Mohon tunggu...
Wayan Kerti
Wayan Kerti Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Full Day School, Solusi Meminimalkan Anak dari Ketergantungan Gawai

9 Agustus 2018   07:56 Diperbarui: 9 Agustus 2018   08:42 1777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehidupan pada era ini yang lebih dikenal dengan era digital atau dunia abad 21, telah membuat anak-anak larut dan menikmati era serba canggih ini. Pada setiap kesempatan utamanya pada saat libur atau sepulang sekolah, anak-anak remaja, bahkan anak usia dini cenderung asyik bermaian gadget. Walaupun memiliki pengetahuan tentang bahaya gadget bagi anak, orang tua terkadang tak sanggup mengatasinya. 

Anak cenderung melawan atau mengeluarkan "senjata pamungkasnya" yaitu menangis apabila dilarang. Apalagi pada keluarga yang pengasuhan anak-anaknya dipercayakan pada pembantu rumah tangga, tentu para pembantu itu tidak mau repot dan cenderung membiarkan agar anak asuhannya merasa senang.

Apakah dampak negatifnya terhadap anak?

Dampak negatif  pemakain gadget bagi anak yaitu:

1) Berdampak pada perilaku sosial, anak cenderung menyendiri dan lupa bersosialisasi. Akibatnya, anak-anak mulai melupakan kodratnya di samping sebagai mahluk individu, juga sebagai mahluk sosial.

2) Berdampak terhadap kesehatan fisik, misalnya; ada kecenderungan anak mengalami kegemukan atau obesitas karena kurang aktif bergerak; terlalu sering menatap layar gadget otomatis refleks untuk kedipan mata menjadi berkurang oleh karena hal tersebut lapisan air mata menjadi lebih mudah menguap dan sangat rentan membuat mata kering; radiasi gadget berisiko mengakibatkan gangguan terhadap sistem imun anak dan perkembangan pada otak anak; dan berbagai permasalahan kesehatan fisik lainnya.

3) Dampak psikologis, anak yang terbiasa terpapar gadget secara psikologis misalnya; tayangan yang berisi kekerasan berisiko membuat anak cenderung agresif, semakin sering anak terpapar tanyangan kekerasan maka semakin besar pula kemungkinan anak menjadi lebih agresif kepada orang-orang di sekitarnya; bahaya penggunaan gadget pada anak dapat meningkatkan risiko depresi, gangguan kecemasan, kurang atensi, autisme, kelainan bipolar, psikosis, dan perilaku bermasalah lainnya.

Anak juga mulai mencari penghiburan dari gadget, yang pada akhirnya membuat mereka kecanduan teknologi, dan tidak bisa lepas darinya; kecepatan konten gadget pada membuat anak memiliki attention span yang pendek, tidak fokus pada satu hal, dan mudah berganti fokus, menurunkan kemampuan konsentrasi dan memori, dan anak susah memusatkan perhatian; dan lain sebaginya.

Bagaimanakah solusinya?

Berbagai permasalahan yang ditimbulkan oleh pesatnya kehadiran dan pemakaian gadget di kalangan anak-anak tentu harus dicarikan jalan keluarnya. 

Salah satu solusi terbaik yang secara tidak langsung dapat mengurangi atau bahkan mencegah pemakain gadget yang berlebih bagi anak sehingga anak-anak terhindar dari berbagai dampak buruk pemakain gadget adalah dengan pelaksanaan program pendidikan full day school.

Apakah itu full day school?

Ada berbagai pendapat tentang  definisi full day school. Echols dan Shadily (1996) mengatakan bahwa full day school berasal dari bahasa Inggris, yaitu full artinya penuh, day artinya hari, sedangkan school artinya sekolah. 

Jadi pengertian full day school adalah sekolah sepanjang hari atau proses belajar mengajar yang diberlakukan dari pagi hari sampai sore hari, mulai pukul 06.45-15.30 WIB, dengan durasi istirahat setiap dua jam sekali. 

Dengan demikian, sekolah dapat mengatur jadwal pelajaran dengan leluasa, disesuaikan dengan bobot mata pelajaran dan ditambah dengan pendalaman materi. Hal yang diutamakan dalam full day school adalah pengaturan jadwal mata pelajaran dan pendalaman. 

Sedangkan menurut Basuki (2013) berpendapat bahwa terkait full day school adalah sekolah yang sebagian waktunya digunakan untuk program-program pembelajaran yang suasana informal, tidak kaku, menyenangkan bagi siswa dan membutuhkan kretivitas dan inovasi dari guru. 

Dalam hal ini, ia berpatokan pada sebuah penelitian yang menyatakan bahwa waktu belajar efektif bagi anak itu hanya 3-4 jam sehari dalam suasana formal, dan 7-8 jam sehari dalam suasana informal.

Lebih lanjut, Sulistyaningsih (2008) menyatakan bahwa sekolah bertipe full day ini berlangsung hampir sehari penuh lamanya, yakni dari pukul 08.00 pagi hingga 15.00 sore. 

Dengan demikian, sistem full day school adalah komponen-komponen yang disusun dengan teratur dan baik untuk menunjang proses pendewasaan manusia (peserta didik) melalui upaya pengajaran dan pelatihan dengan waktu di sekolah yang lebih panjang atau lama dibandingkan dengan sekolah-sekolah pada umumnya.

Berdasarkan uraian pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa full day school adalah sekolah yang menyelenggarakan pembelajaran sehari penuh dari pagi hingga sore dengan sebagian waktunya digunakan untuk program pelajaran yang suasananya informal serta menyenangkan bagi siswa. Sekolah dapat mengatur jadwal pelajaran dengan bebas sesuai dengan bobot mata pelajaran.

Mengapa full day school dapat mengurangi dampak negatif gadget?

 Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 mengamatkan agar sekolah-sekolah melaksanakan pembelajaran secara full day school. Namun, program tersebut mendapatkan berbagai reaksi dari berbagai kalangan. 

Sesungguhnya, pelaksanaan full day school merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi berbagai masalah pendidikan, utamanya terhadap dampak negatif pemakain gadget bagi anak. 

Dengan mengikuti full day school, orang tua dapat mencegah dan menetralisir kemungkinan dari kegiatan-kegiatan anak yang menjerumus pada kegiatan yang negatif.

Beberapa alasan mengapa full day school dapat mengurangi dampak negatif pemakian gadget pada anak, yaitu:

1) Meningkatnya jumlah orang tua yang bekerja (parent-career) yang kurang memberikan perhatian kepada anaknya, terutama yang berhubungan dengan aktivitas anak setelah pulang dari sekolah. 

Dengan memberikan kesempatan pada anak untuk belajar dan bermaian di sekolah lebih lama atas bimbingan para gurunya, maka kesempatan anak untuk bermain gadget akan berkurang.

2) Perubahan sosial budaya dari masyarakat agraris menuju ke masyarakat industri berpengaruh pada pola pikir dan cara pandang masyarakat yang menjurus ke arah individualisme, begitu pula pada pola pikir anak. 

Full day school  yang memberi ruang 3-4 jam sehari dalam suasana formal dan 7-8 jam sehari dalam suasana informal akan membuat anak lebih banyak waktu untuk belajar-bermain dan bersosialisasi dengan rekan-rekannya.

 3) Peran ibu mulai tergantikan oleh pembantu rumah tangga atau baby sister.  Para pembantu rumah tangga atau baby sister itu belum tentu memiliki pengetahuan dasar akan dampak negatif pemakian gadget pada anak. Bahkan, mereka terkadang melakukan pembiaran pada anak untuk bermain gadget agar tidak rewel dan mendapatkan kesempatan melakukan aktivitas tugas rumah tangga lainnya. 

Dengan memberikan anak lebih lama lagi di sekolah sesuai konsep full day school, otomatis akan mengurangi waktu anak mendapat kesempatan bermain gadget.

4) Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu cepat akan menimbulkan korban, khususnya korban teknologi komunikasi pada anak. Penerapan full day school yang dibarengi dengan kualitas belajar dan penerapan pembelajaran yang menyenangkan akan menyebabkan anak betah dan merasakan manfaatnya berlam-lama di sekolah, sehingga secara otomatis perlahan-lahan akan mengurangi ketergantungan pada gadget.

Sekolah-sekolah di Indonesia khususnya di tingkat SMP sederajat masih banyak yang menerapkan proses belajar double shift karena keterbatasan ruang. 

 Maka, full day school untuk sementara hanya cocok diterapkan pada sekolah yang menerapkan proses pembelajaran single shift. Umumnya, pendidikan di SD berlangsung  seperti itu.

Berbagai permasalahan jika full day school diterapkan, harus dicarikan jalan keluarnya, diantaranya:

1. Siswa yang lapar di sore hari karena uang jajan sudah habis di waktu pagi, maka orang tua juga harus menyediakan uang jajan lebih atau bekal makanan yang cukup sampai sore hari.

2. Siswa dari keluarga kurang mampu dan keluarga tidak mampu, maka pihak sekolah bisa menerapkan sistem subsidi silang dengan mengenakan biaya makan tambahan pada siswa dari keluarga mampu untuk biaya makan tambahan yang disediakan pihak sekolah (utamanya pada sekolah-sekolah swasta). 

Solusi lain adalah pemerintah dapat mengalokasikan dana khusus untuk biaya makan tambahan bagi siswa dari kalangan keluarga kurang mampu dan dari keluarga tidak mampu.

3. Siswa merasa bosan dan capek lama berada di sekolah maka, lingkungan sekolah harus mampu menghadirkan suasana yang menyenangkan dengan kehadiran guru kreatif dan interaktif yang mampu memotivasi siswa agar betah di sekolah. 

Kegiatan belajar-mengajar di sekolah hendaklah menyenangkan dan dirindukan peserta didik yang dibarengi dengan kualitas para pengajar yang mampu mengelola pembelajaran secara kreatif, efektif, dan menyenangkan.

Oleh karena itu, konsep full day school ini harus didesain dan diformulasikan dengan baik dan tepat sasaran dengan menerima dan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, terutama sekolah sebagai pihak penyelenggara. 

Pemerintah harus memperhatikan dan menyesuaikan dengan kebutuhan siswa yang beragam, kondisi geografis dan kearifan lokal setiap daerah. Sekolah juga harus menyediakan berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang bisa dipilih siswa secara representatif, nyaman dan menyenangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun