Mohon tunggu...
Priyadi
Priyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Menyukai buku

Baru belajar nulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Desa Wisata Itu Tidak Menarik!

17 Desember 2023   18:52 Diperbarui: 17 Desember 2023   20:37 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Unsplash.com/Joel Vodell

Bukannya benci, tapi saya "tidak terlalu suka" dengan program menciptakan desa wisata. Ini juga tidak berarti, bahwa saya tidak menyukainya.

Gagasan desa wisata ini telah merebak di wilayah kecamatan saya, tapi belum ada satu pun dari sembilan desa yang berhasil.

Beberapa ide untuk membuat atraksi guna menarik pengunjung, telah bermunculan di beberapa desa tetangga, termasuk di desa saya. Namun, upaya tersebut belum menetaskan hasil.

Mungkin memang belum ada keseriusan untuk menggarap ide yang telah bermunculan.

Satu hal yang membuat saya "tidak terlalu suka" dengan desa wisata adalah tentang kekhawatiran penguasaan keuntungan finansial, sistem tata kelola bangunan dan sistem kelembagaan.

Secara personal, ihwal "tidak terlalu suka" saya berdasar pada ingatan sebuah cerita pendek (cerpen) yang pernah saya baca. Cerpen itu ditulis oleh Gde Aryantha Soethama. Cerpen berjudul "Sawah Indah dan Subur."

Cerpen ini termaktub di buku kumpulan cerpen Mandi Api (2006) yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas.

*****

Dalam cerpennya, Gde Aryantha Soethama mengisahkan sebuah desa di Bali yang merupakan desa petani dengan sawah yang subur. Lalu ada tokoh dermawan bernama Pak Jamah yang kerap meringankan beban keuangan kepada para penduduk. Bantuan itu tanpa pamrih.

Bahkan, karena merasa tidak enak hati, beberapa warga memberikan surat tanah sebagai jaminan karena sudah dibantu pinjaman duit.

Suatu ketika, Pak Jamah ingin membuat penginapan di pertengahan sawah. Penginapan akhirnya berdiri, turis berdatangan untuk menikmati pemandangan sawah.

Lambat laun, para petani tersingkir. Tanah mereka tergadai dan tak mampu membayar Pak Jamah. Penginapan demi penginapan pun bermunculan.

Para petani kemudian menjadi "babu" di penginapan-penginapan tersebut. Beberapa di antara yang masih jadi petani, tapi itu merupakan semacam peran, semacam aktor. Mereka bertani untuk menghibur orang, bukan untuk sejatinya bertani.

Kita simak beberapa penggal kalimat dari cerpen Gde Aryantha Soethama:

"Lima tahun berlalu, kampung kami tak lagi desa petani, tapi sungguh-sungguh desa wisata. Yang bekerja di sawah-sawah di antara bungalo itu bukan lagi petani. Status mereka adalah karyawan penginapan yang digaji bulanan. Jika mereka membajak, menabur benih, atau menuai hasil, itu kegiatan pura-pura saja, untuk dipotret oleh turis-turis itu."

*****

Sawah Indah dan Subur mungkin memang hanya cerpen, fiksi. Tapi membaca cerpen tersebut, saya tidak yakin bahwa itu seratus persen fiksi. Bahkan saya percaya, sebagian masalah di cerpen tersebut adalah fakta.

Tapi kasus di cerpen tersebut berlatar belakang Bali, mercusuarnya pariwisata Indonesia. Perubahan menjadi desa wisata bergerak cepat, karena Bali memang sudah terkenal sebagai tujuan utama wisatawan.

Belum tentu, kasus seperti itu bisa terjadi di daerah lain, apalagi daerah tersebut sebelumnya memang tidak memiliki bentang alam yang indah dan bentang budaya yang menarik.

Atau bahkan sebaliknya, sebuah desa yang berproses menjadi desa wisata, memiliki setahap keberhasilan dan menjadi pembicaraan, tapi kemudian desa wisata tersebut bubar.

Karena apa? Karena tidak adanya transparansi keuangan dari para pengurusnya, karena kelembagaan pengurus yang tidak kuat, atau mungkin karena faktor-faktor lainnya.

Apakah kasus seperti itu ada?

Tentu saja ada! Saya adalah saksi mata.

Di wilayah Kabupaten Semarang, pernah ada desa wisata yang moncer. Bahkan sampai saat ini, rekaman pemberitaan mengenai desa itu masih tersimpan di berbagai website-website top, termasuk Kompas.

Faktanya, desa wisata itu sekarang sudah sepi dan tidak ada kegiatan untuk menarik wisatawan.

Dulu, tujuan wisata utama yang ditawarkan adalah bentang persawahan yang indah. Ini termasuk paket wisata membajak sawah, paket wisata praktek menanam padi, mencari ikan di sungai kecil, berfoto dengan kerbau dan penggembalanya, belanja di kebun milik warga, dan lain sebagainya.

Salah satu penggerak cum lokomotif utama  desa wisata tersebut adalah rekan kuliah saya di UIN Raden Mas Said Surakarta. Ia bahkan telah mencoba mengaktifkan kesenian untuk mewarnai bentang budaya demi bisa menarik wisatawan.

Ketika rekan saya tersebut kecewa karena berbagai persoalan kepengurusan, termasuk sistem kelembagaan yang tidak jelas, dia banting setir dan tidak mengurusi desa wisata itu lagi.

Desa wisata itu kini hidup segan mati tak mau. Beberapa kali saya melintas atau dolan ke rumah rekan saya, sekedar ingin tahu denyut nafas desa wisata tersebut. Yang saya lihat, hanya bayang sekilas kepongahan masa lalu yang hanya seumur jagung.

Tapi saya tetap mengangkat topi untuk rekan saya tersebut: Hormat untukmu, Mas Haji Dodoli Dodolibret!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun