Mohon tunggu...
Priyadi
Priyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Menyukai buku

Baru belajar nulis

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Stasiun Bringin: Nelangsa di Perlintasan Sejarah

10 Desember 2023   14:50 Diperbarui: 12 Desember 2023   11:00 1270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejarah terbentuk dari siklus. Riwayat berputar seperti roda gerobak sapi. Masa baik datang, tapi nanti masa buruk menggantikan. Bila itu terjadi, bagaimana pun baiknya manusia, malapetaka tak akan terelakkan (Goenawan Mohamad)

*****

Berulang kali melewati jalan dari desaku menuju Salatiga, deretan bangunan perkampungan perlahan terlihat berubah. Rumah-rumah baru, berdiri di lahan yang dulu sawah atau kebun.

Memang, perubahan itu tidak terlalu signifikan karena perkembangan berjalan perlahan. Jalan raya yang semakin halus, mobilisasi semakin cepat, mobil dan motor semakin banyak berlalu-lalang.

Tapi, dari sekian banyak perubahan, ada satu titik di mana waktu kurasakan membeku, yakni lahan di dekat Pasar Bringin.

Pasar ini sebenarnya dinamis, berada di sebelah utara jalan raya. Dulu, hari ramai pasaran adalah setiap Wage. Kini setiap hari, pasar tetap buka sampai siang. Di malam hari, depan pasar berjejer penjual angkringan, kuliner Lamongan, nasi goreng dan lainnya.

Di seberang jalan pasar Bringin, di sebelah selatan jalan raya, di situlah kurasakan waktu yang membeku. Sebuah bangunan lama, dikurung dengan pagar seng dan hanya terlihat atapnya saja.

Kini bangunan yang usianya lebih dari 100 tahun itu terlihat nelangsa.

Bangunan tersebut adalah stasiun yang dulu dibangun oleh perusahaan Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij sekitar tahun 1871. Stasiun berdiri untuk melayani jalur rel Kedungjati-Ambarawa. Ini merupakan jalur percabangan rel dari Semarang ke Vorstenlanden, rel pertama yang dibangun di Indonesia.

Pupusnya Ambisi Reaktivasi

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Ketika saya menginjak Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, saya sering berbelanja ke Bringin. Saat itu, saya belum tahu bahwa ada jalur rel kereta api di belakang pertokoan tersebut. Bahkan, saya juga tidak tahu ada stasiun di tempat itu.

Maklum, desa saya adalah desa terpencil dan Bringin menjadi tujuan berbelanja. Bringin dalam imajinasi ndeso saya adalah "kota."

Ketidak-tahuan tentang jalur rel itu lama-lama terbongkar dengan sedikit demi sedikit informasi dari cerita-cerita. Sampai kemudian ada proyek reaktivasi rel kereta api pada tahun 2014, pertokoan dibongkar.

Di situlah kemudian wajah Stasiun Bringin terlihat jelas dari jalan raya. Saya takjub!

Saya kemudian membayangkan, bahwa proyek reaktivasi jalur kereta api akan membangkitkan kembali kejayaan sepur di tempat saya. Tapi bayangan itu pupus dua tahun kemudian. Proyek mangkrak dan nasibnya entah.

Sebagai rakyat jelata, tentu saja saya  kecewa dengan berhentinya proyek tersebut. Ini karena, pernah terbesit di pikiran, bahwa salah satu jalur rel tertua di Indonesia akan kembali dihidupkan dan itu berada di dekat tempat tinggal saya.

Ada semacam kebanggaan yang merasuk dalam imajinasi, jika jalur itu hidup kembali. Tapi apa daya sebagai rakyat jelata, toh bisa berharap dan bermimpi saja sudah cukup dialhamdulillahi.

Sejarah dan Darah 

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Di sekitar Ambarawa dan Salatiga, ada hamparan kebun kopi yang saat itu menjadi salah satu komoditas utama pemerintah kolonial Belanda. Perkebunan dimiliki oleh Landbouw Maatschappij Getas. Kantor perusahaan itu sampai saat ini masih ada, dan menjadi PTPN IX.

Rel kereta api Kedungjati-Ambarawa awalnya digunakan untuk mengangkut panen tersebut. Bahkan juga mengangkut kakao yang ditanam di daerah Ngasinan serta mengangkut penumpang.

Jejak sejarah ratusan tahun lampau dan sisa-sisa bangunan yang sampai saat ini masih ada, membuatku merasa dekat sekaligus jauh.

Stasiun Bringin adalah bukti fisik bahwa pemerintah kolonial begitu dekat dengan desa saya, tapi sekaligus jauh karena ada kekosongan cerita tentang hal tersebut.

Saya kerap membayangkan bagaimana kebahagiaan dan penderitaan orang-orang saat di bawah pemerintahan kolonial. Dan apakah itu juga berdampak pada desa saya, ihwal itu menjadi pertanyaan tersendiri.

Ini karena saya masih memiliki pertanyaan yang belum terjawab, dari daerah mana para pekerja pembangunan jalur kereta api itu?

Apakah mereka kerja paksa, dan jika iya berapa banyak yang mati bersimbah darah? Jika mereka buruh yang dibayar, berapakah bayarannya dan mereka berasal dari mana saja? Apakah ada yang berasal dari desa saya? Termasuk kemudian pertanyaan, apakah saat itu desa saya sudah ada?

Pada tahun 2016-2017, saya menjadi salah satu "aktivis" di Pasar Bringin: jualan jamur tiram hasil budidaya sendiri. Setiap pagi sebelum subuh, saya harus mengantarkan hasil panen dan menjualnya kepada pengepul.

Setelah jualan habis, saya nongkrong di angkringan dan ngobrol dengan pemiliknya yang sudah sepuh. Pernah saya menyinggung tentang mengapa dan kapan stasiun itu berhenti beroperasi.

Dia bilang, stasiun mulai berhenti beroperasi sekitar tahun 1975 karena kalah bersaing dengan kendaraan angkutan.

Di akhir tahun 1980-an, dia juga bercerita pernah ada suatu peristiwa di depan stasiun, tepatnya di seberangnya, yakni di depan Pasar Bringin.

Sebelum subuh, ada sebuah karung di pinggir jalan. Orang-orang mengira, karung itu berisi gori, nangka yang belum matang. Karung itu disangka milik salah satu pedagang. Tapi sampai siang, karung itu masih berada di tempat itu dan tidak ada yang menggesernya.

Akhirnya ada yang penasaran dan membukanya. Orang-orang terkejut! Di dalamnya ada mayat dengan bekas luka tembak. Dia cerita, kemungkinan mayat tersebut adalah korban Petrus (Penembak Misterius).

Penyair Prancis yang Tersesat

Google Maps
Google Maps

Dalam catatan di buku Sejarah Kecil Indonesia-Prancis 1800-2000 garapan Jean Rocher dan Iwan Santosa, Stasiun Tuntang adalah titik akhir perjalanan kereta api penyair besar Prancis, Arthur Rimbaud.

Penyair itu mendaftar sebagai tentara bayaran kolonial Belanda dan dikirim ke Jawa. Dia ditugaskan di pos Salatiga. Biografi perjalanan Rimbaud di Jawa disebut sebagai salah satu episode paling tidak jelas dalam kehidupannya.

Kapal yang membawa Rimbaud bersandar di Batavia pada Juli 1876. Kapal itu kemudian melanjutkan ke pelabuhan Semarang dan melanjutkan perjalanan dengan kereta api.

Andri Setiawan mengutip tulisan Jamie James dalam Rimbaud in Java, The Lost Voyage, bahwa penyair itu berada di satu gerbong dengan orang sakit dari Semarang menuju Kedungjati, dan pindah ke kereta yang lebih kecil menuju Stasiun Tuntang.

Ini berarti Rimbaud juga melewati Stasiun Bringin yang kini terlihat sangat nelangsa.

Dari Tuntang, Rimbaud dan rombongan berjalan sejauh delapan kilometer menuju barak militer yang berada di dekat Alun-alun Salatiga. Ini terjadi sekitar Agustus 1876.

Rimbaud kemudian melakukan desersi, kabur dari barak militer pada 14 Agustus. Pada 31 Desember di tahun yang sama, dia dikabarkan telah berada di rumah ibunya di Charleville, Prancis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun