No.61. Ari Santosa
Alan duduk menyandar kursi rotan di beranda . Ia asik mengamati cincin kecil, pemberian Kakek pengemis . Cincin itu adalah tanda persahabatan keduanya. Alan menjadi sedih mengingatnya. Kira-kira sebulan yang lalu. Saat terakhir kali mereka berjumpa. Mereka bertemu di samping pertigaan sekolah. Seperti biasanya. Alan memberikan sisa uang jajan, pada Kakek itu. Mereka sempat saling becanda. Tapi akhirnya, si Kakek pengemis berpamitan yang mengejutkan.
"Alan, kamu anak yang baik. Selama mengenalmu sekian lama, kamu tidak memandang hina diriku. Tapi pertemuan kita cukup di sini. Kakek harus pergi jauh" ucapan Kakek pengemis terdengar sedih.
"Keeekk, Kakek mau kemana? Kenapa bilang begitu?" tanya Alan.
"Kakek harus menemui anak-anak baik sepertimu, ditempat lainya" Kakek tua menepuk-nepuk pundak Alan.
"Apakah kita tidak akan ketemu lagi, Kek?"
"Mungkin tidak. Mungkin juga, iya. Tidak ada yang tahu hari esok. Semua rahasia Tuhan" ujar Kakek. Bijak menasehati.
"Aku akan merindukan Kakek. Seperti dulu, sewaktu kehilangan Kakeku sendiri" sesal Alan. Kedua matanya berkaca-kaca.
Kakek pengemis mengambil sesuatu dari kantong kumalnya. Sebuah cincin, lalu diberikan pada Alan.
"Ini buatmu. Kalau ingat Kakek, pakailah dijarimu. Ini benda yang sangat berharga. Pergunakanlah seperlunya" ucap Kakek pengemis.
Alan menerima dengan senang hati. Ia menimang sebentar, lalu memakainya dijarimanis.