Mohon tunggu...
Priyadi
Priyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Menyukai buku

Baru belajar nulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hujan Puisi, Hujan Ancaman

5 Januari 2021   15:11 Diperbarui: 5 Januari 2021   15:31 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan Ancaman

Karya-karya Iwan Simatupang, khususnya dalam novel, dia tidak hobi menyematkan nama dalam tokoh utamanya. Dalam novel "Kering" juga seperti itu. Iwan hanya menuliskan tokoh utama dengan nama "Tokoh Kita".

Novel Kering bercerita sebuah daerah transmigrasi yang dilanda kemarau panjang ketika orang-orang mencoba menggarap lahan pertanian mereka. Banyak orang putus asa dan keluar dari daerah transmigrasi tersebut. Namun "Tokoh Kita" berikhtiar melakukan pencarian dan menemukan sebuah lembah berair yang membuatnya berinisiatif untuk membuat sebuah kota kemarau.

Ketika pembangunan kota itu hampir selesai, awan hitam bergulung-gulung datang di langit, menurunkan angin dan hujan lebat. Kota kemarau yang dibangun itu akhirnya hancur karena diterpa angin dan hujan. Iwan dalam novelnya, justru mengambil sisi lain tentang hujan. Hujan, memiliki daya destruktifnya, sehingga harus membuat manusia menyadari bahwa kita tidak dapat meraih apa yang belum datang dan kita tidak dapat menolak apa yang datang.

Hujan Kambing Hitam

Meskipun sebagai manusia bijaksana, banyak orang melihat sisi hujan sebagai "rahmat" dan air yang diturunkan menjadi sumber kehidupan, faktanya musim hujan adalah musim penuh dengan keluhan. Kita bisa menemukan representasi keluhan itu lewat berita-berita televisi dan berita daring.

Musim hujan hampir selalu memiliki posisi sebagai peristiwa negatif. Hujan jadi kambing hitam lewat pemberitaan media. Kita bisa membaca berita-berita itu, isinya adalah ancaman banjir, ancaman rob, ancaman sakit demam dan flu, ancaman cucian menjadi bau apek, waspada pohon tumbang,dan sekian ancaman lain yang memposisikan hujan sebagai "malapetaka" saat ini.

Padahal kita tahu, banjir bukan karena hujan lebat tapi karena ekosistem yang ada saat ini sudah rusak. Kitalah, manusia bedebah ini, yang telah merusaknya. Tapi aku tidak tahu, mengapa banyak sekali berita menggunakan judul yang memposisikan hujan sebagai ancaman dan kambing hitam.

Ketika hujan dipersalahkan, maka muncullah sekian "life hack" untuk mengatasi hidup agar kita bisa melewati musim hujan. Dorongan konsumerisme akhirnya muncul dari berbagai macam produk seperti jas hujan, sepatu anti banjir, perumahan anti banjir, multivitamin penambah daya tahan tubuh, detergent yang membuat baju tetap harum, minuman dan makanan penghangat badan, dan berjibun produk lain yang muncul karena "hujan diposisikan sebagai ancaman dan dijadikan sebagai kambing hitam".

Bagi Cak Nun, dalam tulisannya yang berjudul "Persaudaraan dengan Hujan", hujan adalah cermin ketangguhan atau kerapuhan fisik dan mental seseorang. Puncak dari memahami hujan adalah menerima guyuran air dari langit dengan keikhlasan dan membuatnya sebagai peristiwa yang menyadarkan pikir, membuat sublim ruhani, dan mengikis kecengengan hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun