Pantas kah negara kita baru-baru ini disebut sebagai penganut Demokrasi Liberal? Karena marak nya perebutan lahan Investasi.
Atas nama pembangunan dan kepemilikan bersama di dendangkan dalam dalih pembangunan nasional. Â Dalam kasus ini Pasar Pandugo yang berada pada jalan Pandugo Gang 2 RT 003 Kelurahan Penjaringan Sari yang bertempat di Surabaya ini tiba-tiba direlokasi dan dipindahkan di pasar yang akan disewakan oleh Pemerintah Kota.
Pembeli diwajibkan membayar harga sewa pasar, belum lagi letak yang kurang strategis dan lahan parkir yang minim membuat warga enggan berpindah.
Pasar Pandugo merupakan pasar kaget yang biasanya buka pada pukul 6 sampai jam9 pagi. Â Sehingga tudingan-tudingan demi kepentingan-kepentingan lain pun disematkan, dari warga yang melawan dan menolak untuk dipindah.
Bagaimana tidak, hampir perekonomian warga tidak dapat berputar kembali. Dan warga mengalami kerugian finansial yang sangat parah.Â
Tidak hanya itu, Waduk Sepat yang berada dikawasan Ciputra sedang diperjuangkan oleh warga sekitar dengan dalih pembangunan Surabaya Sport Centery ang di dendangkan pemerintah.
Kasus sengketa di daerah Dukuh Sepat, kelurahan Lidah Kulon, kecamatan lakarsantri, kota Surabaya ini mengalami polemic yang cukup signifikan antara Pemerintah Kota dengan warga sekitar. "Waduk terbesar di Surabaya kalau hilang kami tenggelam," begitu lah kata yang tertulis dalam poster yang di bawa seolah warga dalam aksi penolakan Waduk Sepat agar tidak jatuh dalam ahli fungsi lahan.
Dalam kasus ini penulis menganalisis sebuah Hegemoni yang populer oleh kalangan Marjin Kiri yaitu Hegemoni Antonio Gramsci yang "Sebuah doktrin dan pandangan hidup serta cara  berpikir yang dominan, yang konsepnya disebarluaskan sehingga menentukan kebudayaan baru dan merubah tatanan sosial dalam masyarakat".
Pemerintah kota berhasil menanamkan The Social Kapital yang artinya mengalami sedikit pergeseran kepada kaum dan warga sehingga semakin terpinggirkan dari tatanan kota.
The social capital sendiri adalah mengontrol warga untuk menerima pembangunan yang pesat sehingga menjadi suatu kebanggan di tengah era moderenisasi.
Imbasnya adalah tidak ada gejolak dari masyarakat atau sikap kritis terhadap penghisapan yang dilakukan oleh Negara. Jadi nya, hampir dari kalangan masyarakat menerima dengan lapang dada mengenai apa yang dilakukan pemerintah tanpa tau air mata siapa yag terus mengucur dari tanah nya yang di rebut, tanpa tau alam sedang mengalami distorsi besar-besaran.
Menurut Fred Madgoff dan Jhon Bellamy Foster solusi akan permasalahan lahan untuk sumber kehidupan sosial dalam masyarakat adalah organisasi lingkungan, dan bagaimana organisasi tersebut dapat menciptakan masyarakat yang baru. Label aktivisme terkadang dicap sebagai masyarakat yang bisa nya mengkritik pemerntah. Â Padahal jika dinilai secara metode, gerakan sosial masyarakat apalagi atas kepentingan rakyat sangat membantu oposisi dari pemrintah. Dimana kedua kepentingan yang berbeda itu dapat menciptakan keharmonisasian. Namun, Indonesia sangat menutup peran kritik dan tidak mewadahi aspirasi masyarakat.Â
Internet, pers, dan media online sangat membantu Pemerintah atau penguasa menumbuhkan citra dalam masyarakat. Kita pun dengan gampang nya terpukau oleh pemimpin yang dapat membersihkan sungai namun mengobral kekayaan alam besar-besaran.
Saya teringat diskusi terbuka di Kedai Kalimetro Malang pada Selasa 15 Mei yang lalu mengenai "Pergulatan Model Gerakan Konservasi Lingkungan Berkelanjutan," penulis teringat apa yang dikataka oleh Rachmad K Dwi Susillo, Ph. D bahwa Akademisi atau Mahasiswa memang harus berperan aktif dalam gerakan konservasi lingkungan.
