Mohon tunggu...
Wayan Kerti
Wayan Kerti Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Sundih Leak

2 Juli 2018   07:15 Diperbarui: 3 Juli 2018   19:33 3255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: nikonschool.it

Salah satu keluarga yang melaksanakan ritual itu adalah keluarga I Nyoman Dangin Badengan. Nah, saat pelaksanaan ritual 'Ngaben' keluarga ini terjadi peristiwa yang sangat ganjil. Peristiwa itu amatlah tragis dan mengundang perhatian masyarakat desa. Betapa tidak, dua hari sebelum puncak acara Pengabnan, tiba-tiba musibah menghampiri keluarga, para tamu, sekeha gong, sampai Ida Pinandita. Mereka semua terjangkit penyakit diare yang hebat. 

Lambatnya pertolongan, serta minimnya obat-obatan telah menyebabkan jatuhnya beberapa korban jiwa. Salah satu korban meninggal saat itu adalah Meme Dauh, istri dari We Ketut Dauh, yang nota bene masih kerabat dari yang punya hajatan Pengabnan. Kesibukan keluarga ini telah menyebabkan keterlambatan memberikan pertolongan. 

Setelah meninggal pun, mayatnya telat mendapatkan pengawetan. Masyarakat desa biasa memanfaatkan Formalin sebagai pengawet agar mayat tidak berbau dan membusuk. Karena kesibukan menjelang puncak acara Pengabnan, sementara mayat Meme Dauh disemayamkan di pondoknya di Bukit Pedalit. Hal inilah yang menjadi pemicu orang-orang di kampungku ingin menonton atraksi sinar-sinar mistirius di kaki langit Bukit Pedalit.

Kelompokku adalah salah satunya yang memanfaatkan moment itu sebagai hiburan. Maklumlah, saat itu aku sedang menjalani libur semesteran di kampung halaman. Hidup di kampung sangat sulit mendapatkan hiburan. 

Apalagi, aliran listrik belum sampai di kampungku saat itu. Televisi menjadi barang elite dan langka. Hanya para keluarga orang kaya, yang bisa dihitung dengan jari yang memiliki pesawat televisi, dan itu pun tv hitam-putih memanfaatkan ACCU sebagai sumber energinya. Jadilah malam-malam di kampung dilakoni dengan kongko-kongko di bawah kedip bintang dan sinar rembulan, sambil menikmati minuman tuak khas Karangasem. "Sundih leak" itu ibarat atraksi pesta kembang api yang menarik untuk ditonton.

Kokok ayam sesekali terdengar. Cahaya mentari terlihat letih bersimpuh di sudut kamar dari celah-celah kluster tembok rumah, membuatku terjaga. Aku segera mohon diri kepada sepupuku yang masih tergolek di tempat tidur tuk beranjak pulang. Tawaran minum kopi dari bibiku, aku tampikkan. 

Aku bergegas mohon pamit untuk pulang. Dalam perjalanan pulang, aku mampir dan bercerita tentang kejadian semalam kepada Meme Komang. Meme Komang yang rumahnya tidak jauh dari tempatku menyaksikan sinar mintis itu. 

Menurut kabar burung dari masyarakat sekitar, Meme Komang dikenal cukup mumpuni ilmu hitamnya. Menurut cerita, jika beliau keluar dari pekarangan rumahnya pada petang hari, maka orang lain katanya akan melihatnya berubah rupa. Entah disadari apa tidak, tetapi itulah cerita orang-orang tua di kampungku.

"Me, ibi peteng dugas mebalih sundih, tiang ulungin sundih. Takut tiang, tur melaib jak makejang. Warnan sundih putih Me," ceritaku kepadanya.

(Me, kemarin malam pada saat menonton sinar mistis, saya dijatuhi oleh sinar itu. Saya takut, dan lari semuanya. Warna sinar itu putih Me)

"Aget cai sing amahe! (Syukur kamu tidak dimakan!)" Hanya itu jawaban yang aku terima dari Meme Komang. Dan, aku pun melengos pulang. Sejak saat itu, acara nonton bareng "sundih leak" itu pun berakhir sudah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun