Minusnya, desain knalpot yang super duper buruk apalagi dengan las-lasan yang masih jauh dari kata rapih. Stoplampnya walaupun unik cuma memiliki bentuk yang juga aneh, kurang pas dengan desain. Fork suspension depan yang masih terlalu kecil tidak sebanding dengan dimensi bodynya, dan desain mesin yang kurang sedap untuk dipandang, standar banget. Jika saya memiliki RTR 200 ini, turun dari dealer saya sudah pasti langsung mengganti knalpot dan fork suspension depannya.
Performa. Nah ini nih, yang paling saya enggak sabar untuk nyobain. Motor Indihe memang terkenal dicap sebelah mata oleh fenboi motor jepun. Motor goyang-goyang Bollywood lah, bahkan malah ada yang bilang motor ini masih motor China, duh. Berdasarkan pengalaman saya dengan 2 motor India sebelumnya, dunia otomotif mereka sebenarnya sudah jauh lebih maju, produk yang dihasilkan bisa jauh lebih bandel kualitasnya jika dibandingkan motor jepun yang sekarang banyak dikurangi materialnya agar lebih murah.Â
Ngobrolin spesifikasi, motor dengan kubikasi 200cc ini memang tidak dilengkapi radiator seperti pada umumnya motor di kelas ini. Tapi diganti dengan O3C (Oil Cooled Combustion Chamber) alias pendingin oli sebagai penggantinya, jangan heran walaupun tanpa radiator panas yang dikeluarkan selama perjalanan Jakarta-Purwakarta memang benar-benar adem, tidak berlebih.
Dan aslik, motor ini siksa-able banget. 10 Kompasianer yang bergantian membawa motor ini hingga Purwakarta dengan sengaja selalu dipentokin dengan batas limitnya. Berkali-kali lampu limit gear menyala, berkali-kali pula semua rider menguji coba hingga batas top speed, mantab! Walaupun sayangnya hanya memiliki 5 percepatan, saat saya coba geber habis saya reflek untuk memindahkan gigi dari 5 mau pindah ke 6, haha. Saya lupa kebiasaan bawa NS200.
FYI. Di rombongan kami juga membawa satu unit yang sudah diubah, tepatnya sudah dimodifikasi beberapa part. Karena motor ini sebelumnya digunakan Tim Equatorrad MotoAdventure saat mengelilingi timur Indonesia, bayangkan unitnya baru pulang di hari minggu, dicuci aja juga belum, selasa udah langsung kita geber lagi. Secara endurance, ini motor beneran badak banget. Jalur Karawang dengan posisi berboncengan, saya masih bisa mendapatkan topspeed di angka 119km/jam, edan tenaaan.
Dalam kondisi bensin hampir habis, ada warning di speedometer yang akan menyala dan silakan Anda geber motor dengan RPM tinggi, motor ini enggak bakalan mau bakalan batuk-batuk, pinter bener. Konsumsi langsung dihemat abis-abisan sebelum bahan bakar benar-benar habis, jadi jangan pernah membiarkan motor ini dalam keadaan bensin sudah mau habis.
Secara tenaga ini motor benar-benar patut dipertimbangkan, tenaga jauh lebih asik jika harus dibandingkan motor jepun kelas 150cc, konsumsi yang sangat irit, enggak gampang muncul gejala-gejala overheat.
Saya pun cukup takjub dengan beberapa Kompasianer yang mengikuti TVS Joy Ride to Purwakarta. Seperti Om Dzulfikar Al'ala, om Widianto Didiet dan beberapa Kompasianer mungil lainnya, pada kenyataannya mudah mengendalikannya walaupun kaki jinjit-jinjit mulu, lebih enteng sih.
After Sales. Bagaimana dengan aftersales TVS? pertanyaan ini yang paling banyak dilontarkan ketika rombongan kami membagikan foto-foto perjalanan di media sosial kami. Percuma juga punya motor yahud punya, tapi setelah itu bingung mau diservice dimana, ya kan. Tahu kan bagaimana nasib kompetitior senegara TVS yang sekarang entah dimana? nasib ribuan unitnya tidak jelas, hingga beredar pabrikan India ini digulingkan pabrikan jepun secara hukum, karena dianggap tidak memiliki hak paten atas teknologi dua busi. Para penggunanya hingga saat ini, harus rela kehilangan induk dan mencari perlindungan di bawah komunitas dan bengkel-bengel kepercayaan agar motornya tetap bisa hidup dengan sparepart subtitusi.