Mohon tunggu...
Wayan Kerti
Wayan Kerti Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Menyoal Jargon Bahasa dalam Media Sosial

18 Juli 2018   14:03 Diperbarui: 18 Juli 2018   17:36 5686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa lepas untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Media komunikasi yang dipergunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan ataupun bahasa tulisan. Komunikasi adalah hal terpenting untuk berbagai kabar, perasaan, atau informasi lainnya. Komunikasi akan berjalan efektif jika kedua arah mengerti dengan simbol-simbol atau lambang yang dituju oleh bahasa yang dipilih oleh pemakainya.

Di era dunia tanpa batas ini, komunikasi secara lisan maupun tertulis intensitasnya sangat tinggi terjadi setiap hari, utamanya dengan adanya sarana telekomunikasi handphone (HP). Komunikasi bisa terjadi secara lisan atau tertulis. Komunikasi secara tertulislah yang paling tren terjadi dewasa ini. Kehadiran HP dengan android  mobile system telah membuat masyarakat menjadi komunikan atau penikmat aktif proses komunikasi. 

Berbagai aplikasi yang tersedia pada model handphone tersebut membuat masyarakat kecanduan untuk berkomunikasi setiap harinya. Pertemanan terjadi tanpa jarak, tanpa batas-batas strata sosial, umur, maupun golongan. Masyarakat seakan kecanduan membuat status pada akun-akun pribadinya atau mengomentari status atau tautan teman-temannya, seperti di line, face book, whatsApp, dsb.

Menyimak berbagai status atau komentar dari pengguna media sosial, utamanya di face book (FB) dalam berbagai kesempatan, sering membuat saya kebingungan dengan maksud dari kata-kata yang dipilih atau dipakai oleh pihak-pihak yang berkomunikasi. Ungkapan atau istilah seperti: GWS, OTW, BTW, HWD, Amor Ring Acintya dan sejenisnya, sangat sering saya temukan.

Ketika seseorang mengunggah sebuah status, misalnya ia sedang sakit (apakah di rumah/di rumah sakit) maka teman-temannya kompak akan memberikan ucapan, seperti: "GWS, ya!". Ketika ada status sebuah resepsi pernikahan, para pertemanan "dunia maya" tersebut akan memberi komentar: "HWD, ya! Moga langgeng!". Beberapa kali saya pernah juga melihat ungggahan status di sebuah akun face book "OTW ke ...."

Itu adalah sebagain kecil istilah/ungkapan-ungkapan status para penikmat "dunia maya" di akun media sosial, yang membuat saya merenung akan makna yang tersirat di balik ungkapan-ungkapan yang dirujuk. Sepertinya mereka sudah saling memahami istilah-istilah yang mereka pakai, walaupun terkadang saya perhatikan status sosial maupun latar belakang kehidupan dan pendidikan mereka berbeda-beda. 

Anehnya, mereka seperti sangat komunikatif. Padahal, saya sendiri masih bingung-merenung tentang hal-hal yang dirujuk oleh istilah-istilah tersebut. Saya tidak malu untuk bertanya kepada keponakan saya yang saya anggap gaul di dunia maya tentang maksud dari istilah-istilah tersebut. 

Dengan lancarnya dia memberikan penjelasan lewat pesan singkat, yang ternyata semua itu adalah singkatan-singkatan, bahkan berasal dari bahasa asing.

Misalnya: 1) GWS singkatan dari get well soon yang artinya "semoga cepat sembuh". Ungkapan ini sering digunakan oleh orang-orang untuk mengungkapkan rasa simpatinya. 

2) OTW singkatan dari on the way yang artinya "dalam perjalanan". Ungkapan ini digunakan ketika kita sedang dalam perjalanan atau sedang ditunggu oleh seseorang. 

3) BTW singkatan dari by the way yang artinya "ngomong-ngomong". Ungkapan ini sering sekali digunakan oleh anak-anak muda dalam mengobrol. 

4) HWD singkatan dari happy weeding yang artinya "selamat menempuh hidup baru". Ungkapan ini diberikan kepada pasangan yang sedang melangsungkan pesta pernikahan. 

5) Amor Ring Acintya, istilah ini populer di kalangan pemeluk Hindu, yang sesungguhnya berarti "menuju ke dalam situasi ketiadaan atau tidak tampak". Ungkapan ini diberikan kepada status seseorang yang terlihat telah meninggal dan diucapkan sebagai bentuk rasa turut berduka-cita. Sebagai guru bahasa Indonesia, saya jadi teringat akan istilah-istilah/ungkapan tersebut merupakan "Jargon" sebagai bentuk variasi bahasa.

Apa itu Jargon? Wikipedia Bahasa Indonesia mengartikan jargon adalah istilah khusus yang dipergunakan di bidang kehidupan (lingkungan) tertentu. Jargon biasanya tidak dipahami oleh orang dari bidang kehidupan yang lain. 

Misalkan "jargon komputer" berarti istilah-istilah yang berhubungan dengan komputer secara khusus dan hanya dipahami oleh orang-orang yang berhubungan dengan bidang komputer. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan jargon adalah kosakata khusus yang digunakan dalam bidang kehidupan (lingkungan) tertentu.

Jadi, dapat disimpulkan dari kedua definisi tersebut bahwa jargon adalah istilah khusus yang diciptakan dan dipakai dalam bidang keilmuan, profesi, kegiatan atau kelompok tertentu. Tiap profesi dan bidang keilmuan (kedokteran, ekonomi, geologi dan sebagainya) memiliki jargon sendiri yang hanya dipahami pelaku profesi dan pengkaji ilmu bersangkutan.

Sejalan dengan pendapat di atas, Gorys Keraf mengatakan bahwa kata jargon mengandung beberapa pengertian. Pertama-tama jargon mengandung makna suatu bahasa, dialek, atau tutur yang dianggap aneh atau kurang sopan. Tetapi istilah itu dipakai juga untuk mengacu semacam bahasa atau dialek hibrid yang timbul dari percampuran bahasa-bahasa, dan sekaligus dianggap sebgai bahasa perhubungan atau lingua franca. 

Makna yang ketiga mempunyai ketumpangtindihan dengan bahasa ilmiah. Dalam hal ini, jargon diartikan sebagai kata-kata teknis atau rahasia dalam suatu bidang ilmu tertentu, dalam bidang seni, perdagangan, kumpulan rahasia, atau kelompok-kelompok khusus lainnya (Keraf, 1986: 107).

Oleh karena jargon merupakan bahasa yang khusus sekali, maka tidak akan banyak artinya bila dipakai untuk sesuatu sasaran yang umum. Keraf (1986: 107) menyarankan agar unsur-unsur jargon dihindari dalam sebuah tulisan umum. 

Namun, faktanya penggunaan jargon-jorgon seperti itu sangat marak terjadi setiap saat di media sosial, khususnya face book. Apakah mereka saling memahami komunikasi tersebut? Hanya mereka yang berkomunikasi yang tahu. Bisa saja di antara mereka memang saling memahami maksud dari jargon yang dipakai, tetapi mungkin juga malah hanya latah memilih menggunakan jargon-jargon tersebut agar tidak terlihat "kuper" untuk jargon bagi mereka yang dianggap kurang pergaulan. Jika mengacu kepada saran Gorys Keraf di atas, komunikasi-komunikasi menggunakan jargon-jargon di media sosial, kususnya face book hendaknya dihindari.

Menulis memang merupakan sebuah seni tersendiri, seni yang mengandalkan bahasa tulis untuk memberikan informasi, pendapat, argumen atau ide-ide yang ada pada seseorang yang dituangkan dalam sebuah kalimat.  Karena face book  adalah media sosial yang sangat terbuka untuk umum dari berbagai strata sosial dengan tingkat usia, pendidikan dan latar belakang sosial budaya yang berbeda, hendaknya pemakaian jargon-jaorgon dihindari, setidaknya dikurangi agar komunikasi berlangsung efektif. 

Tulisan yang baik merupakan tulisan yang dapat menyalurkan informasi yang bermanfaat dan mudah dipahami oleh pembacanya. Ketika kita menulis hendaknya menyesuaikan dengan tema tertentu dan sesuai dengan target pembacanya, misalkan target pembacanya adalah siswa sekolah dasar (SD) maka bahasa tulis yang kita pakai adalah bahasa anak SD. 

Jangan sampai targetnya anak SD, dalam membuat sebuah tulisan menggunakan bahasa yang sulit dipahami atau menggunakan istilah-istilah yang belum familiar ditelinga anak SD. Hal semacam ini dapat dikatakan bahwa tulisan tersebut tidak sesuai atau tidak cocok untuk anak usia SD.

