"Jadilah kau hujan atau apa saja yang menyejukkanku, kekasih" tulis Kompasianer Saqti Abonkze dalam sebuah puisinya yang  berjudul "Sebuah Pinta". Dia kemudian melanjutkan, "Aku, tetap sebagai bumi; menadah segala apa yang langit jatuhkan;/ berharap itu embun atau air mata doa-doa yang kau panjatkan".
Ketahuailah, puisi dalam dunia sastra kita dibanjiri dengan hujan. Saqti Abonkze hanyalah satu diantara sekian ribu pecipta puisi, yang menyeret hujan dalam karyanya. Banyak penyair menggunakan hujan dengan berbagai makna, beragam metafora dan dalam pelbagai gaya.
Paling terkenal di Indonesia, bisa kita sebut puisi "Hujan Bulan Juni" karya almarhum Sapardi Djoko Damono. Dalam beberapa tahun terakhir ini, nama Sapardi melambung dan cetak ulang buku puisi "Hujan Bulan Juni" terjadi. Barangkali, satu-satunya buku puisi paling laris di negeri ini adalah "Hujan Bulan Juni".
Puitisasi Hujan
Aku tidak mengerti dimensi spiritual apa yang telah menggerakkan banyak penyair Indonesia mencipta puisi hujan. Tapi jika harus dibandingkan dengan "kemarau", puisi hujan menurutku jauh lebih banyak. Di dalam puisi hujan, ada saja harapan, impian, romantisme serta kerinduan.
Kita mengingat bait pertama dari puisi Sapardi: "tak ada yang lebih tabah/ dari hujan bulan Juni/ dirahasiakannya rintik rindunya/ kepada pohon berbunga itu". Kita pun menyimak bait puitis itu penuh dengan balutan ketabahan dan rindu ketika Sapardi menulis tentang "hujan".
Sebenarnya jika dipikir, saat musim hujan kita tak bisa leluasa melihat indahnya matahari pagi hari karena berkabut. Kita juga tak bisa melihat keindahan yang syahdu matahari tenggelam karena hujan biasa terjadi dari siang, sore hingga malam.Â
Faktanya, hujan adalah penghalang dan telah banyak menghalangi perjalanan orang-orang sehingga membuat mereka memilih berteduh. Hujan juga membuat orang-orang lebih menyukai rebahan dengan selimut hangat dan "memaksa" abang ojek daring mengantarkan makanannya.Â
Tapi karena piawainya penyair, entah kenapa, di dalam hujan, akan ada sisi melodramatis yang begitu lembut menyentuh kedalaman hati. Selain karena hujan dengan air yang diturunkan dari langit memiliki fakta sebagai sumber kehidupan, penyair memiliki kegandrungan menggunakan peristiwa tersebut sebagai sebuah penanda dengan ragam maknanya.
Ini sangat berbeda dengan kemarau. Meskipun puisi-puisi kemarau juga memiliki dimensi seperti harapan yang menanti "hujan", tapi lebih banyak sisi "keras" yang tampil. Tidak banyak puisi kemarau terkenal di negeri ini. Tapi kalau novel, ada. Novel tersebut adalah "Kering" karya Iwan Simatupang.
Hujan Ancaman
Karya-karya Iwan Simatupang, khususnya dalam novel, dia tidak hobi menyematkan nama dalam tokoh utamanya. Dalam novel "Kering" juga seperti itu. Iwan hanya menuliskan tokoh utama dengan nama "Tokoh Kita".
Novel Kering bercerita sebuah daerah transmigrasi yang dilanda kemarau panjang ketika orang-orang mencoba menggarap lahan pertanian mereka. Banyak orang putus asa dan keluar dari daerah transmigrasi tersebut. Namun "Tokoh Kita" berikhtiar melakukan pencarian dan menemukan sebuah lembah berair yang membuatnya berinisiatif untuk membuat sebuah kota kemarau.
Ketika pembangunan kota itu hampir selesai, awan hitam bergulung-gulung datang di langit, menurunkan angin dan hujan lebat. Kota kemarau yang dibangun itu akhirnya hancur karena diterpa angin dan hujan. Iwan dalam novelnya, justru mengambil sisi lain tentang hujan. Hujan, memiliki daya destruktifnya, sehingga harus membuat manusia menyadari bahwa kita tidak dapat meraih apa yang belum datang dan kita tidak dapat menolak apa yang datang.
Hujan Kambing Hitam
Meskipun sebagai manusia bijaksana, banyak orang melihat sisi hujan sebagai "rahmat" dan air yang diturunkan menjadi sumber kehidupan, faktanya musim hujan adalah musim penuh dengan keluhan. Kita bisa menemukan representasi keluhan itu lewat berita-berita televisi dan berita daring.
Musim hujan hampir selalu memiliki posisi sebagai peristiwa negatif. Hujan jadi kambing hitam lewat pemberitaan media. Kita bisa membaca berita-berita itu, isinya adalah ancaman banjir, ancaman rob, ancaman sakit demam dan flu, ancaman cucian menjadi bau apek, waspada pohon tumbang,dan sekian ancaman lain yang memposisikan hujan sebagai "malapetaka" saat ini.
Padahal kita tahu, banjir bukan karena hujan lebat tapi karena ekosistem yang ada saat ini sudah rusak. Kitalah, manusia bedebah ini, yang telah merusaknya. Tapi aku tidak tahu, mengapa banyak sekali berita menggunakan judul yang memposisikan hujan sebagai ancaman dan kambing hitam.
Ketika hujan dipersalahkan, maka muncullah sekian "life hack" untuk mengatasi hidup agar kita bisa melewati musim hujan. Dorongan konsumerisme akhirnya muncul dari berbagai macam produk seperti jas hujan, sepatu anti banjir, perumahan anti banjir, multivitamin penambah daya tahan tubuh, detergent yang membuat baju tetap harum, minuman dan makanan penghangat badan, dan berjibun produk lain yang muncul karena "hujan diposisikan sebagai ancaman dan dijadikan sebagai kambing hitam".
Bagi Cak Nun, dalam tulisannya yang berjudul "Persaudaraan dengan Hujan", hujan adalah cermin ketangguhan atau kerapuhan fisik dan mental seseorang. Puncak dari memahami hujan adalah menerima guyuran air dari langit dengan keikhlasan dan membuatnya sebagai peristiwa yang menyadarkan pikir, membuat sublim ruhani, dan mengikis kecengengan hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H