Konsep Realitas Dehumanisasi
Pertama - tama yaitu konsep realitas dehumanisasi yang telah dikemukakan oleh Paulo Friere. Dalam metode pengajarannya, ia menggunakan pengajaran dengan realitas kontekstual para terdidik atau komunikasi generatif. Ia percaya bahwa pendidikan dialogis atau audiensi antar tenaga pendidik dan terdidik dapat menuntun pada dunia yang manusiawi. Metode yang seperti ini dapat menghasilkan proses sejarah pendidikan yang dialektis.
Saat manusia mempelajari realitas yang dihadapkan padanya atau yang diamatinya, secara langsung ia mempelajari realitas dan membuat proses eleksi. Dengan adanya hasil dari eleksi, manusia mampu menimbang - nimbang serta membandingkan dengan menaruh perhatian atau lebih peka pada peristiwa - peristiwa serta berbagai kontradiksi dalam realitasnya. Hakekatnya juga semua ini sama sekali tak membatasi manusia karena kemampuan untuk timbul dan ikut andil dalam proses sejarah juga karena imajinasi yang dimilikinya. Tak ada satu pun manusia yang bisa dibatasi imajinasinya.
Imajinasi sebagai pusat tak keterbatasan manusia. Manusia hidup dan berelasi melalui bahasa konvensional mereka yaitu bahasa manusia / human word. Dengan konvensionalitas antar manusia dan dirinya sendiri, mereka menamai realitas. Hal ini didasari pada kombinasi pikiran dan tindakan yang terjadi dan tak terpisahkan hubungannya dengan pikiran dan bahasa hingga membuat mereka mampu berefleksi.
Manusia adalah makhluk historis. Kesadaran manusia yang unik dan berbeda menjadikannya makhluk yang historis. Kesadaran yang mampu untuk menyempurnakan hubungan dengan dunia karena kapasitas refleksi dan imajinasi. Melalui itu manusia bertindak sesuai dengan kehendak mereka dan barulah mereka dikatakan bereksistensi yang tidak hanya sekedar hidup.
Sayangnya, sistem pendidikan pada realitas aktual sangat kontras dengan status manusia. Sistem yang membatasi eksistensi bahkan menghilangkan eksistensi kemanusiaan para terdidik dan pendidik. Para pendidik yang menjadi titik mulai / awal sebagai para penderita culture lag "melampiaskan" pada para terdidik. Mengakibatkan para terdidik jatuh dalam tekanan, tuntutan, dan rasionalisasi.
Penyimpangan Peran
Dalam pandangan Paulo Friere, ia menyebutnya dengan ibarat bank. Peran - perannya pun kompleks sesuai dengan realitanya. Para terdidik menjadi bahan atau objek investasi dan jaminan potensial yang tak ada bedanya dengan kumpulan hasil depositor ekonomis yaitu para tenaga pendidik. Para terdidik diperlakukan layaknya "bejana kosong" yang adalah tabungan untuk "modal pengetahuan."
Peran yang diambil dalam sebuah kasus benar menjadi konkrit dan kontekstual. Para tenaga pendidik yang adalah subjek aktif, sedangkan para terdidik adalah objek pasif penurut tanpa eksistensi. Sistem pendidikan pun berakhir dengan sifat negatif. Cenderung pada pandangan bahwa informasi yang guru berikan harus diingat dan dihafalkan. Sehingga timbul pula hasil eksperimen dari objek penurut yaitu objek spekulasi pengetahuan tanpa kesadaran akan realitas.
Hasil sistem pendidikan yang seperti ini lah semakin memberi dampak pada dehumanisasi pendidikan. Friere mengartikannya sebagai pelanggeng hegemoni kaum tertentu dan yang ditindasnya. Menindas dalam konteks ini artinya menanggalkan ide - ide tentang kemanusiaan. Maka, Friere menegaskan gagasan tentang membangun sistem pendidikan progresif dan generatif terhadap permasalahan kehidupan sesuai dengan kemampuan manusia yang sesungguhnya yaitu berefleksi.
Pada kasus aktual, data yang terkumpul dari para terdidik yang sadar akan statusnya kebanyakan telah mengalami depresi berat. Oleh karena stress dan depresi berat, mulailah diambil jalan - jalan pintas seperti penyalahgunaan obat - obatan, perundungan, kekerasan, bahkan bunuh diri. Kasus ini menjadi topik utama keprihatinan hasil dari dunia pendidikan yang belum terolah sepenuhnya. Penindasan ini juga seharusnya menjadi titik pandang pemerintah sebab karena sistem - sistem atau problem baru tanpa solusi.