Mohon tunggu...
Wayan Kerti
Wayan Kerti Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Papasangan

4 Juni 2019   20:10 Diperbarui: 4 Juni 2019   20:18 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Iya, Bapak. Besok saya akan ke rumah bersama Gede," jawab I Luh dengan suara yang lirih dan mata berkaca-kaca.

Keesokan harinya, pasangan ini memutuskan untuk menemui orangtua      I Luh di kampung halamannya. Sepanjang perjalanan, mereka berdua hanya diam. Hanya musik dari tafe recorder yang mengalun memecah keheningan pagi. Tidak ada canda-tawa, atau cerita-cerita yang membumbui kisah perjalanan mereka. Kenangan selama masa pacaran seakan tertelan bumi, sirna begitu saja dalam perjalanan waktu.

Embun masih nampak berkilauan di rerumputan terkena terpaan sinar matahari. Mereka menapakkan kaki di halaman rumah orangtuanya dengan langkah gontai. "Om Swastiyastu!" sebuah salam yang keluar dari mulut mereka.

Kedua orangtuanya pun menyambut dengan antusias kehadiran mereka sambil membalas dengan salam, "Om Swastiyastu!" Mereka terlihat gembira menyambut kehadiran anak dan menantunya. Seorang wanita paruh baya seketika menghampiri I luh, "Ada apa, tumben pagi-pagi sudah pulang?" Matanya penuh selidik, pandangan matanya tertuju pada perut I Luh. Naluri keibuannya telah berbisik, berharap anaknya telah hamil. Lalu, dia sah menyandang predikat seorang nenek.

 "Made, sama Nyoman kemana, Ibu?" Tiba-tiba I Luh bertanya memecah kebisuan suasana.

"Kedua adikmu tidak di rumah. Biasa, kalau  sudah malam Minggu mereka akan menginap di rumah teman-temannya," jawab ayah I Luh. "Sebenarnya, ada apa tiba-tiba dan pagi-pagi sekali kalian sudah sampai di sini? Bisanya, jika hendak pulang, kalian berkabar dulu. Tumben hari ini kalian hadir secara tiba-tiba," imbuhnya dengan nada penuh selidik.

"Kami hanya ingin jalan-jalan, Ayah." Jawab sang menantu, seperti hendak menyembunyikan sesuatu.

Dari ruang dapur, menyeruak aroma kopi khas kampung ini. sang ibu tergopoh-gopoh membawa pisang rebus dan beberapa cangkir kopi. "Silahkan dinikmati! Ini menu pengganjal perut favorit I Luh sejak kecil," imbuhnya sambil menyodorkan cangkir-cangkir itu.

Sambil menikmati sarapan pisang rebus dan ngopi pagi, obrolan pun terus berlanjut. Sesekali nampak canda-tawa, tetapi akhirnya semua nampak diam dengan raut muka cemas, ketika I Luh dan suaminya menceritakan semua yang mereka alami ketika mapinunasan. Orangtua I Luh pun terlihat bertanya-tanya dalam hati. Mereka berpikir penuh selidik penyebab anaknya sampai kini belum dianungrahi momongan.

Suasana sempat hening beberapa saat. Akhirnya, bapak memberi saran, "I Luh, begitu juga Gede, coba kita periksakan ke dokter ahli kandungan di kota ini. Beliau sahabat ayah sejak SD yang kembali dan mengabdikan dirinya ke desa ini sejak pensiun dari dinas di Surabaya. Siapa tahu, justru jodoh bertemu di desa ini, seperti dirimu dengan Gede." Sarannya seperti hendak membesarkan hati anak dan menantunya. Mereka sepakat sore itu untuk bertandang ke rumah sang dokter.

Ruang praktik dokter nampak lenggang, maklum karena praktiknya di desa. Jadi, tidak perlu antre. Masyarakat lebih memilih memeriksakan kandungan ke bidan desa, bahkan masih ada yang mempercayakan perawatan kandungannya ke dukun beranak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun