Ketika saya menginjak Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, saya sering berbelanja ke Bringin. Saat itu, saya belum tahu bahwa ada jalur rel kereta api di belakang pertokoan tersebut. Bahkan, saya juga tidak tahu ada stasiun di tempat itu.
Maklum, desa saya adalah desa terpencil dan Bringin menjadi tujuan berbelanja. Bringin dalam imajinasi ndeso saya adalah "kota."
Ketidak-tahuan tentang jalur rel itu lama-lama terbongkar dengan sedikit demi sedikit informasi dari cerita-cerita. Sampai kemudian ada proyek reaktivasi rel kereta api pada tahun 2014, pertokoan dibongkar.
Di situlah kemudian wajah Stasiun Bringin terlihat jelas dari jalan raya. Saya takjub!
Saya kemudian membayangkan, bahwa proyek reaktivasi jalur kereta api akan membangkitkan kembali kejayaan sepur di tempat saya. Tapi bayangan itu pupus dua tahun kemudian. Proyek mangkrak dan nasibnya entah.
Sebagai rakyat jelata, tentu saja saya  kecewa dengan berhentinya proyek tersebut. Ini karena, pernah terbesit di pikiran, bahwa salah satu jalur rel tertua di Indonesia akan kembali dihidupkan dan itu berada di dekat tempat tinggal saya.
Ada semacam kebanggaan yang merasuk dalam imajinasi, jika jalur itu hidup kembali. Tapi apa daya sebagai rakyat jelata, toh bisa berharap dan bermimpi saja sudah cukup dialhamdulillahi.
Sejarah dan DarahÂ
Di sekitar Ambarawa dan Salatiga, ada hamparan kebun kopi yang saat itu menjadi salah satu komoditas utama pemerintah kolonial Belanda. Perkebunan dimiliki oleh Landbouw Maatschappij Getas. Kantor perusahaan itu sampai saat ini masih ada, dan menjadi PTPN IX.