Mohon tunggu...
Priyadi
Priyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Menyukai buku

Baru belajar nulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hujan Puisi, Hujan Ancaman

5 Januari 2021   15:11 Diperbarui: 5 Januari 2021   15:31 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jadilah kau hujan atau apa saja yang menyejukkanku, kekasih" tulis Kompasianer Saqti Abonkze dalam sebuah puisinya yang  berjudul "Sebuah Pinta". Dia kemudian melanjutkan, "Aku, tetap sebagai bumi; menadah segala apa yang langit jatuhkan;/ berharap itu embun atau air mata doa-doa yang kau panjatkan".

Ketahuailah, puisi dalam dunia sastra kita dibanjiri dengan hujan. Saqti Abonkze hanyalah satu diantara sekian ribu pecipta puisi, yang menyeret hujan dalam karyanya. Banyak penyair menggunakan hujan dengan berbagai makna, beragam metafora dan dalam pelbagai gaya.

Paling terkenal di Indonesia, bisa kita sebut puisi "Hujan Bulan Juni" karya almarhum Sapardi Djoko Damono. Dalam beberapa tahun terakhir ini, nama Sapardi melambung dan cetak ulang buku puisi "Hujan Bulan Juni" terjadi. Barangkali, satu-satunya buku puisi paling laris di negeri ini adalah "Hujan Bulan Juni".

Puitisasi Hujan

Aku tidak mengerti dimensi spiritual apa yang telah menggerakkan banyak penyair Indonesia mencipta puisi hujan. Tapi jika harus dibandingkan dengan "kemarau", puisi hujan menurutku jauh lebih banyak. Di dalam puisi hujan, ada saja harapan, impian, romantisme serta kerinduan.

Kita mengingat bait pertama dari puisi Sapardi: "tak ada yang lebih tabah/ dari hujan bulan Juni/ dirahasiakannya rintik rindunya/ kepada pohon berbunga itu". Kita pun menyimak bait puitis itu penuh dengan balutan ketabahan dan rindu ketika Sapardi menulis tentang "hujan".

Sebenarnya jika dipikir, saat musim hujan kita tak bisa leluasa melihat indahnya matahari pagi hari karena berkabut. Kita juga tak bisa melihat keindahan yang syahdu matahari tenggelam karena hujan biasa terjadi dari siang, sore hingga malam. 

Faktanya, hujan adalah penghalang dan telah banyak menghalangi perjalanan orang-orang sehingga membuat mereka memilih berteduh. Hujan juga membuat orang-orang lebih menyukai rebahan dengan selimut hangat dan "memaksa" abang ojek daring mengantarkan makanannya. 

Tapi karena piawainya penyair, entah kenapa, di dalam hujan, akan ada sisi melodramatis yang begitu lembut menyentuh kedalaman hati. Selain karena hujan dengan air yang diturunkan dari langit memiliki fakta sebagai sumber kehidupan, penyair memiliki kegandrungan menggunakan peristiwa tersebut sebagai sebuah penanda dengan ragam maknanya.

Ini sangat berbeda dengan kemarau. Meskipun puisi-puisi kemarau juga memiliki dimensi seperti harapan yang menanti "hujan", tapi lebih banyak sisi "keras" yang tampil. Tidak banyak puisi kemarau terkenal di negeri ini. Tapi kalau novel, ada. Novel tersebut adalah "Kering" karya Iwan Simatupang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun