Mohon tunggu...
Keysa Fahradine Audyzza
Keysa Fahradine Audyzza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Program Studi Perbankan Syariah

Kepribadian

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pancasila dan Nilai-Nilai Keislaman

26 September 2022   00:24 Diperbarui: 26 September 2022   00:38 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pancasila adalah konsensus tertinggi para bapak bangsa tahun 1945 tentang dasar falsafah negara Republik Indonesia. Pancasila memang bukan syariat, tetapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sejalan dengan syariat. Sila-sila nya pun yang terkandung di dalamnya sejalan pula dengan syariat. Karena keberadaannya yang sejalan ini, maka Pancasila termasuk nota kesepahaman yang Islami. Bagaimana mungkin hal itu terjadi?

Dalam sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan landasan teologis dari negara Indonesia. Sila pertama ini bersifat menjiwai keempat sila lainnya, menjadi cermin bagi konsep tauhid sebagaimana yang tertuang dalam ayat Al-Qur'an Surat Al-Ikhlas. Nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila, dipandang mampu untuk mewadahi semua ragam etnis, suku, dan golongan yang terdapat di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Bisa dikatakan secara tidak langsung, nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila juga merupakan cerminan bahwa para pendiri bangsa Indonesia yang mayoritas adalah beragama Islam, sangat memahami keragaman yang ada di wilayah Indonesia dan memasukkan kaidah universal ajaran Islam ke dalam sila-sila Pancasila tersebut sebagai solusi jalan tengah.

Nah, untuk itu sangat layak apabila kemudian Pancasila disematkan bahwa itu sangat Islami. Pancasila yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa yang terdiri atas mayoritas muslim adalah hasil produk uji coba pertama kali pengamalan Islam Wasathiyah (Islam moderat) dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan.

Pancasila disusun atas dasar proses politik tersebut, hal ini terbukti dengan adanya pengubahan sila pertama dari isi Piagam Jakarta menjadi berbunyi sila Ketuhanan Yang Maha Esa setelah memperhatikan delegasi dari Indonesia Timur. Apakah pengubahan ini menyalahi produk hukum fiqih? Jika dilihat dari bunyi kalimat Sila Pertama Pancasila ini, ternyata substansi sila tersebut tidak menyalahi konsepsi tauhid yang bersifat universal.

Dalam hal ini, para pendiri bangsa lebih memilih mengambil substansi dibanding cap, dengan tujuan utama menghindari terjadinya perpecahan anak bangsa. Alhasil, tidak ada masalah bahwa Indonesia tidak bisa disebut sebagai Negara Islam. Karena yang terpenting dalam agama adalah substansi dan hakikat pengamalannya, bukan sekadar platform atau cap semata namun justru menghasilkam mudlarat yang besar bagi bangsa. Mekanisme permusyawaratan yang disampaikan dalam sila ke-4 Pancasila juga disebutkan sebagai musyawarah/perwakilan.

Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa mekanisme ini dilakukan dengan jalan dua pertiga anggota musyawarah yang hadir. Dari dua pertiga ini, keputusan musyawarah apabila tidak bisa disepakati oleh peserta musyawarah, maka tata cara pengambilan keputusan dilakukan dengan jalan voting dan keputusan tersebut diambil dengan persetujuan separuh dari anggota yang hadir pula satu. Apakah ini bertentangan dengan syariat? Sudah pasti tidak, karena syariat Islam banyak yang menyebut bahwa pendapat yang lebih banyak diikuti oleh ulama adalah pendapat yang diikuti. Mana mungkin ada penyebutan lebih banyak tanpa adanya kuantifikasi? Bahkan dalam beberapa kaidah penggalian hukum yang sering dijadikan dasar pedoman. Sampai sini sudah jelas bahwa Pancasila memang bukan syariat. Namun nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila ternyata sangat Islami.

Kesadaran masyarakat dalam menjalankan dan mengamalkan Pancasila perlu ditumbuhkan di tengah-tengah menurunnya rasa tanggung jawab, karena perasaan khawatir bahwa Pancasila bertentangan dengan nilai syariat Islam. Islam adalah agama rahmah bagi sekalian alam, mencintai kerukunan, toleransi, keadilan, gender, dan semua aspek kehidupan dunia.

Pancasila mempertemukan dan merekatkan semua aspirasi, terutama aspirasi dalam nilai kebangsaan dan Islam menjelang kemerdekaan. Karena itu lima sila dalam Pancasila dan pengamalan nilai-nilai Islam saling memperkuat satu sama lain.

Sila Ketuhanan Yang Maha-Esa itu tidak hanya mendasari rasa hormat menghormati antar agama masing-masing, melainkan menjadi dasar yang memimpin tiap individu ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, dan persaudaraan.

Dalam kumpulan pidato Bung Hatta jilid III menyatakan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa yaitu bangsa Indonesia telah mengakui adanya kekuasaan yang memberi petunjuk kepada manusia supaya memegang kebenaran, keadilan, dan kebaikan.

Dengan percaya kepada Tuhan Yang Maha-Esa seperti yang telah disebutkan dalam sila pertama Pancasila, rakyat Indonesia menempatkan politik nasional di atas dasar moral.

Generasi -muda Indonesia yang memahami cita-cita perjuangan bangsa dan konsisten dalam melaksanakan nilai-nilai Pancasila diharapkan mampu mengubah kondisi bangsa Indonesia menjadi lebih baik kedepannya.

Jika kita semua konsisten dengan Pancasila dan amanat Pembukaan UUD 1945 yang memuat tujuan bernegara, niscaya kecenderungan neo liberalisme dan sikap-sikap intoleran sesama anak bangsa tidak akan muncul.

Mari membumikan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Sehingga proses legislasi dan kebijakan eksekutif bisa dipertanggungjawabkan dari aspek kesesuaian yang ada dalam sila Pancasila.

Agar terciptanya pelayanan publik yang bersih, profesional, modern serta berwibawa, maka jadikanlah nilai-nilai Pancasila sebagai spirit dan penuntun dalam tata kelola negara dan pemerintahan atau birokrasi. Kita perlu mentransformasikan Pancasila dari idealitas menjadi realitas berbangsa dan bernegara.

Tapi satu hal yang perlu diingat bahwa Pancasila bukanlah sesuatu yang harus disakralkan, ia adalah buatan manusia yang tak lepas dari kekurangan. Pensakralan dan penyalah tafsiran yang terjadi selama ini akibat keegoan masing-masing penguasa dalam usaha untuk melanggengkan kekuasaannya di bumi pertiwi. Dalam hal ini, bukan berarti Pancasila tidak relevan dengan Indonesia sekarang, sehingga harus diganti demi menata kembali negara ini. Pancasila tetap sesuatu yang kontekstual selama ia diposisikan sebagai dasar negara tanpa penafsiran yang sarat kepentingan individu. Kembali untuk selalu diingat bahwa lahirnya Pancasila adalah untuk menyatukan seluruh warga negara Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu jua)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun