Gerakan literasi ini merupakan titik pijak menjadikan manusia sebagai insan pembelajar sepanjang hayat. Di samping itu, kecakapan literasi merupakan salah satu jawaban atas tantangan zaman yang penuh dengan informasi di arena global.Â
Dengan demikian, sebagai generasi pembelajar dan berbudi luhur, mereka mengantongi kunci sukses kehidupan berbangsa dan bernegara di masa depan. Untuk menciptakan manusia pembelajar perlu memupuk semangat luar biasa seperti orang Jepang. Salah satu keberhasilan orang Jepang, menurut Aulia Fahdli (2007), mereka mempunyai semangat yang tidak pernah luntur, tahan banting, dan tidak mau menyerah oleh situasi dan keadaan yang bagaimanapun.
Berbicara tentang literasi, pada hakikatnya, manusia adalah makhluk periwayat (homo fabulans) di samping makhluk pemikir (homo sapiens). Kedua pemberian Yang Mahakuasa itu merupakan kelebihan yang diberikan bila dibandingkan dengan makhluk lain. Sebagai periwayat dan pemikir, manusia mampu melahirkan gagasan dan merekamnya dalam wujud tulisan. Wujud itu, akan mengabadikan hasil pemikirannya. Oleh karenanya, perekaman hasil pemikiran yang diwujudkan dalam tulisan merupakan sesuatu yang sangat penting.
Gerakan literasi mengharapkan peserta didik mampu membaca dengan baik, yang pada akhirnya mereka mengaplikasikan isi bacaan tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari.Â
Dengan demikian generasi muda mempunyai wacana yang utuh tentang hidup dan kehidupan, untuk diinternalisasikan ke dalam perilaku sehari-hari, agar menjadi manusia yan berbudi luhur.
Literasi juga mengajak dan menggerakkan kesadaran anak-anak didik untuk menuangkan pemikirannya lewat menulis. Uji literasi pada akhirnya mengerucut pada keterampilan menulis. Gerakan literasi ini merupakan titik pijak menjadikan manusia sebagai insan pembelajar sepanjang hayat.Â
Di samping itu, kecakapan literasi merupakan salah satu jawaban atas tantangan zaman yang penuh dengan informasi di arena global. Dengan demikian, sebagai generasi pembelajar dan berbudi luhur, mereka mengantongi kunci sukses kehidupan berbangsa dan bernegara di masa depan.
Untuk meningkatkan budaya literasi, maka guru sendiri hendaknya memiliki; budaya membaca, budaya menulis, serta diimplementasikan budaya meneliti perlu digalakkan. Budaya membaca memiliki tujuan untuk mengetahui sesuatu, ingin mendapatkan informasi yang kita inginkan, ingin memperkaya wawasan.Â
Budaya membaca sangat penting demi kemajuan bangsa. Â Lalu, budaya menulis merupakan kegiatan menciptakan kata dan sekaligus mewujudkannya dalam sebuah wacana. Kegiatan menulis merupakan kegiatan produktif, sehingga dipandang sebagai kegiatan yang lebih sulit bila dibandingkan kegiatan yang bersifat reseptif (menerima).
Namun faktanya, masih banyak guru yang enggan membaca. Terkait dengan budaya menulis apa lagi. Â Banyak guru yang beranggapan kegiatan menulis itu merupakan kegiatan yang sulit. Hal ini terjadi karena kurangnya budaya membaca. Budaya menulis tidak dapat berdiri sendiri, artinya budaya menulis ini selalu dan otomatis didahului oleh budaya membaca.Â
Orang yang suka menulis otomatis suka membaca. Akhirnya, budaya menulis menuntut seorang guru untuk mencari informasi dari sumber bacaan sebagai referensi dalam kepenulisannya. Di samping kita haus informasi, dengan menulis kita dapat menularkan dan berbagi (sharing) pengalaman, pemikiran, ide, gagasan kepada khalayak luas sebagai bahan diskusi.
Selanjutnya, budaya meneliti semestinya wajib dilakukan oleh seorang guru. Hal ini disebabkan seorang guru yang profesional mempunyai kewajiban untuk memperbarui pengetahuan yang dimilikinya. Dalam upaya meng-update pengetahuan seorang guru harus melakukan penelitian.Â
Menurut Sanapiah Faisal penelitian merupakan suatu pekerjaan dalam rangka menemukan sesuatu yang baru. Seorang peneliti tidak sekadar mensintesa dan mengorganisasikan pengetahuan yang sudah ada, akan tetapi perlu pencarian dan akhirnya penemuan sesuatu yang baru (1982).
Budaya meneliti sangat penting untuk guru, karena kebiasan melakukan penelitian akan mempertajam wacana guru dalam penguasan materi pembelajaran. Dalam menggeluti kegitan penelitian di satu sisi sudah barang tentu guru terlibat dengan sekian banyak buku sebagai sumber teori untuk referensi penelitiannya.Â
Dengan membaca tentu mereka bergulat dengan pemikiran orang lain sebagai wadah mendiskusikan tesis yang terdapat dalam buku yang dibacanya. Pada sisi lain, penelitian akan menghasilkan penemuan baru untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Bukankah seorang guru dituntut kreatif dan inovatif untuk menciptakan kualitas pembelajaran? Salah satu cara melahirkan kreativitas dan inovasi adalah melalui penelitian.
Jadi, untuk membangun dan menciptakan guru yang profesional penting mengedepankan budaya literasi. Budaya literasi merupakan budaya yang berkaitan dengan berbagai wacana. Oleh karena itu, budaya literasi mencakup budaya membaca, menulis, dan meneliti. Ketiga aktivitas tersebut tidak dapat dipisahkan.Â
Ketika seorang guru melakukakan aktivitas membaca berarti guru tersebut menabung sebagai modal untuk melakukan aktivitas menulis dan meneliti. Pada saat seorang guru menulis tentu harus didahului oleh aktivitas membaca. Dan sewaktu seorang guru melakukan aktivitas meneliti, tentu seorang guru sudah melakukan aktivitas membaca dan menulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H