Mohon tunggu...
Kevin Yehezkiel Gurning
Kevin Yehezkiel Gurning Mohon Tunggu... Lainnya - Cyber Threat Hunter - Badan Siber dan Sandi Negara

Profesional Keamanan Siber - Ethical Hacker

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Daulat dan Makmur: Melihat One Belt One Road (OBOR) dan Konflik Laut Cina Selatan sebagai Peluang untuk Meningkatkan PESTEL antara Cina dan Indonesia

31 Mei 2024   14:29 Diperbarui: 31 Mei 2024   19:09 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

            Yurisdiksi merupakan isu yang sangat sensitif bagi setiap negara, walaupun pandangan ini mungkin dianggap konservatif dan tradisional dalam hubungan internasional, kenyataannya adalah bahwa negara-negara tetap teguh dalam mempertahankan kedaulatannya. Namun, dalam perkembangan saat ini, negara-negara tidak lagi melihat dunia secara hitam dan putih seperti pada Perang Dunia Pertama dan Kedua. Ketergantungan antara negara-negara yang terbentuk melalui bisnis dan perdagangan internasional telah mengaburkan garis antara musuh dan sekutu. Tidak ada permusuhan atau persahabatan yang seratus persen. Oleh karena itu, menjadi permainan kedaulatan dan kemakmuran bagi negara-negara dalam menangani ekonomi dan yurisdiksi.

Hubungan antarnegara dipengaruhi oleh berbagai faktor. Para pemimpin negara akan mempertimbangkan banyak hal sebelum mengambil keputusan untuk berhubungan dengan negara lain. Salah satu faktor penting adalah hubungan ekonomi dan perdagangan. Sebuah negara mungkin bersengketa dengan negara lain di satu sektor, tetapi jika hubungan ekonomi antara mereka menguntungkan kedua belah pihak, apapun keputusan yang diambil, pihak-pihak tersebut akan berusaha sebaik mungkin untuk memastikan bahwa hubungan ekonomi tidak terganggu.

Prolog di atas adalah dilema yang ditemukan penulis saat ini di antara negara-negara yang bersengketa dalam konflik Laut Cina Selatan. Konflik ini telah menjadi perbincangan dalam diskusi hubungan internasional sejak bertahun-tahun lalu, terutama setelah insiden yang terjadi di sekitar Mischief Reef. Bahkan setelah putusan arbitrase yang dikeluarkan pada tahun 2016, tidak ada negara pengklaim yang memiliki inisiatif yang tepat untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka, untuk mencapai “win-win solution” yang paling mungkin. Namun, arah utama esai ini bukan untuk mengevaluasi penyelesaian sengketa di antara negara-negara yang bersengketa, tetapi untuk menekankan kemungkinan melihat konflik dari perspektif yang berbeda. Melihat konflik sebagai peluang daripada sebagai ancaman besar terhadap hubungan antara Cina dan Indonesia dari perspektif Political, Economic, Social, Technological, Legal, dan Environment (PESTEL).

Sikap dan Peran Indonesia dalam Konflik Laut Cina Selatan

Indonesia adalah negara yang memiliki status sebagai negara non-pengklaim dalam konflik Laut Cina Selatan. Meskipun demikian, Indonesia secara tidak langsung dipengaruhi oleh ketidakstabilan kawasan yang disebabkan oleh konflik tersebut, karena letaknya yang langsung bersebelahan dengan kawasan tersebut. Indonesia juga bertindak sebagai negara anggota ASEAN, satu-satunya organisasi regional di kawasan Asia Tenggara yang empat anggotanya adalah negara pengklaim wilayah yang disengketakan di Laut Cina Selatan.

Indonesia memiliki suara penting di ASEAN karena secara tradisional dianggap sebagai pemimpin alami organisasi tersebut. Contoh jelas kepemimpinan Indonesia adalah pembentukan Kode Etik (Code of Conduct), di mana Menteri Luar Negeri Indonesia sebelumnya, Marty Natalegawa, mendorong negara anggota lainnya untuk merundingkan dan merumuskan COC. Contoh lainnya adalah Indonesia telah menginisiasi dan menyelenggarakan serangkaian lokakarya yang melibatkan akademisi dan pejabat pemerintah yang dilakukan untuk anggota ASEAN, dengan perwakilan dari Cina serta Taiwan. Ada 19 lokakarya yang diselenggarakan dari tahun 1990 hingga 2009, yang bertujuan untuk membahas langkah-langkah pengelolaan konflik yang mungkin dilakukan. Dari argumen di atas, penulis berasumsi bahwa Indonesia memiliki peran penting dalam konflik: berdiri di zona netral sebagai negara non-pengklaim tetapi juga memiliki daya tawar sebagai negara yang suaranya selalu dipertimbangkan oleh negara anggota ASEAN lainnya.

Kerjasama Ekonomi dan Perdagangan Bilateral ASEAN, Indonesia, dan Cina

Seperti yang telah dijelaskan penulis sebelumnya, meskipun dua atau lebih negara sedang bersengketa dan hubungan diplomatik antara dua negara menurun, sangat mungkin sektor lain dari hubungan bilateral tetap tidak tersentuh, terutama ketika datang ke hubungan antara ekonomi dan perdagangan. Tidak ada negara yang siap menanggung kerugian ekonomi besar hanya karena kebijakan untuk mencapai resolusi. Mereka membiarkan konflik mengganggu hubungan dengan mitra mereka di sektor ekonomi. Dilema ini terjadi di antara negara-negara yang bersengketa dalam konflik Laut Cina Selatan, ASEAN sebagai organisasi keseluruhan dan masing-masing negara anggotanya. Cina telah menjadi mitra dagang terbesar ASEAN dari tahun 2008 hingga 2015; volume perdagangan mencapai USD 472 miliar pada tahun 2015, dengan pertumbuhan tahunan sebesar 18,5 persen setiap tahun.

Ilustrasi Kerjasama Ekonomi dan Perdagangan Bilateral ASEAN, Indonesia, dan Cina - Sumber Dokumen Pribadi
Ilustrasi Kerjasama Ekonomi dan Perdagangan Bilateral ASEAN, Indonesia, dan Cina - Sumber Dokumen Pribadi

Sementara itu, Cina juga merupakan mitra dagang utama bagi Indonesia. Cina dan Indonesia saat ini membangun hubungan ekonomi yang lebih kuat di beberapa sektor, seperti; listrik, pariwisata, serta perdagangan digital (Presiden Joko Widodo telah meminta Jack Ma, ketua grup Alibaba untuk menjadi penasihat komite pengarah e-commerce Indonesia). Cina juga telah mengamankan investasi dalam proyek kereta api berkecepatan tinggi pertama di Indonesia yang bernilai USD 5,1 miliar. Baik ASEAN maupun Indonesia menikmati hubungan yang cukup kuat dengan Cina, terutama dalam kerjasama untuk meningkatkan ekonomi mereka.

Konektivitas Maritim: OBOR dan Poros Maritim Dunia dari Perspektif yang Berbeda

Ekonomi Cina masih terus berkembang hingga hari ini, dan ekspansinya untuk membangun kerjasama dengan wilayah lain semakin meningkat. Salah satu proyeksi maritim Cina yang paling menarik adalah One Belt One Road (OBOR), yang saat ini masih berjalan untuk merayu negara-negara di Asia Tenggara, Asia Tengah, dan Asia Timur untuk membangun koneksi baik jalur laut maupun darat di seluruh benua lain, seperti Eropa dan Afrika.

Ilustrasi Konektivitas Maritim - Sumber Dokumen Pribadi
Ilustrasi Konektivitas Maritim - Sumber Dokumen Pribadi

OBOR adalah proyek optimis untuk membangun konektivitas baik untuk kapal dan kereta api sepanjang pantai dua wilayah; di sekitar Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan. Proyek ini sering disebut sebagai jalur sutra abad ke-21 untuk mengembangkan pengiriman, distribusi minyak dan gas, serta transportasi antar negara. Konsep OBOR secara resmi diperkenalkan pada tahun 2015, yang berarti dilahirkan saat konflik Laut Cina Selatan sedang memanas. Dengan demikian, OBOR memainkan peran penting dalam perkembangan konflik. Jika Pemerintah Cina bertujuan agar negara mitra potensialnya menerima OBOR, maka aman untuk mengatakan bahwa OBOR diperkenalkan pada waktu yang salah. Ketegangan yang berasal dari konflik Laut Cina Selatan semakin meningkat terutama di antara negara anggota ASEAN, ketika ide OBOR disampaikan kepada dunia.

Sementara itu, Indonesia melalui Presiden Joko Widodo menetapkan visi yang disebut Poros Maritim Dunia. Poros Maritim Dunia terutama berfokus pada pembangunan konektivitas antar pulau di wilayah Indonesia, serta membangun kemampuan Indonesia untuk menjadi pusat kegiatan ekonomi dan manajemen maritim di seluruh wilayah dan benua. Setelah konektivitas Indonesia terbangun, elemen kekuatan maritim lainnya seperti pengiriman, manajemen pelabuhan, pariwisata, sumber daya maritim, dan transportasi dapat dengan mudah ditingkatkan.

Konektivitas maritim adalah salah satu kunci percepatan pertumbuhan ekonomi negara-negara. Sebagian besar perdagangan (baik ekspor maupun impor) dikirim melalui jalur laut; ini sama halnya dengan distribusi minyak dan gas. Sementara itu, salah satu elemen Kekuatan Laut oleh Profesor Till adalah kekuatan maritim, yang terdiri dari manajemen sektor ekonomi yang disebutkan sebelumnya. Kedua negara, Indonesia dan Cina, melihat "konektivitas maritim" dalam perspektif yang sama, yaitu sebagai katalis untuk percepatan pertumbuhan ekonomi.

Literatur internasional sering menggambarkan proyek OBOR sebagai ancaman bagi negara-negara yang bersengketa terutama di kawasan Asia Tenggara, meskipun proyek tersebut menawarkan konektivitas yang komprehensif demi akses yang lebih cepat antar wilayah. Sementara itu, melihatnya secara berbeda sebagai potensi peningkatan di kawasan dapat membawa keuntungan ekonomi lebih besar daripada risiko itu sendiri. Seorang direktur negara dari Bank Dunia menganalisis bahwa OBOR dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Asia serta dunia, terutama negara berkembang yang terletak di sekitar lokus proyek tersebut. Negara-negara di seluruh benua dapat mengalami stimulasi untuk perdagangan internasional, pengembangan infrastruktur, serta pasokan energi dan bahan mentah.

Pemerintah Indonesia, yang saat ini sedang bekerja pada Poros Maritim Dunia, harus dapat membuka kemungkinan-kemungkinan yang dapat mendukung visinya sendiri tanpa melanggar kepentingan nasional. Menurut pendapat penulis, Indonesia harus menganalisis biaya dan manfaat dari OBOR, dan mulai mengamatinya secara objektif. Indonesia dapat diuntungkan dari proyek tersebut, karena Poros Maritim Dunia dan OBOR memiliki satu tujuan utama yaitu konektivitas maritim global, dan kedua proyek tersebut memiliki kemungkinan untuk disinkronkan. Pada catatan penting, kedua negara perlu saling menghormati kepentingan masing-masing dan tidak boleh melampaui batas-batas kedaulatan.

Keamanan Siber sebagai Bagian dari Kedaulatan dan Kemakmuran

Kedaulatan siber bagian integral dari kedaulatan nasional. Di era digital, ancaman siber dapat datang dari berbagai arah, termasuk negara-negara lain, kelompok kriminal, hingga aktor non-negara. Indonesia, sebagai negara dengan jumlah pengguna internet yang besar dan infrastruktur digital yang terus berkembang, menghadapi berbagai tantangan dalam menjaga kedaulatan sibernya.

Tantangan Keamanan Siber Indonesia:

  • Serangan Siber Terhadap Infrastruktur Kritis
    • Infrastruktur kritis seperti jaringan listrik, sistem perbankan, dan layanan kesehatan menjadi target utama serangan siber. Serangan ini dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang besar dan mengganggu stabilitas nasional. Contoh nyata adalah serangan ransomware yang meningkat secara global, termasuk di Indonesia.
  • Pencurian Data dan Spionase Siber
    • Pencurian data pribadi dan spionase siber merupakan ancaman signifikan bagi keamanan nasional. Kelompok-kelompok seperti APT41, yang diketahui berafiliasi dengan pemerintah China, menggunakan teknik-teknik canggih untuk mencuri data sensitif dari berbagai sektor, termasuk pemerintahan dan militer.
  • Pengaruh Asing dan Disinformasi
    • Pengaruh asing melalui disinformasi dan propaganda siber dapat merusak integritas politik dan sosial dalam negeri. Operasi ini sering kali dirancang untuk mengganggu proses demokrasi dan menciptakan ketidakstabilan sosial.

Pandangan para ahli seperti Letnan Jenderal TNI (Purn.) Agus Widjojo menekankan pentingnya kolaborasi antara sektor publik dan swasta untuk memperkuat pertahanan nasional. Brigadir Jenderal TNI Dwi Sasongko, S.E., M.H., menyoroti pentingnya kerjasama internasional dan penegakan hukum maritim untuk melindungi kedaulatan Indonesia. Selain itu, Laksamana Madya TNI (Purn.), Prof. Dr. Ir. Amarulla Octavian, ST., M.Sc., DESD., IPU., ASEAN.Eng. menyarankan adopsi teknologi terbaru dan kerjasama internasional untuk menghadapi ancaman global. Kerjasama ini dapat menjadi elemen penting dalam memperkuat kedaulatan siber Indonesia.

Peluang untuk Memperkuat Keamanan Siber Indonesia:

  • Pengembangan Infrastruktur Siber Nasional
    • Pembangunan infrastruktur siber yang aman dan andal adalah langkah awal untuk memperkuat kedaulatan siber. Ini termasuk peningkatan jaringan komunikasi, pusat data, dan sistem pertahanan siber nasional.
  • Kolaborasi Nasional dan Internasional
    • Kerjasama dengan negara-negara lain, baik di tingkat regional maupun global, sangat penting untuk menangani ancaman siber yang bersifat lintas batas. Kolaborasi Quadhelix yang bergerak di bidang keamanan siber, Indonesia memiliki Badan Siber dan Sandi Negara melalui Deputi Bidang Operasi Keamanan Siber dan Sandi, Tentara Nasional Indonesia melalui Satuan Siber Tentara Nasional Indonesia, dan Badan Intelijen Negara. Inisiatif seperti latihan siber bersama dan pertukaran informasi intelijen dapat membantu memperkuat pertahanan siber Indonesia.
  • Investasi dalam Pendidikan dan Pelatihan
    • Meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di bidang keamanan siber melalui pendidikan dan pelatihan adalah kunci untuk menghadapi ancaman yang terus berkembang. Program sertifikasi dan pelatihan teknis dapat membantu menciptakan tenaga ahli yang kompeten.
  • Inovasi dan Teknologi
    • Mengadopsi teknologi baru dan inovasi dalam keamanan siber dapat memberikan keunggulan dalam melindungi infrastruktur dan data penting. Teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan pembelajaran mesin (machine learning) dapat digunakan untuk mendeteksi dan merespon ancaman siber secara lebih efektif.

Kesimpulan

Dalam menghadapi dinamika global dan tantangan siber yang semakin kompleks, Indonesia memiliki kesempatan untuk memanfaatkan inisiatif One Belt One Road (OBOR) dan mengelola konflik Laut Cina Selatan sebagai katalis untuk meningkatkan kerjasama keamanan siber dengan Cina. Dengan mempertahankan kedaulatan dan mempromosikan kemakmuran melalui pendekatan PESTEL, Indonesia dapat memperkuat infrastruktur siber nasional, meningkatkan kerjasama internasional, dan mengadopsi inovasi teknologi terkini. Melalui upaya kolaboratif yang inklusif, Indonesia tidak hanya dapat mengamankan kepentingan nasionalnya tetapi juga berkontribusi pada stabilitas regional dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. #KedaulatanIndonesia, #JagaNatuna

Referensi

Bitdefender (2024). Deep Dive Into Unfading Sea Haze: A New Threat Actor in the South China Sea. Retrieved from https://www.bitdefender.com/blog/businessinsights/deep-dive-into-unfading-sea-haze-a-new-threat-actor-in-the-south-china-sea/ diakses pada 25 Mei 2024

Kedutaan Besar Republik Rakyat Tiongkok untuk Republik Indonesia (2023). "Full text: Joint Statement on Deepening Comprehensive Strategic Cooperation between the People's Republic of China and the Republic of Indonesia". Retrieved from http://id.china-embassy.gov.cn/indo/zgyyn/202310/t20231020_11164591.htm diakses pada 25 Mei 2024

Komite.id (2023). Rektor Unhan RI : Saatnya Integrasikan Sistem Keamanan Siber dengan Sistem Pertahanan Siber. Retrieved from https://www.komite.id/2023/01/03/rektor-unhan-ri-saatnya-integrasikan-sistem-keamanan-siber-dengan-sistem-pertahanan-siber/ diakses pada 25 Mei 2024

Kompas.com (2021). "Tentara Kok Mikir", Sosok Agus Widjojo sebagai Intelektual Militer dan Pendidik. Retrieved from https://nasional.kompas.com/read/2021/08/26/06060071/-tentara-kok-mikir-sosok-agus-widjojo-sebagai-intelektual-militer-dan diakses pada 25 Mei 2024

Maliszewska, Maryla; van der Mensbrugghe, Dominique (2019). The Belt and Road Initiative: Economic, Poverty and Environmental Impacts. Policy Research Working Paper;No. 8814. © World Bank, Washington, DC. http://hdl.handle.net/10986/31543 License: CC BY 3.0 IGO

Pop, Irina Ionela (2016). Strengths and Challenges of China’s “One belt, One road” Initiative. London: Center for Geopolitics & Security in Realism Studies. Retrieved from http://www.cgsrs.org/files/files/publications_46.pdf diakses pada 25 Mei 2024

The Jakarta Post (2023). "Jokowi, Xi Upgrade Economic, Strategic Relations". Retrieved from https://www.thejakartapost.com/paper/2023/07/28/jokowi-xi-upgrade-economic-strategic-relations.html diakses pada 25 Mei 2024

The State Council of The People’s Republic of China (2016). "China-ASEAN Trade and Economic Cooperation Strong". Retrieved from http://english.gov.cn/news/video/2016/07/26/content_281475401895761.htm diakses pada 25 Mei 2024

Till, Geoffrey (2018). Seapower: A Guide for the Twenty-First Century. Routledge.

Till, Geoffrey (2023). Recovering Naval Power Henry Maydman and the Revival of the Royal Navy. Routledge.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun