Apakah kasus seperti itu ada?
Tentu saja ada! Saya adalah saksi mata.
Di wilayah Kabupaten Semarang, pernah ada desa wisata yang moncer. Bahkan sampai saat ini, rekaman pemberitaan mengenai desa itu masih tersimpan di berbagai website-website top, termasuk Kompas.
Faktanya, desa wisata itu sekarang sudah sepi dan tidak ada kegiatan untuk menarik wisatawan.
Dulu, tujuan wisata utama yang ditawarkan adalah bentang persawahan yang indah. Ini termasuk paket wisata membajak sawah, paket wisata praktek menanam padi, mencari ikan di sungai kecil, berfoto dengan kerbau dan penggembalanya, belanja di kebun milik warga, dan lain sebagainya.
Salah satu penggerak cum lokomotif utama  desa wisata tersebut adalah rekan kuliah saya di UIN Raden Mas Said Surakarta. Ia bahkan telah mencoba mengaktifkan kesenian untuk mewarnai bentang budaya demi bisa menarik wisatawan.
Ketika rekan saya tersebut kecewa karena berbagai persoalan kepengurusan, termasuk sistem kelembagaan yang tidak jelas, dia banting setir dan tidak mengurusi desa wisata itu lagi.
Desa wisata itu kini hidup segan mati tak mau. Beberapa kali saya melintas atau dolan ke rumah rekan saya, sekedar ingin tahu denyut nafas desa wisata tersebut. Yang saya lihat, hanya bayang sekilas kepongahan masa lalu yang hanya seumur jagung.
Tapi saya tetap mengangkat topi untuk rekan saya tersebut: Hormat untukmu, Mas Haji Dodoli Dodolibret!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H