Lalu, apa dampaknya pada dunia tulis menulis, khususnya di media sosial? Jelas sekali dampaknya bahwa apabila memakai bahasa jargon dalam dunia tulis menulis yang dibaca oleh orang awam atau bukan bidangnya, tentu akan sangat membingungkan dan membuat sebuah tulisan tidak efektif dalam menyampaikan suatu informasi kepada pembaca. 

Maka dari itu, menulis hendaknya harus menggunakan bahasa yang sederhana, kesederhanaan dalam penulisan sangat disarankan untuk penulisan di media massa karena media massa memberikan informasi kepada orang banyak. 

Bahasa Jargon dipakai pada komunitas atau organisasi serta lingkungan tertentu, yang bertujuan untuk memudahkan komunikasi antar anggota dan merahasiakan komunikasi antar anggotanya supaya apa yang mereka katakan tidak diketahui oleh orang lain (dirahasiakan).

Jika kita merasa bangga dan ingat dengan bahasa kita sendiri, yaitu bahasa Indonesia, mengapa jargon HWD kita tidak ganti saja dengan "Selamat Menempuh Hidup Baru!" atau GWS diganti saja dengan"Semoga Cepat Sembuh!"Begitu juga dengan istilah-istilah lainnya yang sesungguhnya ada dalam kosa-kata bahasa Indonesia sehingga semua lapisan masyarakat yang membaca akan memahami dengan baik maksud tulisan tersebut. 

Janganlah latah berjargon hanya karena tidak ingin kelihatan kurang pergaulan. Tetapi,  marilah kita banggga dengan bahasa kita sendiri, yaitu bahasa Indonesia. Apalagi jika dirunut dalam sejarah perjuangan bangsa kita, bahwa bahasa Indonesia menjadi peran sentral bagi tumbuhnya rasa persatuan di kalangan masyarakat kita yang terdiri dari berbagai suku dan bahasa daerah untuk berjuang melawan penjajah sehingga kita bisa menikmati alam kemerdekaan seperti sekarang ini. 

Bahasa kita memang bersifat terbuka untuk menerima pengaruh dari bahasa asing maupun bahasa daerah. Namun, kita juga mesti selektif menerima pengaruh masuknya kosa-kata  tersebut yang memang benar-benar kita butuhkan karena ketiadaan dalam khazanah kosa kata bahasa Indonesia.

Perkembangan media massa turut andil dalam mengenalkan bahasa jargon pada masyarakat umum, banyak istilah-istilah yang bersifat ambigu, abstrak dan kurang spesifik yang sering kita dengar atau kita baca dari media massa. Mereka menulis apa adanya sesuai dengan yang mereka dengar atau mereka rekam, tanpa mengetahui bahwa pembacanya adalah umum dari segala usia dan dari latar belakang yang berbeda. 

Sebagai contoh dalam liputan mengenai ekonomi, pakar ekonomi mengatakan kata "inflasi", kata ini merupakan bahasa jargon dibidang ekonomi. Media massa sebagai komunikasi publik hendaknya mengurangi pemakaian jargon-jargon khusus dalam penulisan karena orang-orang terdidik belum tentu juga mengetahui makna bahasa jargon yang digunakan. Pemakaian jargon ini bisa dikurangi, menggantinya dengan kosa-kata sehari-hari agar memudahkan pembaca memahami sebuah kalimat.

Masih banyak lagi contoh penggunaan bahasa jargon yang sering kita temui, yang menimbukan pro dan kontra. Pemakaian bahasa jargon, ada yang setuju dengan dengan alasan pemakaian bahasa jargon ini akan menambah kosa kata dan ada yang tidak setuju dengan pemakaian bahasa jargon dengan alasan sulit untuk memahami istilah tersebut dan harus mencari artinya terlebih dahulu.

Dan, saya sependapat dengan Gorys Keraf yang menganjurkan kepada masyarakat pengguna media sosial untuk menghindari/mengurangi menggunakan jargon-jargon  agar jati diri kita sebagai bangsa Indonesia tetap terjaga dan bermartabat dengan menghargai bahasa kita sendiri.

Seperti kata peribahasa, "Bahasa menunujukkan bangsa" yang mengungkapkan baik-buruk sifat dan tabiat orang dapat dilihat tutur kata atau bahasanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun