Seorang pria paruh baya nyaris setiap hari mengunjungi kandang ular yg sama di sebuah kebun binatang di pagi hari. Ia memutuskan utk menolak mengunjungi binatang-binatang lainnya. Baginya, ular itu sdh cukup mewakili kesempurnaan eksistensi binatang. Dgn logika lain, kesempurnaan ular sbg binatang justru terletak pd ketidaksempurnaannya dibandingkan dengan manusia. Binatang lain menurutnya terlalu tanggung, ambivalen dan skeptis dlm menegaskan perbedaan antara jati dirinya sbg binatang dg manusia.
Di sore hari ia membagi pandangannya kpd orang lain bahwa buaya, biawak, monyet, kera, dan sebagainya adalah binatang sesat karena msh punya tangan atau kaki. Mereka bukan binatang, mereka hanya ingin menyamakan dirinya dg manusia.
Bagaimana dg sang ular yg tampaknya tak pernah beranjak dari pohon di kandangnya? Ia tak pernah peduli dg siapapun yg mengagumi atau membencinya. Sepanjang hidupnya ia hanya mengutuk iblis yg menyusupi dirinya sewaktu di surga. Setiap waktu ia menyesali dirinya. "Seandainya aku tdk menerima tawaran iblis utk menggoda Adam dan Hawa, tentu aku bisa menyantap makanan dg kedua tanganku dan berjalan dg kedua kakiku. Ah tiada mahluk yg lbh hina selain aku yg kepalanya menyentuh tanah dan menghisap debu ini..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H