Saya akan mengawali dengan bercerita sebuah foto yang menjadi ilustrasi artikel ini, sejujurnya karena memang tidak suka swafoto hanya sekadar dokumentasi, sekalipun diajak foto pun filenya tidak pernah sampai ke saya. Ya jadilah satu-satunya foto yang bisa saya terima sampai saat ini, itu pun lewat jalur Whatsapp official Kompasiana yang tergabung di KPB.
Yak, saya ceritakan di sebelah kanan berkacamata adalah mas Sigit Eka, Kompasianer yang bertemu pertama kali dengan saya, tapi dia bingung sendiri kenapa saya bisa tahu namanya. Ya, karena seluruh pengelola Kompasiana memang bisa merinci satu persatu dengan segala macam sifat dan karakternya, yang sebelah kiri saya mas Fery W, yang tak kalah sering menyusahkan tim Kompasiana. Betapa tidak menyusahkan, ini saya diajak foto bersama tapi kok bisa saya yang disuruh pegang hpnya. Enggak umum rasanya.
Beruntung saya punya hati seperti Nicholas Saputra, yang memang tidak masalah dengan para fans-nya ketika berswafoto. Ya ga ya?
Oke, sudah cukup cerita mereka berdua. Karena sebenarnya kalian bisa lebih sering bertegur sapa dengan keduanya lewat artikel yang lebih sering menulis dibandingkan saya.
--
Ada banyak sebenarnya lika-liku yang terjadi selama proses Kompasiana Awards bahkan sejak pagelaran penghargaan tertinggi Kompasianer itu digelar, mulai tuduhan ini itulah, kesayangan admin lah, atau masalah hadiah lah yang kadang bikin saya rasanya mau bubarkan aja itu penghargaan Kompasiana Awards.
Bahkan kemarin ada titipan pertanyaan yang masuk, "Kalo misalnya nomine ga bisa hadir, trus dianulir juaranya gitu ya?"Â Weleh-weeleh, awardingnya dianggap seperti hadiah doorprize. Yo ndak lah.
Maunya kita pun semua Kompasianer bisa merasakan kesenangannya, maunya semuanya bisa memenangkan. Tapi ya kan namanya kehidupan, seperti sebuah pertandingan sepakbola yang ada hanya juara 1. Enggak ada juara bersama kaya di Kapten Tsubaaasaaaa.
Polemik itu kita lewatkan deh ya, biar jadi bahan perbincangan Kompasianer yang abadi selamanya. Saya mau cerita satu hal cerita di balik persiapan Kompasiana Awards. Khususnya soal menghubungi para nomine hingga Kompasianer of The Year.
Tim yang mempersiapkan Kompasiana Awards sejak awal memang sudah diwanti-wanti tidak dapat memberikan informasi siapa pemenang di setiap Awarding, karena kita mau tetap menjaga "element of surprise" di setiap momennya, biar Kompasianer tetap menebak siapa juara sebenarnya hingga titik akhir.Â
Tetapi kita tetap terpacu untuk sebisa mungkin pemenangnya bisa hadir, kekecewaan besar ketika kita tahu pemenangnya tidak bisa akhir adalah rasa antiklimaks dari sebuah perayaan penghargaan.Â
Kalian bisa rasakan sendiri, bagaimana seorang pemenang harus diwakilkan. Rasanya aneh.
Hal inilah yang membuat saya tidak mungkin melewatkan kesempatan, sebisa mungkin saya harus bisa menghadirkan seorang peraih Kompasianer of The Year setiap tahunnya, tapi dengan catatan saya tidak dapat memberi tahu jika dia akan meraih penghargaan tertinggi tersebut. Tricky ya.
Beberapa sih mungkin paham dengan taktik saya, tapi seingat-ingat selama prosesnya, saya harus membohongi semua pemenangnya agar mereka tetap hadir.
Saya ingat betul harus membohongi mbak Yayat dengan alasan akan mengajak dia untuk memberikan penghargaan sebagai perwakilan dari Kompasianer, cara yang sama saya gunakan untuk mengundang mas Zulfikar Akbar.
2018 ini yang paling tricky, tapi semesta yang membantu prosesnya. Mas Giri Lumakto berdomisili bukan di area Jakarta, bagaimana bisa saya harus meminta kesediannya, sementara kita tidak bisa juga menyiapkan dana buat akomodasi hingga transportasi.Â
Ndilalah, mas Giri ternyata memang sudah meniatkan untuk hadir, benar-benar sebuah keajaiban. Persiapannya jauh lebih mudah karena tidak mungkin mas Giri akan pulang lebih awal, beliau pasti menyempatkan untuk mengikuti sampai akhir sesi Kompasianival.
2019 Mas Agung Han adalah salah satu punggawa yang aktif dengan berbagai komunitas, dengan rasa percaya diri saya yakin mas Agung Han bisa stay sampai akhir.
2020 hingga 2021, sedikit tricky juga karena mbak Gaganawati berada di luar Indonesia dengan timezone yang berbeda pula, saya harus bisa memastikan mbak Gana bisa hadir, walaupun saat itu sedang winter, mbak Gana harus tampil lengkap dengan coat pula. Saat itu saya bilang untuk memberikan sambutan perwakilan dari Kompasianer. Ehehe.
Dilanjut pula yang saya sangat terharu, ketika mbak Dewi Puspa pecah tangis haru, entah kesal karena saya tipu atau memang sudah speechless karena penghargaan tertinggi yang ia bisa raih. Tapi rasa haru itu memang tembus ke hati yang mengurusi Kompasiana Awards kala itu, padahal secara daring.
Dan, yang paling terkini saya harus sedikit menipu Andri Mastiyanto dengan bertanya terkait keikutsertaan merusuh di Kompasianival karena memang sudah kebiasaanya, yang berkat konsistensinya di Kompasiana hingga kini diganjar dengan penghargaan tinggi sebagai Kompasianer ini. Bahkan saya harus berkali-kali celingak-celinguk memperhatikan apakah dia pulang atau masih stay.
Mudah-mudahan dosa berbohong saya dimaafkan ya, karena seharusnya bisa memberikan kebahagiaan selanjutnya. Dan sepertinya tahun depan sudah tidak bisa saya lagi yang menghubungi para calon pemenang selanjutnya karena sudah mulai ketebak. Ehehehe.
Begitulah cerita Kompasianival tahun ini dari saya.
Gimana kalo cerita kalian?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H