"Akademisi melakukan Penelitian yang tajam mengenai Lumpur Lapindo di kota Sidoarjo yang kala itu adalah peristiwa yang menggetakan Indonesia dan masyarakat asli sana. Penelitian berhasil. Akademisi itu jadi Profesor, Lumpur Lapindo tetap seperti itu. Tidak membawa dampak apa-apa," begitulah sekira nya Rachmad mengucap dengan dibumbui lelucon ala Akademisi.
Ia pun memberikan penilaian mengenai mentalitas suku jawa dan mengapa kita tidak mampu bersikap kritis ditengah situasi yang sudah berangkat jauh dari yang kita inginkan. dengan mengutip dari kata-kata Franz Magnis Suseno bahwasanya "Masyarakat Jawa itu menjaga keharmonisan.
Oleh karena itu Oligarki menyusp ruang untuk menciptakan hegemoni capital. Dimana mereka diam saja melihat penggusuran dan pembangunan," penulis menilai, bahwa Oligarki telah berangkat sangat jauh dalam menumbuhkan tatanan sosial dalam masyarakat. Dimana Jawa adalah sasaran utama yang harus dibuat tidur terlebih dahulu, kemudian tumbuh daerah-daerah di luar Jawa dibumbu-bumbui oleh dalih kontribusi yang katanya sikap Nasionalisme harus mendukung apa yang di progam kan oleh Pemerintah.
Perjuangan rakyat saat ini di anggap kuno, sudah sepatutnya kita memberikan prestasi terhadap Negara agar di cap warga Negara yang baik. Begitulah hegemonidicampur adukan dengan kepentingan-kepentingan.
Saya jadi berpikir, apakah demokrasi akan ada saat nya menuju ke arah fasisme? Dimana rakyat dibungkam terlebih dahulu agar sejahtera di kemudian hari. Konteks politik dan kekuasaan, bukan tidak mungkin. Â Atau kebebasan yang dianut adalah kebebasan Investasi para pemangku kebijakan? Prinsip tersebut bukan lah prinspip kesetaraan, tapi liberalisme sama hal nya Liberalisme Keynesian.
Jika berbicara teori Kapital nya Adam Smith, seharusnya membela habis kebebasan pasar dan melindungi segenap masyarakat dalam menjalani kehiudpannya sehingga menciptakan new social dalam bidang perdagangan.
Namun mengapa usaha-usaha mandiri dari pribumi tidak didukung sama sekali, sama hal nya dengan kasus Pasar Pandugo warga nya di diskriminasi dengan mewajibkan semua warga nya menyerahkan KTP kemudian dicap usaha legal dan tidak legal oleh Kartu Tanda Penduduk.
Padahal itu merupakan usaha yang tidak meresahkan dan membuat kemacetan lalu lintas karena jalanan pasar tersebut bukanlah jalanan utama masyarakat dan sudah terpetakan sebagai letak geografis pasar.
Keynesian berangkat dari Intervensi Negara yang menganggap masyarakat tidak cukup atau tidak mampu mengolah apa yang mereka inginkan sehingga usaha mandiri tidak bertahan pesat, terutama dalam bidang perekonomian.
Intervensi tersebut tidak akan menjamin kebebasan atau hak individu, menciptakan keselarassan sebagaimana masyrakat membutuhkan Negara nya untuk meningkatkan aggregate demand.Â
Sistem yang sering di indikasi sebagai sistem sosialis atau sistem berdasaarkan kepemilikan bersama ini malah hanya akan memunculkan Kapitalisme barudan menumbangkan usaha-usaha rakyat.
Sama hal nya dengan BUMN yang usaha nya sedikit demi sedikt merosot dan diinvestasikan oleh swasta, membuat Negara ambil alih tanah dengan berbagai oposisi yang meminggirkan rakyat. Terkadang ambisi pemerintah soal infrasruktur yang begitu besar itu tidak diimbangi dengan APBN.
Pasar pandugo dan Waduk Sepat adalah bagian kecil dari perjalanan yang sudah berangkat sangat jauh yang dilakukan pemerintah. Masih banyak kasus-kasus lainya yang lebih naas dengan proses yang sama dan dalih yang sama. Butuh gerakan elektorat dan orang-orang yang berperan dalam advokasi gerakan tersebut, humanism dan sikap kritis dibutuhkan untuk melawan hegemoni tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H