Diskriminasi Tarif
Tapi dengan membedakan tarif berdasarkan NIK, akan menjadi diskriminasi untuk pelayanan yang sama. Alih-alih mendorong insetif pengguna untuk berpindah menggunakan transportasi umum, justru Indonesia malah ingin melakukan sebaliknya. Dan, apakah penentu kebijakan ini sadar jika waktu transportasi umum ini tidak lebih efisien jika kita menggunakan motor.
Jika harga tarif transportasi umum tidak lebih murah dari kendaraan pribadi, bukan tidak mungkin orang akan kembali beralih menggunakan sepeda motor. Subsidi BBM yang juga akan kembali naik, subsidi pembelian kendaraan listrik akan menjadi naik.
Apa ini memang maksud tujuannya ya?
Jika memang pemerintah benar-benar ingin mengurangi dampak kemacetan dan perlambatan ekonomi akibat banyak orang yang justru menghabiskan waktu hidupnya di tengah jalan. Kan prinsip pemerataan ekonomi adalah mengambil dari yang kaya untuk disalurkan ke yang miskin. Damnn, Robin Hood was right...
Satu-satunya cara yang mendorong semaksimal mungkin pengguna kendaaran pribadi buat pindah ke umum. Bisa berupa:
- Kurangi subsidi energi BBM untuk orang mampu, mobil-mobil udah ga boleh pakai subsidi
- Tarif parkir yang tinggi
- Insentif untuk pengguna sepeda, jangan lajur sepeda malah dihilangkan, katanya mau lebih green
- Subsidi untuk seluruh transportasi umum, kalau bisa gratis
Iyah, gratis. Transportasi umum yang gratis itu harusnya bisa jadi bentuk hadirnya pemerintah terhadap rakyatnya. Persis apa yang dilakukan pemerintah terkait BPJS, dan kita sangat apresiasi itu. Masa kalah sama bapaknya Bruce Wayne yang bisa memberikan transportasi umum yang gratis di tengah carut marutnya Gotham City.
Buat penentu kebijakan sebelum kalian bertemu dengan pewarta, apakah kalian tahu betapa absurdnya para pejabat yang selalu memberikan statement kerugian perusahaan, atau beban subsidi yang tinggi, sementara kekayaan pejabat kalian justru malah bertambah. Beneran bingung tuh kita.
Akurasi Data NIK
Kita pun tahu dan setuju penyeragaman NIK ini yang akan memudahkan database lebih tepat sasaran jika ingin melaksanakan kebijakan. Tapi di tengah santainya pemerintah saat Pusat Data Nasional bocor, masa rakyat harus langsung percaya terkait penggunaan NIK untuk melakukan diskriminasi tarif.
Kebijakan subsidi BBM Pertalite untuk mobil mewah aja masih tidak jelas, dan masih banyak akurasi data yang masih diragukan apakah semakin membuat ruwet tarif KRL jika diberlakukan.
Dan, bagaimana nasib para pencari rezeki pengguna KRL yang berada di miles terjauh, para pekerja dari Rangkasbitung, Cikarang, Bogor yang harus membayar tarif lebih tinggi karena extra miles? Jika tarif semakin tinggi apakah tidak membuat para pekerja ini semakin memupus harapan pemerataan ekonomi ke daerahnya?