Belum lagi buat bekal sekolah anak-anaknya. Jalan hidup yang ditempuh oleh kedua orangtuanya adalah sebuah pilihan demi sebuah kehidupan, dan itu rasanya sangat manusiawi dan hakiki. Jadilah serang tunas bangsa, I Kadek Mahardika harus menjadi korban dan memikul beban tanggungjawab yang begitu berat, mengorbankan kewajibannya bersekolah, mengorbankan masa riangnya untuk berkumpul dan bermain dengan teman-teman seusianya.
Namun, di batin saya justru berkecamuk mengapa ketimpangan kehidupan begitu jauh terjadi di sesama kita. Seandainya saja saya bukan wali kelasnya dan tidak melakukan kunjungan rumah (home visit), mungkin saya akan berpersepsi negatif terhadap anak tersebut, bahkan mungkin pula akan menegur atau memberinya sanksi.
Ketika hasil kunjungan saya bersama guru BK tersebut saya ceritakan di grup WhatsApp sekolah, beberapa guru pun berkomentar turut prihatin. Ada juga yang mengatakan bahwa kasus yang dialami oleh I Kadek Mahardika adalah satu di antara kasus-kasus sejenis dari anak-anak lain di sekolah kami. Sebagai guru yang sering berpindah-pindah tugas, kasus seperti ini tidaklah baru saya temukan di SMP Negeri 1 Abang. Ketika bertugas tujuh tahun (mulai tahun 1995 s.d. 2002) di SMP Negeri 1 Kubu, di SMP Negeri 2 Bebandem (2002 s.d. 2016), serta di SMP Negeri 5 Abang (satu semester tahun pelajaran 2016/2017) juga pernah menemukan dan menyelami kasus-kasus anak yang seperti itu.
Begitulah potret nyata kehidupan anak-anak didik yang pernah saya singgahi bertugas selama 22 tahun menjadi seorang guru. Jika potret buram seperti ini juga banyak terjadi di pelosok negeri, kapan negeri ini akan bangkit dan maju. Padahal wacana para pemimpin negeri ini, di pundak para anak-anak muda (para siswa) yang sekarang inilah harapan dan impian "Indonesia Emas" dicanangkan.Â
Berbagai perubahan di dunia pendidikan sudah dilakukan, mulai dari maraknya berbagai program beasiswa, perbaikan kurikulum, perbaikan sarana prasarana, sampai berbagai sistem berbasis IT sudah mulai diperkenalkan dan diterapkan di sekolah-sekolah sampai ke pelosok desa. Niat dan langkah itu tentulah mulia dengan harapan akan menghasilkan out put yang mumpuni sebagai calon-calon penerus bangsa.
Hingar-bingar abad 21 atau yang dikenal era globalisasi, seakan hanya dinikmati oleh sebagian kehidupan masyarakat yang beruntung. Mahardika-Mahardika di berbagai pelosok negeri adalah bagian dari anak-anak bangsa yang kurang beruntung di tengah-tengah kerasnya kehidupan abad 21. Sebagai seorang pendidik dan saksi potret buram kehidupan anak-anak dari keluarga yang kurang beruntung, berharap agar pemerintah, baik yang di daerah maupun di pusat mencarikan jalan keluar terhadap permasalahan yang seperti itu.
 Laporan "asal bapak senang (ABS)" istilah yang terkenal di zaman orba dari para bawahan, sudah saatnya ditinggalkan dalam bentuk laporan yang realistis. Sekali-dua kali, saya berharap para pemimpin juga turun langsung memotret kehidupan mereka. Akhirnya, semoga harapan dan doa saya mewakili mereka yang kurang beruntung bisa berbuah nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H