Mohon tunggu...
Kezia Angelica
Kezia Angelica Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional

Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Intervensi Kemanusiaan Oleh PBB dan Amerika Serikat di Rwanda Melalui Perspektif Konstruktivisme

4 Juni 2023   17:06 Diperbarui: 4 Juni 2023   17:11 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Norma menjelaskan tentang tindakan apa yang dinilai sah dan tidak sah di dunia internasional berdasarkan keputusan kolektif unsur-unsur di dunia internasional. Maka dari itu, norma dipandang sebagai peraturan ataupun batasan dalam mengambil tindakan antar negara.  

Menurut pandangan Konstruktivisme, norma bukan hanya dianggap sebagai instrumen untuk mencapai kepentingan negara, melainkan juga sebagai struktur sosial yang bersifat mengatur. Dalam norma internasional, negara diatur berdasarkan adil atau tidaknya sebuah tindakan. 

Hal ini yang pada akhirnya menunjukan bahwa adanya intervensi kemanusiaan dianggap legal selama tujuan dan metodenya mengutamakan moralitas negara. Dengan kata lain, negara dipandang sebagai individu tunggal sedangkan norma sebagai pengaturnya. Pendekatan ini menganggap intervensi kemanusiaan merupakan cara untuk mencapai sebuah keteraturan masyarakat internasional. Hal ini akan sejalan bila mana adanya anggapan bahwa negara dalam konteks ini adalah "aktor publik (Lu, 2006). 

Tindakan negara dimotivasi oleh "barang publik dan oleh karena itu negara bersifat altruis (tidak mementingkan diri sendiri). Maka dapat digambarakan bahwa intervensi kemanusiaan melalui pendekatan Konstruktivisme bercirikan adanya sikap moralitas internasional. Dengan kata lain, pendekatan ini mengamati fenomena intervensi kemanusiaan melalui latar belakang dari sebuah intervensi dilakukan. (Rosyidin, 2017)

Contoh kasus yang menggunakan pendekatan ini ialah konflik etnis yang terjadi di Rwanda. Konflik ini diawali pada bulan Oktober tahun 1990 yang mana ditandai dengan adanya pemberontakan oleh Front Patriotik Rwanda (FPR). Konflik ini dilatarbelakangi oleh ketidaksetujuan etnis hutu terhadap kekuasaan Belgia sebagi dewan keamanan. Etnis hutu yang tergolong sebagai etnis minoritas beranggapan bahwa fokus kekuasaan berada pada etnis yang dominan yakni tutsi. Kebencian tersebut akhirnya berubah menjadi dendam dan kemudian menjadi konflik. 

Pembunuhan Presiden Juvenal Habyarimana serta rekannya yang merupakan Presiden Burundi, Cyprien Ntarymira menjadi pemicu pembantaian etnis Tutsi yang dimulai pada 7 April 1994. Strategi yang dilakukan oleh etnis hutu antara lain melakukan propaganda melalui stasiun radio dan menerbitkan surat kabar dengan tujuan menakut-nakuti etnis tutsi.  Selain itu, pemerkosaan, pembunuhan massal, hingga penembakan juga mewarnai pemberontakan ini. konflik ini akhirnya berubah menjadi kasus pelanggaran HAM berat semenjak adanya pembunuhan terhadap etnis Tutsi dalam skala yang besar. 

Bahkan, Belgia sebagai perwakilan dari Liga Bangsa-Bangsa yang seharusnya berperan sebagai aktor perdamaian terpaksa diminta untuk mundur dikarenakan banyaknya serangan dari etnis Tutsi di Rwanda. Hal ini dilanjutkan dengan tindakan etnis Tutsi yang pada akhirnya memilih untuk mengungsi ke daerah Uganda guna mencari tempat yang aman.

Negara seperti Amerika Serikat akhirnya merespons konflik ini melalui intervensi kemanusiaan dengan tujuan meredam konflik tersebut. Negara ini melakukan intervensi kemanusiaan dalam bentuk tak langsung. Hal ini dapat dilihat melalui tindakan Amerika Serikat yang melakukan perundingan dengan salah satu pemimpin dari FPR, yaitu Yoweri Museveni. Perundingan ini bertujuan untuk mengurangi konflik ini. Hasil dari perundingan tersebut ialah munculnya rencana penangkapan pemberontak dan pengamanan daerah perbatasan konflik. 

Selain itu, Amerika Serikat juga mengirimkan senjata militer kepada tentara FPR dengan tujuan menekan banyak nya korban jiwa yang ada akibat konflik ini. Alasan Amerika Serikat di balik tindakannya ini ialah adanya kepedulian negara tersebut terhadap banyaknya korban jiwa yang meninggal akibat terjadinya konflik tersebut. Sikap kepedulian ini tumbuh akibat adanya norma moralitas internasional. 

Selain itu, Amerika sebagai negara adikuasa yang di mana dinilai memiliki power yang besar dibandingkan negara-negara lain menjadi salah satu alasan negara ini melakukan intervensi kemanusiaan. Selain untuk mengurangi korban jiwa dari aksi genosida, Intervensi kemanusiaan ini juga dilatarbelakangi oleh kepentingan Amerika Serikat dalam menyelamatkan warga negaranya yang berada di Rwanda. Hal ini terlihat melalui adanya upaya untuk evakuasi korban dan pengamanan yang dilakukan oleh pemerintahan Amerika Serikat pada 11 April 1994. Lebih dari 250 warga negara Amerika Serikat berhasil dievakuasi dari tempat terjadinya konflik. 

 Selain Amerika Serikat, PBB sebagai salah satu aktor internasional yang melakukan intervensi kemanusiaan di Rwanda. Intervensi yang dilakukan oleh PBB berbeda dengan yang dilakukan oleh AS. PBB melakukan Intervensi kemanusiaan berbasis kemiliteran yang terdiri dari empat tahapan. Tahap pertama, pengiriman tim yang terdiri dari 25 personil militer, 18 personil sipil, dan 3 polisi sipil setelah mendapat otorisasi formal dari Dewan Keamanan PBB. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun