Sejarah terbentuk dari siklus. Riwayat berputar seperti roda gerobak sapi. Masa baik datang, tapi nanti masa buruk menggantikan. Bila itu terjadi, bagaimana pun baiknya manusia, malapetaka tak akan terelakkan (Goenawan Mohamad)
*****
Berulang kali melewati jalan dari desaku menuju Salatiga, deretan bangunan perkampungan perlahan terlihat berubah. Rumah-rumah baru, berdiri di lahan yang dulu sawah atau kebun.
Memang, perubahan itu tidak terlalu signifikan karena perkembangan berjalan perlahan. Jalan raya yang semakin halus, mobilisasi semakin cepat, mobil dan motor semakin banyak berlalu-lalang.
Tapi, dari sekian banyak perubahan, ada satu titik di mana waktu kurasakan membeku, yakni lahan di dekat Pasar Bringin.
Pasar ini sebenarnya dinamis, berada di sebelah utara jalan raya. Dulu, hari ramai pasaran adalah setiap Wage. Kini setiap hari, pasar tetap buka sampai siang. Di malam hari, depan pasar berjejer penjual angkringan, kuliner Lamongan, nasi goreng dan lainnya.
Di seberang jalan pasar Bringin, di sebelah selatan jalan raya, di situlah kurasakan waktu yang membeku. Sebuah bangunan lama, dikurung dengan pagar seng dan hanya terlihat atapnya saja.
Kini bangunan yang usianya lebih dari 100 tahun itu terlihat nelangsa.
Bangunan tersebut adalah stasiun yang dulu dibangun oleh perusahaan Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij sekitar tahun 1871. Stasiun berdiri untuk melayani jalur rel Kedungjati-Ambarawa. Ini merupakan jalur percabangan rel dari Semarang ke Vorstenlanden, rel pertama yang dibangun di Indonesia.
Pupusnya Ambisi Reaktivasi