Mohon tunggu...
Wayan Kerti
Wayan Kerti Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Papasangan

4 Juni 2019   20:10 Diperbarui: 4 Juni 2019   20:18 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Bau harum menyeruak seisi kamar. Aroma wewangian serasa menusuk hidung. Suasana mistis terasa kental, menyemburatkan suasana batin yang tenang dan damai. Kamar sempit berukuran  2x3 m diyakini sebagai kamar suci, tempat Jero Dasaran biasa melakukan semadi ketika masyarakat mapinunasan. 

Asap menyan dan dupa menyembul memenuhi ruangan. Sesaji pun mulai dihaturkan. Jero Dasaran duduk bersimpuh di depan altar pemujaan kamar suci itu. Tangannya mulai memercikkan air suci. Mulutnya komat-kamit, dibarengi gerakan tangan menyembah-nyembah. Pertanda ritual telah dimulai.

"Jeron mriki mapinunasan, nggih? Nunasang indik durung madu keturunan." (Anda datang ke sini memohon doa ya? Memohon doa tentang belum punya keturunan), tiba-tiba Jero Dasaran memulai pembicaraan.

"Inggih, Jero. Patut pisan!" (Ya, Jero. Benar sekali) seorang perempuan muda menyahut pelan, dibarengi anggukan lelaki muda yang duduk di sampingnya. Mereka adalah pasangan suami-istri yang cukup lama menikah, namun belum dikaruniai momongan.

"San mangkin, rarisang acepang napi pangaptin ring Ida Sasuhunan iriki." (Sekarang, silahkan berdoa dan memohon kepada-Nya).

Pasangan suami-istri itu pun khusuk berdoa. Lalu, mereka diperciki air suci berisi kembang beraneka warna. Proses ritual terus berjalan.  Cukup lama terjadi dialog di kamar suci itu. Akhirnya, bibir Jero Dasaran tiba-tiba melontarkan ucapan, "Sube kemu mai cening maubad, kondn masih ngelah sentana. An ngranaang, ulian ade an ngenain papasangan." (Sudah ke sana-ke mari kamu berobat, belum juga mempunyai keturunan. Penyebabnya karena ada yang menguna-gunai).

Pasangan suami-istri muda itu pun nampak kaget, bingung bercampur aduk. Mereka berpandangan dalam diam. Namun, mengisyaratkan mereka sedang menebak-nebak, mencari sumber tentang siapa kiranya yang berniat jahat pada mereka. Tentang siapa yang telah mengguna-gunainya.

Dengan langkah gontai, mereka berpamitan. Sungguh tidak diduga jika ada yang berniat jahat pada mereka. Padahal, selama ini mereka merasa tidak memiliki musuh. Serasa putus asa akan perjuangan yang selama ini mereka lakoni. Sudah tujuh tahun mereka menikah, buah hati yang mereka idam-idamkan belum juga hadir. Sudah beberapa dokter ahli kandungan ternama mereka kunjungi, berulang kali. Paranormal juga sudah belasan yang dimintai bantuannya. Sampai pada langkah di kamar suci Jero Dasaran. Hasilnya belum juga nampak.

Apa yang baru saja dialami di tempat mapinunasan dikabarkannya kepada mertuanya. Kedua orangtua itu nampak gelisah dan bingung. Mereka mencoba menerka-nerka tentang siapa yang sudah berbuat jahat sama menantu dan anak semata wayangnya. Motif apa yang mereka inginkan, pikirnya dalam hati. Namun, lelaki tua itu nampak berusaha tegar dan berpikir bijak.

"Janganlah sedih, Nak. Kalian harus tetap berdoa dan berusaha. Kabarkan juga berita ini pada besanku. Mungkin Beliau bisa membantu mencarikan jalan keluar," kilahnya dengan suara pelan, tak bertenaga.

"Iya, Bapak. Besok saya akan ke rumah bersama Gede," jawab I Luh dengan suara yang lirih dan mata berkaca-kaca.

Keesokan harinya, pasangan ini memutuskan untuk menemui orangtua      I Luh di kampung halamannya. Sepanjang perjalanan, mereka berdua hanya diam. Hanya musik dari tafe recorder yang mengalun memecah keheningan pagi. Tidak ada canda-tawa, atau cerita-cerita yang membumbui kisah perjalanan mereka. Kenangan selama masa pacaran seakan tertelan bumi, sirna begitu saja dalam perjalanan waktu.

