Latar Belakang
Dalam konteks perpajakan, audit pajak merupakan instrumen yang penting untuk memastikan bahwa wajib pajak mematuhi kewajiban perpajakannya.Â
Namun, seiring dengan semakin kompleksnya sistem perpajakan dan jumlah wajib pajak yang terus bertambah, pendekatan audit tradisional semakin sulit diterapkan secara efektif dan efisien.Â
Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan otoritas pajak di banyak negara mulai mengadopsi "Risk Based Tax Audit" (RBTA), yaitu teknik audit yang didasarkan pada pengelolaan risiko kepatuhan wajib pajak. Dengan pendekatan ini, otoritas pajak dapat memfokuskan sumber daya yang terbatas pada wajib pajak yang memiliki risiko ketidakpatuhan tinggi, sehingga hasil audit pajak lebih tepat sasaran.
Teknik RBTA mengubah paradigma audit pajak yang sebelumnya bersifat general menjadi lebih spesifik dan terfokus. Di banyak negara, RBTA telah menjadi praktik standar karena memungkinkan otoritas pajak untuk memaksimalkan efisiensi dalam memeriksa kepatuhan pajak wajib pajak.
 RBTA membantu mengidentifikasi dan memprioritaskan wajib pajak berdasarkan risiko mereka, yang pada gilirannya membantu otoritas pajak dalam membuat keputusan yang lebih tepat mengenai alokasi sumber daya dan strategi audit.
Di Indonesia, DJP menerapkan RBTA sebagai bagian dari Compliance Risk Management (CRM) yang tertuang dalam Surat Edaran SE-24/PJ/2019. SE ini memberikan panduan tentang bagaimana DJP mengidentifikasi, memetakan, dan mengelola risiko kepatuhan pajak. Tujuannya adalah untuk meningkatkan efisiensi audit pajak serta mengoptimalkan penerimaan pajak melalui pemetaan wajib pajak berisiko tinggi.
Aturan dan Kebijakan
1. Compliance Risk Management (CRM)
CRM adalah pendekatan yang digunakan untuk mengelola risiko kepatuhan wajib pajak melalui pemetaan risiko berdasarkan beberapa variabel, seperti kepatuhan pelaporan, pembayaran, dan kebenaran laporan pajak.Â