Bulir-bulir embun meretas tipis bersama malam, membasahi daun-daun pohon salak yang menari pilu bersama lekukan angin malam. Gesekan antar daun-daun berduri kecil itu bagai harpa alam yang menyenandungkan kidung kegetiran. Aku terduduk, termangu dalam gigil dinginnya Sasih Karo.
Malam itu rembulan lagi enggan muncul. Hanya bintang-bintang kecil yang berkedap-kedip menghiasi langit. Bersama tujuh karibku, aku meratapi sunyi di keheningan malam di atas pelepah pohon nira yang telah mengering di pedalaman kebun salak.
Berjejer rapi bertujuh, melepaskan pandangan ke arah selatan di pebukitan Pedalit. Sebuah perbukitan yang menjadi batas desaku dengan desa tetangga, Desa Selumbung, wilayah kecamatan Manggis. Malam itu kami sedang menunggu.Â
Ya, menunggu cahaya misterius yang akan menyemburat di kaki langit Bukit Pedalit. Yang menurut orang-orang tua di kampungku di kenal dengan istilah "sundih leak". Maklumlah, saat itu di sekitar Bukit Pedalit ada orang yang meninggal. Mayatnya masih di semayamkan di rumahnya. Jadi, itulah yang dianggap sebagai pemicu akan munculnya sinar-sinar misterius itu.
Waktu menunjukkan pukul 23.00. Hari kedua kami mencari hiburan malam yang sensasional dan mendebarkan. Suasana hening. Tiba-tiba ada sinar menyemburat dari arah barat yang diiringi langkah-langkah kaki menapaki jalan setapak di kampungku, yang masih gulita tanpa diterangi aliran listrik. Langkah-langkah kaki itu kian mendekat, bersama cahaya yang menembus kegelapan malam.
"Huhuuk...huhuuk...huhukkk". Suara batuk-batuk itu menyadarkan aku bersama teman-teman lainnya akan adanya orang yang sedang melintas di jalanan setapak memanfaatkan penerang lampu senter.
"Kruek...kruekkk...kreuekkk". Tiba-tiba saudara sepupuku, I Ketut Yadnya mengeluarkan suara menyerupa kera. Mungkin ia bermaksud menakut-nakuti orang yang sedang melangkah di jalan itu. Mungkin juga ia ingin menunjukkan sikapnya yang berani dalam kegelapan.
Langkah kaki itu tiba-tiba terhenti tepat di jalanan bawah tempat duduk kami. Dengan sinar lampu senter di tangannya, terlihat sekilas bayangan jika orang itu adalah lelaki. Ya, seorang lelaki bertubuh jangkung berkain sarung yang menghentikan langkahnya, lalu buang air kecil sesukanya di pinggir jalan.
Saudaraku, I Ketut Yadnya memang agak jahil dan suka usil. Ia tak menghentikan mengeluarkan suara-suara meniru kera itu, yang memancing sang pengembara malam mengarahkan cahaya lampu senternya ke arah kami di tengah perkebunan salak.
"Hehem...! Ngujang drika? (Sedang ngapain di sana?)" Tiba-tiba sepotong pertanyaan meluncur dari mulut lelaki tua yang melintas malam itu sambil menyembulkan asap rokok. Walaupun malam pekat hanya disaksikan cahaya senter dan kerlip bintang, kami kenal betul siapa pemilik suara itu. Suara itu sungguh tidak asing lagi di telingaku, juga kerabatku.
"Itu pasti suara We Tantra," pikirku. We Tantra di kampungku dikenal sebagai sosok orang tua yang selalu berpenampilan necis dan berprofesi sebagai 'jero balian'. Rasanya sangat wajar jika ia tidak takut ketika diuji nyalinya oleh sepupuku.
"Mebalih sundih, We (Menonton cahaya, We)," tanpa komando kami serempak menyahuti pertanyaan We Tantra, yang sepertinya juga telah mengenali kami yang berbasah embun di kebun salak di malam gulita.
Mendengar jawaban kami, lelaki paruh baya itu pun ngeloyor pergi. Seakan ia telah paham dengan maksud dan tujuan kami, tengah malam rela kumpul di tengah rerimbunan. Ia berjalan ke arah timur sembari mengayunkan lampu penerang di genggamannya. Mungkin hendak menuju rumahnya.
Malam kian larut. Suara jengkrik mengering saling bersahutan di balik gundukan tanah. Ringkik belalang di ranting pepohonan turut melantunkan kidung alam. Sesekali, lolong anjing terdengar di kejauhan. Kunang-kunang berkelap-kelip menambah aura mistis malam itu. Kami tetap bertahan menanti munculnya sinar-sinar mistirius itu.
"Belum juga muncul", gumamku. Padahal, sehari sebelumnya, sekitar pukul 23.0 sudah ada beberapa sinar yang menari-nari menyerupa pesta kembang api di atas rumah duka. Lampu petromak yang menjadi penerang di rumah duka itu pun menjadi samar-samar, cahayanya timbul-tenggelam. Mungkin karena pengaruh 'sundih lak' itu.
Sekitar 30 menit sejak lenyapnya langkah We Tantra itu, tiba-tiba muncul lagi cahaya sinar yang redup dari arah barat menembus pekatnya malam. Sinarnya kian mendekat. Siapa lagi gerangan yang beraktivitas di tengah malam, pikirku. Rupanya, tak ada langkah kaki yang mengiringi. Tidak ada suara orang batuk-batuk yang terdengar. Hanya seberkas sinar yang kian mendekat.
Angin berembus kencang, menelisik sekujur tubuhku. Aku mulai merasakan dinginnya udara malam. Tiba-tiba, bulu kudukku jadi merinding ketika cahaya misterius itu sesaat berhenti tepat di hadapanku. Aku berusaha tetap tenang dan diam menyembunyikan rasa takutku di hadapan enam sahabatku yang lain.
Sesaat kemudian, tiba-tiba sinar misterius itu bergerak ke arah timur dari hadapan kami. Rupanya kejadian aneh ini dilihat juga oleh sahabat yang lain. "Lari...!" Entah siapa yang mengomando di antara kami, tiba-tiba kami sepakat bertujuh untuk lari di belantara hutan salak tanpa menghiraukan duri-durinya yang menggigiti tubuh kami.Â
Pokoknya, lari secepatnya menyelamatkan diri masing-masing, lalu masuk kamar dan mengunci pintu rapat-rapat. Sebagian sahabatku pulang ke rumahnya masing-masing, sedangkan aku bermalam di rumahnya I Ketut Yadnya. Ia memintaku bermalam di rumahnya. Rupanya keberaniannya ketika menakut-nakuti We Tantra tidak terbukti. Ia justru takut tidur sendiri, tak bernyali.
Malam kian larut, sinar lentera kian mengecil. Mungkin minyak tanahnya sudah mulai menipis dan akan habis. Kutarik selimut dan mencoba memejamkan mata melupakan kejadian yang baru saja dialami.Â
Rupanya sejirigen "tuak" yang dinikmati bersama sejak petang harinya di pinggir jalan di depan balai banjar tidak mempan membesarkan nyali kami untuk menghadapi kenyataan di luar dugaan itu.
Sekitar bulan Juni tahun 1989 itu, masyarakat Bali umumnya melaksanakan upacara Pitra Yadnya, 'Ngaben'. Saat itu, kata orang-orang tua masyarakat yang masih memiliki sawa diimbau oleh Parisada Hindu Darma Indonesia (PHDI) untuk melaksanakan upacara Pengabenan, karena akan ada upacara besar Panca Bali Krama di Pura Besakih. Masyarakat di kampungku di Banjar Pengawan, Desa Sibetan pun mematuhi imbauan dari PHDI itu. Beberapa keluarga melaksanakan yadnya tersebut secara serentak, yang dulu dikenal dengan istilah Sorogan.
Salah satu keluarga yang melaksanakan ritual itu adalah keluarga I Nyoman Dangin Badengan. Nah, saat pelaksanaan ritual 'Ngaben' keluarga ini terjadi peristiwa yang sangat ganjil. Peristiwa itu amatlah tragis dan mengundang perhatian masyarakat desa. Betapa tidak, dua hari sebelum puncak acara Pengabnan, tiba-tiba musibah menghampiri keluarga, para tamu, sekeha gong, sampai Ida Pinandita. Mereka semua terjangkit penyakit diare yang hebat.Â
Lambatnya pertolongan, serta minimnya obat-obatan telah menyebabkan jatuhnya beberapa korban jiwa. Salah satu korban meninggal saat itu adalah Meme Dauh, istri dari We Ketut Dauh, yang nota bene masih kerabat dari yang punya hajatan Pengabnan. Kesibukan keluarga ini telah menyebabkan keterlambatan memberikan pertolongan.Â
Setelah meninggal pun, mayatnya telat mendapatkan pengawetan. Masyarakat desa biasa memanfaatkan Formalin sebagai pengawet agar mayat tidak berbau dan membusuk. Karena kesibukan menjelang puncak acara Pengabnan, sementara mayat Meme Dauh disemayamkan di pondoknya di Bukit Pedalit. Hal inilah yang menjadi pemicu orang-orang di kampungku ingin menonton atraksi sinar-sinar mistirius di kaki langit Bukit Pedalit.
Kelompokku adalah salah satunya yang memanfaatkan moment itu sebagai hiburan. Maklumlah, saat itu aku sedang menjalani libur semesteran di kampung halaman. Hidup di kampung sangat sulit mendapatkan hiburan.Â
Apalagi, aliran listrik belum sampai di kampungku saat itu. Televisi menjadi barang elite dan langka. Hanya para keluarga orang kaya, yang bisa dihitung dengan jari yang memiliki pesawat televisi, dan itu pun tv hitam-putih memanfaatkan ACCU sebagai sumber energinya. Jadilah malam-malam di kampung dilakoni dengan kongko-kongko di bawah kedip bintang dan sinar rembulan, sambil menikmati minuman tuak khas Karangasem. "Sundih leak" itu ibarat atraksi pesta kembang api yang menarik untuk ditonton.
Kokok ayam sesekali terdengar. Cahaya mentari terlihat letih bersimpuh di sudut kamar dari celah-celah kluster tembok rumah, membuatku terjaga. Aku segera mohon diri kepada sepupuku yang masih tergolek di tempat tidur tuk beranjak pulang. Tawaran minum kopi dari bibiku, aku tampikkan.Â
Aku bergegas mohon pamit untuk pulang. Dalam perjalanan pulang, aku mampir dan bercerita tentang kejadian semalam kepada Meme Komang. Meme Komang yang rumahnya tidak jauh dari tempatku menyaksikan sinar mintis itu.Â
Menurut kabar burung dari masyarakat sekitar, Meme Komang dikenal cukup mumpuni ilmu hitamnya. Menurut cerita, jika beliau keluar dari pekarangan rumahnya pada petang hari, maka orang lain katanya akan melihatnya berubah rupa. Entah disadari apa tidak, tetapi itulah cerita orang-orang tua di kampungku.
"Me, ibi peteng dugas mebalih sundih, tiang ulungin sundih. Takut tiang, tur melaib jak makejang. Warnan sundih putih Me," ceritaku kepadanya.
(Me, kemarin malam pada saat menonton sinar mistis, saya dijatuhi oleh sinar itu. Saya takut, dan lari semuanya. Warna sinar itu putih Me)
"Aget cai sing amahe! (Syukur kamu tidak dimakan!)" Hanya itu jawaban yang aku terima dari Meme Komang. Dan, aku pun melengos pulang. Sejak saat itu, acara nonton bareng "sundih leak" itu pun berakhir sudah.
#Sibetan, Juni 2018
Penjelasan istilah:
- We: sebutan untuk lelaki yang sudah berumur
- Meme: sebutan untuk wanita yang sudah berumur
- Sorogan: istilah untuk upacara pembakaran mayat secara massal
- Ngaben: upacara pembakaran mayat
- Sawa: istilah mayat masyarakat Hindu Bali yang belum diaben/diupacarai
- Tuak: minuman tradisional dari pohon nira
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H