Mohon tunggu...
Wayan Kerti
Wayan Kerti Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Noktah di Hari Bahagia

30 Agustus 2018   12:30 Diperbarui: 30 Agustus 2018   12:34 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: Net

Doa-doa telah terucap. Lilin berangka delapan di atas kue tar itu baru saja ditiup dengan pelan. Nyanian "Selamat Ulang Tahun", '"Happy Birth Day", "Potong Kuenya", silih berganti berkumandang. Cium pipi kanan-pipi kiri, lalu dilanjutkan dengan bagi-bagi kue dan menikmati hidangan ala kadarnya menjadi tradisi perayaan hari ulang tahun. 

Pesta pun berlangsung sederhana dengan iringan musik "tik-tok" ke kinian. Anak-anak terlihat lepas menari riang. Sementara yang tua-tua asyik menikmati hidangan; plecing kangkung, sambel bongkot, dan aneka masakan khas pedesaan. 

Halaman rumah yang luas berhias lampu kerlap-kerlip, dan cuaca yang cukup bersahabat membuat anak-anak merasa bebas dan riang menikmati suasana malam. Jadilah, acara itu bak pesta kebun.

"Selamat ulang tahun, Oming. Semoga selalu sehat dan jadi anak yang berbakti sama orangtua!" Ucapan seperti itu silih berganti terdengar bersama desir angin malam dari sepupu dan tante-tantenya. Maklumlah, acara perayaan ulang tahun itu berlangsung sederhana bersama keluarga.

Sebenarnya, aku malah kurang suka dengan acara ulang tahun seperti itu. Sebagai anak yang tumbuh dan dibesarkan di desa dengan tradisi adat dan budaya Bali yang kuat, almarhum ibuku selalu mengabadikan hari kelahiranku dengan sesaji "otonan".

"Meuwat kawat, metulang besi", itu sepenggal dedoa yang selalu kuingat terucap dari bibir prempuan tua, almarhum ibuku pada setiap perayaannya, lalu diakhiri dengan pelingkaran gelang dari benang "tri datu" di tangan kananku. Dan, acara seperti itu pula setiap tahun kami laksanakan buat anakku, Koming.

Namun, perayaan ulang tahun selalu juga diimpikan oleh anakku setiap tahunnya, bertepatan dengan liburan sekolah di bulan Juli. Dengan merayakan perayaan ulang tahun, hatinya mungkin akan merasakan bahwa dia juga anak kekinian. Sama seperti anak-anak masa kini, seperti anak tetangga yang kerap mengundangnya pada saat perayaan ulang tahun kelahirannya.

Mendapat ucapan selamat, anakku nampak sumringah. Dengan sedikit malu-malu, dia membalas dengan ucapan, "Terimakasih". Hatinya mungkin sedang bahagia. Jiwanya berbunga-bunga. Hal itu terlihat jelas dari ekspresi wajahnya.

Pepohonan dan kembang-kembang di halaman rumah itu turut menjadi saksi bisu pesta kecil itu. Andai mereka bisa berucap, mungkin pula akan turut memberi ucapan selamat kepadanya. Akan tetapi, rona-rona di kelopak kembang itu terlihat jelas berekpresi bahagia mendengar alunan musik yang mendayu menyejukkan jiwa.

Pesta kecil perayaan ulang tahun belum berakhir. Sang waktu kian beranjak. Malam itu, di tanggal 2 Juli langit di sudut kota Denpasar tergolong cerah. Hanya sedikit awan yang nampak menggelayut. Namun, bintang-bintang masih terlihat jelas berkelap-kelip seakan turut hendak berucap "Selamat berulang tahun" kepada anakku bersama semilir angin malam.

 Anak-anak masih nampak asyik menikmati aneka makanan dan alunan musik dari tape recorder. Yang tua-tua juga terlihat asyik menyantap aneka hidangan, tak ketinggalan aku sesekali meneguk minuman tradisional khas pedesaan, "tuak".

 "Bapak...! Bapak...! Bapak!" Anakku tiba-tiba berteriak dan menjerit-jerit. Isak tangisnya tak terbendung. Semuanya menjadi bingung. Ada apa gerangan yang membuat Koming tiba-tiba menjerit dan menagis histeris? Berkali-kali pertanyaan yang terlontar tentang penyebab dia menangis tidak dijawabnya. Hanya derai air mata dan isak tangis yang dia keluarkan.

Moment bahagia itu berubah menjadi cerita pilu. Pesta kecil seketika terhenti. Aneka makanan dan minuman masih berserak di atas meja makan di halaman. Alunan musik pun terhenti.

Aku sungguh tidak mengerti, mengapa anakku tiba-tiba menangis. Berulang kali aku dan istriku membujuknya agar berhenti menangis, namun usaha itu masih gagal. Kucoba memberinya minum. Perlahan-lahan tangisnya berkurang. Dia mulai memberi alasan mengapa dia menjerit dan menangis. Usut punya usut, ternyata dia kasihan sama kakek dan neneknya yang ada di kampung halaman.

"Kasihan Ninik sama Pekak!" Celetuknya dengan suara parau.

Ya kedua mertuaku itu memang tidak bisa bergerak dari tempat tidurnya. Mertua perempuan (Ninik) tidak bisa bangun dan berdiri karena bagian kakinya telah diamputasi akibat penyakit diabetes yang dideritanya. Sedangkan mertua laki (Pekak) sudah lama terserang stroek yang mengakibatkan tubuhnya lumpuh. Mereka hanya diurus oleh ipar perempuan. Jadi, itulah yang dikhawatirkan hingga harus mengurai air mata di hari bahagianya. Merusak pesta kecil yang tengah berlangsung.

Di balik rasa bahagia yang dia rasakan, ada rasa khawatir akan orang-orang yang dicintainya.

Pada saat pesta ultah masih berjalan, aku memang  mendapat kabar melalui telepon dari orangtuaku di kampung bahwa Gunung Agung meletus dan  mengeluarkan larva pijar. Diam-diam, rupanya anakku mendengar percakapan itu.

Di medsos pun kabar itu secepat kilat beredar luas. Facebook, WhatshApp, Line, Mesenger, silih berganti mengirim kabar dan gambar-gambar tentang peristiwa itu. Cerita-cerita dan gambar yang beredar di media sosial bahkan tersiar kabar jika Gunung Agung di kampung halamanku telah meletus dahsyat. 

Masyarakat di zana-zona bahaya pun kabarnya telah berbondong-bondong menyelamatkan diri. Mereka  katanya memilih mengungsi untuk menyelamatkan diri ke daerah aman secara swadaya.

Aku jadi penasaran. Sebabnya, berita maupun informasi dari media sosial sangat sering tidak akurat. Penyebabnya adalah karena berita di medsos banyak bumbunya, kadang juga banyak penyedapnya sehingga terkadang menjadi berita hoak.

Ada kabar dari keponakanku, jika dari Pantai Sindu, moment itu bisa dilihat. Tengah malam, kami segera meluncur. Di lokasi itu memang masyarakat memang tengah berjubel menjadi saksi peristiwa itu. 

Terdengar berbagai perbincangan dan spekulasi dari mereka yang hadir tentang nyala api nun jauh di arah utara di seberang lautan. 

Apakah benar nyala itu adalah lelehan larva atau tidak masih misteri dan menjadi bahan perbincangan yang hangat. Akan tetapi, sebagian orang nampak tidak peduli. 

Mereka nampak asyik menikmati minuman, alunan musik pada cafe-cafe di pinggir pantai yang terkenal dengan pasirnya yang putih serta debur ombaknya yang tenang. 

Ada juga yang terlihat bersorak-sorak menghadap layar lebar menyaksikan nonton bersama pertandingan siaran langsung sepak bola Piala Dunia di Negeri Beruang Merah sana yang diselenggarakan oleh pemilik bar atau kafe. Umumnya, mereka adalah para "bule" yang tidak peduli dengan peristiwa alam yang terjadi di seberangnya.

Sesungguhnya, hatiku merasa menyesal tidak bisa menjadi saksi langsung peristiwa meletusnya Gunung Agung. Gunung tertinggi di Pulau Dewata ini memang sudah hampir setahun mengalami pluktuasi dan membuat masyarakat Karangasem menjadi merasa tidak aman dan nyaman. Anehnya pula, beberapa kali peristiwa letusan besar kerap terjadi ketika kami pas berkunjung dan menginap di Denpasar.

Akhirnya, Pantai Sindu menjadi penawar dan sedikit mengobati rasa penasaranku, juga gelisah hati anakku. "Besok pagi-pagi kita pulang, Nak. Kita tengok Ninik dan Pekak ya. Sekarang, mari kita pulang. Hiburku pada sang anak. Malam telah larut, nun jauh di sana bara nampak kian surut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun