton & RMIT, 2022)
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Indonesia menempati urutan ke-92 dari 146 negara dalam ketidaksetaraan gender. Ini membuat Indonesia dengan ketidaksetaraan gender tertinggi diantara negara-negara di ASEAN. Terbukti dengan kesenjangan upah gender yang signifikan.Â
Perempuan di Indonesia memperoleh 59,27% dari apa yang diperoleh oleh laki-laki, meskipun memiliki tingkat pendidikan yang sama. Pada tahun 2021, kesenjangan upah gender pedesaan Indonesia sebesar 26,29%. Kesenjangan upah tidak hanya terjadi di pedesaan, di perkotaan rata-rata upah pekerja perempuan adalah Rp2.700.000, sedangkan laki-laki mendapatkan upah rata-rata Rp3.500.000 (Bintari, 2022).
Fenomena ini tentunya terjadi di Jepang dan Indonesia, karena pada saat ini glass ceiling masih terus terjadi di negara maju sekalipun. Glass ceiling adalah keadaan dimana perempuan sulit untuk meningkatkan karir jabatannya ke jenjang yang lebih tinggi di suatu institusi. Istilah glass ceiling dimetaforakan sebagai perempuan dipersilahkan menaiki tangga kariernya sembari menatap ke atas namun mereka dihalangi oleh kaca sehingga hanya mampu menatap kaca sembari melihat laki-laki menaiki tangga ke puncak karier (Cahyani, 2019). Â Glass ceiling yang menimpa perempuan tidak hanya menjadi hambatan dalam berkarir, tetapi juga memberikan dampak buruk pada kondisi metal, kesehatan, dan kesehjateraan mereka.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Muslim dan Perdhana di tahun 2017, glass ceiling timbul dari faktor-faktor berikut:
- Wanita dianggap kurang bisa dalam mengaktualisasi diri dalam perusahaan sehingga hal tersebut menjadi penghambat wanita untuk memperoleh promosi ke jabatan lebih tinggi.Â
- Wanita lebih cenderung sulit untuk membangun network atau membangun relasi
- Adanya stereotip gender terhadap wanita dimana seorang wanita dipandang lebih baik jika berdiam diri di rumah atau menjadi seorang ibu rumah tangga dibandingkan dengan bekerja di suatu perusahaan. Selain itu, ada juga stereotip, prasangka atau bias gender yang memandang kedudukan pria lebih unggul dibandingkan kedudukan wanita secara sadar maupun tidak sadar.
- Wanita dihadapkan oleh konflik tanggung jawab antara keluarga dan perusahaan, sehingga wanita dianggap tidak bisa bekerja secara maksimal karena harus membagi fokus antara pekerjaan dan keluarga.
Kesimpulan
Ketidaksetaraan gender sudah ada sejak bertahun-tahun lamanya dan butuh ratusan tahun lagi untuk menghilangkan ketidaksetaraan gender. Tempat kerja juga menjadi tempat dimana ketidaksetaraan gender terjadi bagi para perempuan, dimana perempuan menerima upah yang berbeda dengan laki-laki, dan fenomena glass ceiling. Ketidaksetaraan gender ini terjadi sebab adanya subordinasi, stereotip, kekerasan, beban ganda (double burden), dan marjinalisasi bagi para perempuan di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat.
Referensi
Bintari, A. (2022, March 08). Without data Indonesia’s gender equality promise falters. TheJakartaPost.Â