Asia Timur merupakan wilayah yang dianggap sebagai poros ekonomi dunia, hal ini terjadi karena pasca Perang Dingin, negara-negara di kawasan Asia Timur menunjukkan perkembangan ekonominya dengan signifikan. Kebangkitan ekonomi wilayah ini tak lain disebabkan oleh perkembangan pasar terbuka dan juga kerjasama perdagangan antar negara yang begitu kuat.Â
Namun, terlepas dari pentingnya wilayah ini bagi dunia, Asia Timur juga rentan terhadap konflik. Isu sosial seperti agama, ideologi, dan identitas seringkali menjadi alasan dari adanya gesekkan-gesekkan konflik yang apabila dibiarkan akan makin memanas. Apalagi, adanya konflik berkepanjangan di semenanjung Korea menyebabkan stabilitas keamanan regional menjadi sulit untuk dicapai.
Korea Selatan dan Korea Utara merupakan dua negara tetangga dengan sejarah konflik yang begitu panjang. Semenanjung ini awalnya dipisahkan oleh Uni Soviet yang menguasai wilayah Utara, dan Amerika Serikat yang menguasai wilayah selatan , hal ini juga dipicu oleh meletusnya Perang Dunia II. Seiring berjalannya waktu, Perang Dunia II akhirnya usai, bahkan Uni Soviet-pun telah runtuh, namun mengapa Korea Selatan dan Korea Utara tidak menunjukkan tanda-tanda adanya reunifikasi setelah keadaan dunia berubah?Â
Hal ini tentu saja dilatar belakangi dengan adanya perbedaan ideologi yang begitu mendarah daging dianut oleh kedua negara. Korea Utara menganut paham komunisme, yang merupakan turunan dari negara penjajah sebelumnya yakni Uni Soviet dan China. Sedangkan Korea Selatan menganut paham Liberalisme, sebagai efek dari pengaruh Amerika Serikat dan Jepang. Tak hanya itu, faktor yang membuat perdamaian antara kedua negara ini terkesan jauh adalah adanya ancaman nuklir Korea Utara yang menghantui keamanan Korea Selatan.Â
Korea Utara menganut ideologi Juche yang berarti mandiri dan tidak bergantung pada negara lain. Ideologi ini mendorong Korea Utara untuk mengusahakan keamanan negara dengan kemampuan negara sendiri. Ini adalah salah satu faktor dari pengembangan nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara.Â
Sebenarnya, yang pertama kali mengembangkan nuklir di Korea Utara adalah Uni Soviet, mereka mendirikan penelitian terkait biji uranium yang merupakan sumber daya yang melimpah di Korut. Pada saat itu, Korea Utara masih belum memiliki teknologi yang memadai untuk memproduksi senjata nuklir sendiri, namun kemudian Korea Utara mengambil langkah untuk mengembangkan diri demi mencapai kemampuan produksi nuklir dengan cara mendirikan Akademi Militer Hamhung di tahun 1965.
Akademi militer ini menyediakan pelatihan pengembangan rudal bagi tentara pelajar. Uni Soviet juga kembali berperan dengan cara memberikan bantuan untuk pembangunan pusat penelitian nuklir di Yongbyon. Upaya pertahanan diri ini dibenarkan oleh Korea Utara dengan alasan waspada akan peningkatan militer Korea Selatan, sebagai upaya untuk mencapai Balance of Power dari ancaman-ancaman negara yang lebih besar, dan juga untuk meninggikan posisi tawar Korea Utara dalam kedudukannya di dunia internasional.
Upaya pertahanan diri ini merupakan ancaman nyata bagi komunitas internasional, karena Korea Utara seringkali tidak mengindahkan kecaman dari komunitas yang sedang maraknya mengembangkan rezim non-proliferasi. Korea Utara juga tidak mengindahkan respon internasional yang mengisyaratkan ketakutan akan kekuatan nuklir yang dimiliki Korea Utara setelah Korea Utara beberapa kali melakukan uji coba senjata massal nuklir.Â
Namun, pemerintah Korea Utara bersikap ironis ketika menuduh AS menimbulkan ancaman bagi Korea Utara setelah AS dan Korea Selatan melakukan latihan simulasi militer dengan skenario perang nuklir, Korea Utara merespon sikap AS dan Korea Selatan dengan memberikan ancaman terbuka terhadap kedua negara tersebut dengan cara menghalanginya dengan kekuatan nuklir DPRK yang lebih sempurna dan lebih berkembang untuk membela diri.
Seperti yang kita tau, senjata nuklir merupakan senjata yang bersifat sangat destruktif, dan memiliki banyak sekali dampak buruk tidak hanya pada lingkungan namun juga pada manusia. Dimulai dari banyaknya korban yang akan jatuh , dan juga kerusakan lingkungan serta timbulnya radiasi yang mematikan.Â
Oleh karena itulah senjata nuklir merupakan ancaman dan mimpi buruk bagi setiap negara. Penggunaan senjata nuklir bagaikan lingkaran setan yang tiada habisnya, hal tersebut akan menimbulkan kecurigaan bagi setiap negara yang memanfaatkannya, bahkan walau hanya dengan dalih penelitian sekalipun. Dan tentu saja akan menimbulkan kekhawatiran bagi negara-negara yang belum mampu untuk mengembangkan teknologi nuklir.Â
Contoh nyata dari mimpi buruk senjata nuklir adalah kehancuran kota - kota di Hiroshima dan Nagasaki. Komunitas internasional kemudian menciptakan mekanisme global untuk membatasi penggunaan nuklir hanya untuk tujuan damai. Mekanisme ini dimuat pada Resolusi pertama Dewan Keamanan PBB Januari 1946 yang memuat ajakan untuk membentuk Komisi Energi Atom Internasional untuk mengeliminasi senjata nuklir dan komponen persenjataan lain yang bisa diadaptasi menjadi senjata pemusnah massal.
Maka, langkah tepat yang harus dilakukan oleh komunitas internasional adalah mendorong gerakkan non proliferasi nuklir. Penggunaan nuklir oleh setiap negara harus dibatasi, dengan adanya pengawasan yang ketat dan pemberlakuan sanksi bagi pelanggar. Hal ini dilakukan demi menjaga penggunaan nuklir dari tujuan-tujuan yang akan berdampak buruk bagi dunia.Â
Dan dalam melihat konflik yang terjadi di semenanjung Korea, langkah yang harus terus dilakukan adalah upaya diplomatis demi meningkatkan rasa percaya antar Korea Selatan dan Korea Utara satu sama lain, selain itu, penting juga untuk meningkatkan kerja sama di bidang ekonomi dan sosial serta transparansi antar keduanya , serta menyingkirkan ego dari aktor pemerintah dari masing-masing negara agar upaya perdamaian dapat berjalan dengan lancar.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H