Embun masih nampak berkilauan di rerumputan terkena terpaan sinar matahari. Mereka menapakkan kaki di halaman rumah orangtuanya dengan langkah gontai. "Om Swastiyastu!" sebuah salam yang keluar dari mulut mereka.

Kedua orangtuanya pun menyambut dengan antusias kehadiran mereka sambil membalas dengan salam, "Om Swastiyastu!" Mereka terlihat gembira menyambut kehadiran anak dan menantunya. Seorang wanita paruh baya seketika menghampiri I luh, "Ada apa, tumben pagi-pagi sudah pulang?" Matanya penuh selidik, pandangan matanya tertuju pada perut I Luh. Naluri keibuannya telah berbisik, berharap anaknya telah hamil. Lalu, dia sah menyandang predikat seorang nenek.

 "Made, sama Nyoman kemana, Ibu?" Tiba-tiba I Luh bertanya memecah kebisuan suasana.

"Kedua adikmu tidak di rumah. Biasa, kalau  sudah malam Minggu mereka akan menginap di rumah teman-temannya," jawab ayah I Luh. "Sebenarnya, ada apa tiba-tiba dan pagi-pagi sekali kalian sudah sampai di sini? Bisanya, jika hendak pulang, kalian berkabar dulu. Tumben hari ini kalian hadir secara tiba-tiba," imbuhnya dengan nada penuh selidik.

"Kami hanya ingin jalan-jalan, Ayah." Jawab sang menantu, seperti hendak menyembunyikan sesuatu.

Dari ruang dapur, menyeruak aroma kopi khas kampung ini. sang ibu tergopoh-gopoh membawa pisang rebus dan beberapa cangkir kopi. "Silahkan dinikmati! Ini menu pengganjal perut favorit I Luh sejak kecil," imbuhnya sambil menyodorkan cangkir-cangkir itu.

Sambil menikmati sarapan pisang rebus dan ngopi pagi, obrolan pun terus berlanjut. Sesekali nampak canda-tawa, tetapi akhirnya semua nampak diam dengan raut muka cemas, ketika I Luh dan suaminya menceritakan semua yang mereka alami ketika mapinunasan. Orangtua I Luh pun terlihat bertanya-tanya dalam hati. Mereka berpikir penuh selidik penyebab anaknya sampai kini belum dianungrahi momongan.

Suasana sempat hening beberapa saat. Akhirnya, bapak memberi saran, "I Luh, begitu juga Gede, coba kita periksakan ke dokter ahli kandungan di kota ini. Beliau sahabat ayah sejak SD yang kembali dan mengabdikan dirinya ke desa ini sejak pensiun dari dinas di Surabaya. Siapa tahu, justru jodoh bertemu di desa ini, seperti dirimu dengan Gede." Sarannya seperti hendak membesarkan hati anak dan menantunya. Mereka sepakat sore itu untuk bertandang ke rumah sang dokter.

Ruang praktik dokter nampak lenggang, maklum karena praktiknya di desa. Jadi, tidak perlu antre. Masyarakat lebih memilih memeriksakan kandungan ke bidan desa, bahkan masih ada yang mempercayakan perawatan kandungannya ke dukun beranak.

"Om Swastiyastu!" Ayahnya I Luh menyapa, yang dibalas dengan salam yang sama oleh lelaki paruh baya berpakain putih-putih yang keluar dari dalam ruang praktek.

"Nampaknya, Beliau itu adalah dokter spesialis kenalan ayah sejak kecil," pikir I Luh. Sepertinya dugaannya tidaklah salah. Sebentar saja, kedua lelaki paruh baya itu telah nampak akrab. Mereka seperti sedang bereuni mengenang masa kecilnya dahulu ketika sama-sama tinggal dan bermain bersama.

"Tumben kau bertandang ke sini," sapa dokter itu. "Ayo masuk saja. Kita kumpul dan ngobrol di dalam. Lagian, jarang ada pasien yang periksa ke sini," imbuh sang dokter.

Rombongan keluarga ini sepakat dengan ajakan dokter. Mereka ramai-ramai memasuki ruang praktik dokter kandungan itu. Lalu, ayah I Luh mengutarakan maksud kedatangan mereka kepada karibnya. Sang dokter nampak antusias mendengar semua cerita dan keluhan yang secara bergilir di ceritakan oleh keluarga ini. Intinya, tentang kerinduan keluarga ini yang belum dikaruniai momongan. Berbagai upaya medis dan nonmedis yang sudah dilakoni diceritakan semua, lengkap dengan catatan medis yang masih disimpan oleh I Luh.

"Luh, masuklah ke ruang itu," ujar dokter sambil menunjuk salah satu sudut ruang yang tersekat kain gorden warna biru. Tak nampak perawat atau bidan yang membantu buka praktik.

"Berbaringlah!" perintah sang dokter. I Luh pun menuruti petunjuknya. Tubuhnya direbahkan di ranjang kamar periksa itu. Sambil memasang stetoskop di telinganya, dokter itu memutar-mutar alat USG di perut I Luh. Beliau bercerita dan bertanya berbagai hal kepada I Luh. Perbincangan mereka nampak akrab sekali, bahkan sesekali terdengar canda-tawa menghasi ruang pemeriksaan,

Tiba-tiba, dokter itu bertanya, "Luh apakah kamu pernah bermaksud menunda kehamilan?"

"Maksud Dokter?" sanggah I Luh dengan nada heran dan kebingungan.

"Maksudku, kamu mungkin pernah berniat ingin menunda punya anak, lalu kalian sepakat memakai alat kontrasepsi," kata dokter itu.

"Tentu saja tidak dokter! Saya menikah justru bermaksud segera memiliki keturunan. Tidak pernah terbersit di benak untuk menunda kebahagian keluarga kami. Ada apa dengan diri saya?" cecar I Luh dengan nada penasaran.

"Baiklah! Aku panggilkan keluargamu untuk melihat apa yang sebenarnya menimpa dirimu." Dokter itu pun memanggil keluarga I Luh untuk ikut bergabung di ruang pemeriksaan.

"Sahabatku, begitu juga kamu, Nak! Sekarang lihatlah dengan saksama layar itu!," perintah dokter itu. "Apa yang kalian lihat?" imbuhnya.

"Aku melihat seperti ada sesuatu di rahim anakku, Kawan!" jawab ayah I Luh, yang diiyakan oleh yang lain, sebagai pertanda sepakat dengan temuan pemeriksaan dokter spesialis kandungan itu.

"Itulah sumber masalahnya," ucap dokter itu dengan mimik serius.

"Benda apa itu kawan? Aku jadi penasaran. Apakah ini yang dikatakan papasangan seperti yang disampaikan Jero Dasaran tempo hari?" imbuh ayah I Luh dengan ekspresi wajah yang penasaran.

"Betul! Di rahim anakmu ini memang ada papasangan, dan yang memasang pastilah orang yang ahli seperti diriku," lanjut sang dokter dengan nada sedikit bergurau.

"Aku bertanya serius, tolong kamu jawab dengan serius, Kawan!" gertak ayah I Luh yang merasa dibuat semakin penasaran.

"Baiklah! Aku jawab dengan tegas, di rahim anakmu terpasang alat kontrasepsi "spiral". Hal tu sama saja dengan papasangan, seperti cerita paranormal itu. Itulah pemicunya kawan," kata dokter itu. "Tadi, aku bertanya kepada anakmu, apa dia pernah bermaksud menunda punya anak? Dia bilang, tidak. Jadi, siapa kira-kira yang memasang alat itu di rahim anakmu?" Dokter itu balik bertanya kepada ayah I Luh dengan raut muka penuh selidik, yang membuat ayah dan ibu I Luh salah tingkah.

Suasana sempat hening beberapa saat. Sepertinya semua saling introspeksi diri, saling menerka-nerka. Apa mungkin orang sakti yang menjahati anaknya. Dalam hening, orangtua I Luh teringat kisah masa lalu. Mereka lalu menarik tangan dokter itu keluar ruangan. Di serambi rumah itu, mereka bercerita dengan mata berkaca-kaca.

"Aku yang salah kawan," celetuk sang ayah dengan penuh penyesalan. "Dulu, ketika anakku remaja, aku lihat dia agak liar bergaul. Sering gonta-ganti teman cowok yang diajak ke rumah. Aku jadi khawatir anakku membawa aib bagi keluarga. Suatu hari ketika dia diopname karena usus buntu, aku bersama istri sepakat saat operasi sekalian dipasangi "alat jahanam" itu," tutur sang ayah dengan nada lirih.

Keterangan:

1.

papasangan

:

guna-guna

2.

mapinunasan

:

memohon

3.

Jero Dasaran

:

Paranormal (orang yang dapat kemasukan roh, sehingga bisa menjadi perantara berkominkasi dengan alam gaib.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun