"Mebalih sundih, We (Menonton cahaya, We)," tanpa komando kami serempak menyahuti pertanyaan We Tantra, yang sepertinya juga telah mengenali kami yang berbasah embun di kebun salak di malam gulita.
Mendengar jawaban kami, lelaki paruh baya itu pun ngeloyor pergi. Seakan ia telah paham dengan maksud dan tujuan kami, tengah malam rela kumpul di tengah rerimbunan. Ia berjalan ke arah timur sembari mengayunkan lampu penerang di genggamannya. Mungkin hendak menuju rumahnya.
Malam kian larut. Suara jengkrik mengering saling bersahutan di balik gundukan tanah. Ringkik belalang di ranting pepohonan turut melantunkan kidung alam. Sesekali, lolong anjing terdengar di kejauhan. Kunang-kunang berkelap-kelip menambah aura mistis malam itu. Kami tetap bertahan menanti munculnya sinar-sinar mistirius itu.
"Belum juga muncul", gumamku. Padahal, sehari sebelumnya, sekitar pukul 23.0 sudah ada beberapa sinar yang menari-nari menyerupa pesta kembang api di atas rumah duka. Lampu petromak yang menjadi penerang di rumah duka itu pun menjadi samar-samar, cahayanya timbul-tenggelam. Mungkin karena pengaruh 'sundih lak' itu.
Sekitar 30 menit sejak lenyapnya langkah We Tantra itu, tiba-tiba muncul lagi cahaya sinar yang redup dari arah barat menembus pekatnya malam. Sinarnya kian mendekat. Siapa lagi gerangan yang beraktivitas di tengah malam, pikirku. Rupanya, tak ada langkah kaki yang mengiringi. Tidak ada suara orang batuk-batuk yang terdengar. Hanya seberkas sinar yang kian mendekat.
Angin berembus kencang, menelisik sekujur tubuhku. Aku mulai merasakan dinginnya udara malam. Tiba-tiba, bulu kudukku jadi merinding ketika cahaya misterius itu sesaat berhenti tepat di hadapanku. Aku berusaha tetap tenang dan diam menyembunyikan rasa takutku di hadapan enam sahabatku yang lain.
Sesaat kemudian, tiba-tiba sinar misterius itu bergerak ke arah timur dari hadapan kami. Rupanya kejadian aneh ini dilihat juga oleh sahabat yang lain. "Lari...!" Entah siapa yang mengomando di antara kami, tiba-tiba kami sepakat bertujuh untuk lari di belantara hutan salak tanpa menghiraukan duri-durinya yang menggigiti tubuh kami.Â
Pokoknya, lari secepatnya menyelamatkan diri masing-masing, lalu masuk kamar dan mengunci pintu rapat-rapat. Sebagian sahabatku pulang ke rumahnya masing-masing, sedangkan aku bermalam di rumahnya I Ketut Yadnya. Ia memintaku bermalam di rumahnya. Rupanya keberaniannya ketika menakut-nakuti We Tantra tidak terbukti. Ia justru takut tidur sendiri, tak bernyali.
Malam kian larut, sinar lentera kian mengecil. Mungkin minyak tanahnya sudah mulai menipis dan akan habis. Kutarik selimut dan mencoba memejamkan mata melupakan kejadian yang baru saja dialami.Â
Rupanya sejirigen "tuak" yang dinikmati bersama sejak petang harinya di pinggir jalan di depan balai banjar tidak mempan membesarkan nyali kami untuk menghadapi kenyataan di luar dugaan itu.
Sekitar bulan Juni tahun 1989 itu, masyarakat Bali umumnya melaksanakan upacara Pitra Yadnya, 'Ngaben'. Saat itu, kata orang-orang tua masyarakat yang masih memiliki sawa diimbau oleh Parisada Hindu Darma Indonesia (PHDI) untuk melaksanakan upacara Pengabenan, karena akan ada upacara besar Panca Bali Krama di Pura Besakih. Masyarakat di kampungku di Banjar Pengawan, Desa Sibetan pun mematuhi imbauan dari PHDI itu. Beberapa keluarga melaksanakan yadnya tersebut secara serentak, yang dulu dikenal dengan istilah Sorogan.