Mohon tunggu...
KEYZA CINTA AULIA
KEYZA CINTA AULIA Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - pelajar

saya mempunyai hobi yang saya sukai yaitu membaca,entah itu cerpen maupun novel.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dia yang Ingin di Perhatikan

22 November 2024   13:30 Diperbarui: 22 November 2024   13:41 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KRING.... KRING.... KRING.... KRING.... 

Perlahan mata yang tertutup rapat itu terbuka sedikit untuk menyesuaikan cahaya. Ini masih pagi, selimut pun enggan untuk melepaskan ku. Jadi ku teruskan untuk tidur deh. Entah berapa menit sudah berlalu ketika aku menutup mata ku. Tiba-tiba...

"ADEKKKKK BANGUN DEKK," ohh itu adalah suara alarm kedua ku suara yang tak pernah bisa dibantah oleh siapapun. Yup benar itu adalah suara Mama ku. Aku memang sering tidur lagi setelah mematikan alarm jadi Mama ku pun sangat kesal terhadap sikap malas ku. 

"Eungg sebentar mahhh... lima menit lagi dehh," ucapku sambil meregangkan badan di atas kasur dan selimut.

"Ga pake lima menit lima menit an, ayo cepet bagun udah mau siang ini." 

Sret..

Tanpa babibu lagi aku langsung beranjak bangun dari kasur serta merapikannya dan berjalan ke kamar Mama untuk mengambil baju mandi. Setelah selesai mandi dan bersiap aku langsung menuju meja makan untuk menyantap sarapan yang telah Mama siapkan saat malam. Acara makan pun sudah berlalu kini saatnya aku berangkat ke sekolah. Tapi sebelum itu aju menyampaikan informasi dari wali kelasku tentang penerimaan rapot kenaikan kelas. 

"Mah kata wali kelas minggu depan hari rabu jam sembilan pagi ada pengambilan rapot, Mama mau ngambil rapot ku tidak?" 

"Kayak nya tidak bisa deh dek, Karena Mama harus kerja. Nanti minta tolong sama Kakak aja buat ambil sama kamu." 

"Huftt selalu seperti itu saat ada acara di sekolah. Selalu sibuk dengan pekerjaan nya. Aku kan juga mau di ambilin sama Mama kayak temen-temen yang lain." Batinku dengan kekecewaan kepada jawaban yang Mama berikan. 

"Ohh gitu, yaudah deh Mah sama Kakak aja kalo gitu. Assalamualaikum, aku berangkat ya Mah."

Disekolah pun teman-teman membahas tentang siapa yang akan mereka ajak untuk mengambil rapot di sekolah. Ada yang diambilkan Ayah nya ada juga yang dengan Ibu nya, ada juga malah yang dengan kedua-duanya. Aku sedikit iri dengan mereka. 

Aku tidak memperdulikan lagi tentang apa yang mereka bahas tentang raport, Sekarang aku akan fokus untuk membaca cerita di handphone ku. Yah sedikit pengalihan tentang kejadian tadi pagi. Tak lama kemudian pembelajaran jam pertama dimulai hingga tak terasa jam pulang pun menggema di lapangan. 

Baiklah saat nya berjumpa lagi dengan teman-teman besok. Aku hampir lupa untuk menjemput Kakak ku dari Surabaya, dia sudah libur kuliah jadi aku bisa mengajak nya untuk mengambil rapot hari rabu nanti.

"Mana si Kakak ini, katanya di suruh nunggu di depan Garpura tapi kok gak muncul-muncul sih panas tauuuu."

"DEKKK HEIII DEKK." Sepertinya tadi aku mendengar suara perempuan memanggil namaku deh,tapi di sebelah mana ya. Setelah ku tengok kesana kemari ternyata dia ada di Gapura pintu keluar. Tunggu tunggu tunggu, akkk Aku salah Gapura ternyata pantas saja lama sekali menunggu nya. 

"Hehe maaf ya tadi salah Gapura, salah sendiri tidak bilang kalau nunggu nya di Gapura pintu keluar." 

"Yeuuu itu mah kamu yang baca nya buru-buru mangkanya jadi salah baca, sudah sudah ayo segera pulang aku capek abis naik kereta dua jam an tadi."

Waktu di perjalanan pulang aku bilang ke Kakak bahwa aku mengajaknya untuk mengambil rapot ku di hari rabu. "Kak, Kakak mau nggak ambillin rapot ku hari rabu depan nanti?" tanyaku. 

"Mau mau aja sih, tapi beliin mie ayam langganan ya." Ucapnya yang sedikit menggoda ku untuk mentraktir.

"Yayaya baiklah Tuan Putri yang Baik Hati." Dia cekikikan di belakang ku setelah mendengar jawaban ku.

Setelah tiba di rumah Kami pun segera mandi dan makan bersama sambil bermain handphone masing-masing. 

*****

"Kak, aku iri deh dengan anak-anak dan teman-temanku yang rapot nya di ambilkan sama Orang tuanya, huftt aku juga mau. Entah kapan terakhir kali aku diambilkan rapot sama Mama, mungkin waktu SD." 

"Yang sabar Dek, mungkin lain kali bakalan ada waktu yang lebih tepat buat kamu berangkat sama Mama. Kakak juga kok, dulu jarang di ambillin Mamah karena Mamah sibuk. Jadi gantinya di ambillin Ayah. Kamu juga masi di ambillin sama Ayah kan?" katanya kakak ku yang berusaha menghibur ku. 

"Dulu waktu SMP awal-awal saja si di ambiliin Ayah, tapi setelah itu mereka kembali sibuk lagi kan.Tapi sekarang aku ada Kakak yang bisa ku andalkan di saat tertentu.Terima kasih ya Kak." 

"Sama-sama Adikku, tapi jangan lupa mie ayam nya yaa hahaha." sialan banget ni Kakak satu, tapi nggak boleh gitu Nina dia itu Kakak mu yang selalu ada buat kamu, jadi kamu harus sabar.

*****

Aku sebenarnya ingin bilang sesuatu kepada Mamah, tapi aku terlalu takut untuk mengatakan

semua nya. Tapi jika tidak ku katakan itu akan membuat nya menjadi beban pikiran ku yang

sudah menimbun banyak di dalamnya. Aku akan berusaha memberanikan diri untuk

membicarakan nya.

"Mah aku ingin bertanya sesuatu kepada mamah."

Malam itu, ruang keluarga yang semula penuh dengan gelak tawa tiba-tiba berubah hening. Suara napasku terdengar begitu jelas, berat, seolah menggambarkan segala beban yang selama ini aku tahan. Aku tidak tahu bagaimana cara melanjutkan, tapi aku tahu, ini saatnya.

Mamah masih diam. Wajahnya menunduk pertanda sedih, seperti mencari sesuatu di dasar piringnya yang kosong. Kakakku pun ikut terdiam. Aku menunggu. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, dan mataku mulai memanas.

"Mamah..." Suaraku hampir patah. "Kenapa Mamah selalu menjauh saat aku butuh? Apa aku nggak cukup penting buat Mamah?"

Mamah akhirnya mengangkat wajahnya. Matanya menatapku, namun tidak dengan tatapan yang aku harapkan. Di sana ada kelelahan, tapi juga ada sesuatu yang selama ini aku tidak mengerti kesedihan.

"Nina..." suara Mamah pecah.

 "Bukan maksud Mama seperti itu."

Aku terdiam. Tidak tahu harus bagaimana merespons kalimat itu, hatiku tak kuasa melihat Mamah memanggilku dengan suara lirihnya.

"Apa Mamah tahu, betapa aku ingin menjadi anak yang Mamah dengarkan? Aku ingin sekali Mamah ada, walau hanya sekali, seperti Mamah ada untuk Kakak." Air mataku tidak bisa lagi aku tahan. Kata-kata itu meluncur begitu saja, tanpa kendali.

Kakakku hanya menatap Mamah, lalu menatapku, seakan ingin memecah ketegangan tapi tidak tahu caranya.

"Nina..." Mamah akhirnya berbicara lagi. Kali ini suaranya lebih tegas, meski masih terdengar goyah. "Mamah minta maaf."

Aku terkejut. Kata itu jarang sekali keluar dari mulut Mamah. Ini yang aku inginkan, permintaan maaf dari Mamah yang sekian lama belum terucap.

"Mamah nggak pernah bermaksud menyakiti kamu. Tapi mungkin, Mamah terlalu sibuk berusaha jadi orang tua yang kuat sampai lupa... kalau kamu juga butuh perhatian." Matanya mulai berkaca-kaca.

Aku masih diam, tapi air mataku tak henti-hentinya mengalir.

"Mamah nggak pernah cerita ini, karena Mamah nggak mau kalian merasa khawatir, terutama kamu. Tapi... selama ini Mamah memang sulit membagi perhatian. Waktu itu, Papa dan Mamah sering bertengkar. Setelah Papa pergi, Mamah harus kerja keras untuk kalian. Rasanya, seperti nggak ada waktu buat mendengarkan atau memahami lebih dalam. Mamah pikir, kalau Mamah tetap tegar, semuanya akan baik-baik saja."

Aku tertegun. Kata-kata Mamah memukulku keras, seperti tamparan yang tidak pernah aku duga sebelumnya.

"Tapi... itu salah. Sangat salah. Mamah baru sadar, ketegaran Mamah yang berlebihan malah bikin kamu merasa ditinggalkan." Suaranya pecah. "Mamah benar-benar minta maaf, Nina. Maaf kalau selama ini kamu merasa nggak cukup berarti buat Mamah. Kamu nggak tahu, betapa bangganya Mamah sama kamu."

Malam itu, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Semua beban yang selama ini aku tahan rasanya mulai lepas, perlahan. Aku hanya bisa meraih tangan Mamah, menggenggamnya erat, dan menangis dalam pelukannya.

Kakakku pun ikut mendekat, menaruh tangannya di pundakku. "Kamu tahu, Dik, aku juga sering merasa kurang sebagai Kakak. Tapi aku sadar, Mamah selalu melakukan yang terbaik, walaupun caranya nggak selalu terlihat oleh kita."

Malam itu, untuk pertama kalinya, ruang keluarga menjadi tempat di mana aku merasa benar-benar dimengerti. Tidak ada lagi dinding yang membatasi kami. Mamah, Kakakku, dan aku akhirnya kami berbicara dengan hati yang terbuka.

Sejak saat itu, aku tahu perjalanan kami sebagai keluarga belum sempurna, tapi setidaknya, kami telah menemukan cara untuk memulai kembali. Aku berjanji pada diriku sendiri, aku tidak akan menyimpan luka ini lagi, melainkan menjadikannya kekuatan untuk tetap berjalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun