Mohon tunggu...
Kevin Julianto
Kevin Julianto Mohon Tunggu... Administrasi - Writer. Banker. Announcer.

A Passion Worker.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Psikolovea "The Statement"

17 Agustus 2018   05:35 Diperbarui: 17 Agustus 2018   06:23 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Made Up Your Mind

Sebagai konselor yang sudah berhasil membawa sebagian besar kliennya melenggang ke jenjang pernikahan, terkadang menjadi 'beban' tersendiri saat ditanya 'Lah kamu sendiri kapan nikah?'

Pengalaman kegagalan pertunangan sebelumnya membuat Saya tidak mudah percaya begitu saja dengan namanya memulai hubungan baru. Kalau pun dimulai, bawaannya secara tidak langsung membanding-bandingkan dengan my-ex, which is not good. Masa pemulihan 'luka batin' cukup memakan waktu, meanwhile mantan tunangan sepertinya sudah melenggang lebih cepat move on-nya. Terdengar sedikit ironis yah. Mengingat Saya adalah sosok yang suka memberi nasihat. Kalau ibarat pepatah antah berantah, 'tukang cukur juga butuh dicukur sama orang lain'.

Selepas talkshow di radio, peserta pelatihan yang Saya adakan memenuhi kuota. Salah satu admin saya kemudian menghubungi via Whatsapp "Pak ada satu peserta lagi yang baru daftar, bagaimana?"

Pelatihan yang saya adakan sifatnya ekslusif terbatas hanya 10 peserta karena pelatihan ini memperbanyak praktik baru teori. Perbandingannya 70% berbanding 30%. Maka kalau pesertanya terlalu banyak, khawatirnya praktik tidak akan efektif. Tapi feeling berkata lain, sepertinya boleh saya memberikan exception untuk peserta yang satu ini. Dengan catatan, saya belum melihat sosoknya atau wajahnya sebelumnya.

"Yaudah kamu registrasiin dia juga, sekalian buat pengumuman kelas sudah penuh ya"

Salah satu peserta saya ternyata adalah teman SMA saya, yang dulu kita pernah ada kisah cerita kedekatan tapi nggak pacaran. Posisinya dia sekarang masih sendiri alias single, belum punya pacar maupun menikah.

"Jomblo loh ini peserta" ujar Endro, yang juga nanti mengisi materi di salah satu sesi pelatihan tersebut.

"Terus? Mentang-mentang jomblo semua lu rekomendasiin, kalo ngga salah bi icut juga jomblo ngga sekalian rekomendasiin?" jawab saya sedikit ketus.

"Beda dong Dri, ah elu sensi amat kayak pantat bayi" timpal Endro

"Lagi nggak mood. Lagian kan ini gue lagi bersih bersih kontak dari cewek-cewek toxic, as you know"

Saya memang sedang 'mengeliminasi' perempuan-perempuan tertentu yang sedang dekat atau mendekati saya. Dari mulai yang deketin dan ujung-ujungnya mereka minjem uang, minta dinafkahi padahal boro-boro jadi istri, pacaran juga belum, sampai yang ngajak nakal macem-macem seperti modus ngajak main ke luar kota dan nginep bareng, perempuan-perempuan toxic seperti itu harus saya eliminasi dari kehidupan sehari-hari. Simpel, saya pakai DP (Display Picture) Whatsapp sedang bergandengan dengan perempuan. Memang cantik luar biasa perempuannya. Tapi itu sepupu saya. Pencitraan itu pacar supaya mereka berhenti hubungi saya. Dan ternyata it works.

***

Hari pertama pelatihan, 80% pesertanya adalah perempuan. Sedikit surprised tapi profesionalisme tetap dikedepankan. Sosok teman SMA saya yang bernama Risa adalah salah satu peserta yang cukup partisipatif dalam kelas tersebut.

Teringat jaman-jaman SMA, beberapa teman membisiki Saya saat itu kalau ada perempuan yang naksir saya, namanya Risa. Dan setelah hampir 12 tahun berlalu, sepertinya saya tidak merasakan apapun pada sosok Risa tersebut. Ya dia adalah teman SMA, sudah. Gaya dan bahasa komunikasi saya padanyapun tidak ada yang beda. Saya berkomunikasi sangat sewajarnya. Meski dari gerak geriknya, kelihatannya sosok Risa masih sedikit menaruh rasa padaku. Dan aku tidak ada rasa untuknya. Semoga dia benar-benar paham, kalau saya memang totally tidak ada rasa lebih untuknya. Saya pun menghubungi Rahmat, teman SMA yang satu kelas dengan Saya dan Risa. "Mat, gue mohon jangan bahas Risa lagi ya. Simpen nama Risa dari pembahasan obrolan kita. Semoga dia cepet dapet jodohnya, dan itu bukan gue, karena gue nggak bisa memaksakan perasaan gue, kalau gue emang nggak ada rasa sama dia."

Sehari sebelumnya, saya menghubungi Natasha Abigail. Salah satu penyiar pemandu talkshow saya, yang sepertinya pernah saya beri nasihat yang keliru dan harus saya koreksi. Saya tegaskan dan meralat nasihat saya padanya. Saya meralat nasihat padanya menjadi, menikahlah dengan diawali rasa cinta. Kemudian diikuti dengan mengenali kepribadian pasangan, jika tingkat kecocokan cukup tinggi, mampu menerima kelebihan dan kekurangan, selama tidak ada cacat moral, maka lanjutkan. Kalau diawalnya saja sudah tidak ada rasa cinta, jangan. Jangan berspekulasi dalam kehidupan yang akan kamu habiskan rest of your life, jangan jalani dengan sebuah tindakan yang bersifat 'gambling' seperti, mungkin nanti cinta akan ngikutin. Jangan. Harus diawali dengan rasa cinta. Harus.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun