Kisah Home Visit Seorang Wali Kelas
Oleh I Wayan Kerti
Hujan lebat yang mengguyur wilayah Karangasem, khususnya di Kecamatan Abang pada hari Sabtu, 3 Februari 2018 sekitar pukul 15.00 Wita, tidak menyurutkan niat dan langkah saya selaku wali kelas 8-H SMP Negeri 1 Abang untuk mengunjungi anak didik saya, I Kadek Mahardika yang memang jarang masuk. Tercatat awal semester genap tahun ini saja sudah belasan kali tidak masuk dengan berbagai alasan. Koordinasi dengan guru BK, I Made Swastika, S.Pd. saya lakukan.Â
Kami berangkat bersama dengan diantar salah seorang siswa tetangga Kadek. Sekitar 20 menit perjalanan ke arah Gunung Agung, akhirnya berakhir setelah menyusuri jalan semak-semak yang kecil dan licin di tengah-tengah tanah tegalan. Nampak sebuah gubuk menyendiri di perkebunan tersebut, dan itulah katanya rumah I Kadek Mahardika, menurut petunjuk siswa yang turut mengantar.
Betapa miris dan merasa prihatin, ketika dengan mata kepala sendiri saya melihat kondisi keluarga dan kehidupan serta keadaan rumah anak didik saya, I Kadek Mahardika di Br. Dinas Pidpid Kaler Dauh Margi atau yang lebih dikenal dengan lingkungan Natar Sari, Desa Pidpid, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem-Bali. Daerah ini termasuk daerah KRB 2 pada kondisi status Gunung Agung seperti sekarang. Sore itu ternyata I Kadek Mahardika sedang menjaga dan menyuapi adiknya yang paling bungsu (usia 3 tahun).
Ketika saya tanyakan dimana ibu dan ayahnya, Mahardika dengan wajah polos menuturkan bahwa ayahnya merantau bekerja sebagai kuli proyek di kota Denpasar, dan biasanya hanya pulang sebulan sekali. Lalu, ibunya pun selalu pergi pagi-pagi sebagai buruh pengupas kelapa di Kota Amlapura dan akan kembali malam dengan di antar oleh bosnya.Â
Kakak sulungnya juga katanya merantau di Denpasar. Tinggallah Mahardika bersama dua orang adiknya yang masih kecil-kecil (satunya sudah besekolah SD). Lebih lanjut, Mahardika bercerita bahwa ia akan berangkat ke sekolah jika mendapatkan motor pinjaman dari kerabatnya. Tentang adik-adiknya, ia akan titipkan di rumah neneknya.
Berangkat dari tuturan dan melihat langsung keadaan yang sebenarnya, saya jadi berpikir dan merasa prihatin betapa berat tanggung jawab yang diemban oleh anak didik saya yang harus menjaga dan mengurus dua orang adik yang masih kecil-kecil, belum lagi ternak peliharaan orang tuanya. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi fisik dan psikologinya, dan teman saya yang guru BK pastilah lebih paham itu.
Pantaslah  jika dalam kesehariannya di sekolah, ia sering terlihat murung, tidak mau bergaul, tidak konsentrasi, dan mengantuk. Batin saya seakan mengamini juga mengapa ia malas, bahkan pada semester ini tidak pernah hadir pada mata pelajaran Penjas Orkes yang dilaksanakan pada pagi hari (laporan guru Penjas Orkes). Bagaimana ia bisa hadir, jika Mahardika kecil harus berangkat ke sekolah dengan motor pinjaman, itu pun jika ia dapat meminjam. Sedangkan angkutan pedesaan tidak menjangkau wilayah itu. Jika berjalan kaki, mungkin memerlukan waktu sejam untuk sampai ke sekolah.
Melihat kondisi rumahnya yang hanya berdindingkan ayaman bambu yang terlihat bolong-bolong, tanpa pelafon, berlantaikan tanah, tanpa listrik, sumber air bersih, apalagi tv atau HP, hati kecil saya juga serasa membenarkan jika kedua orang tuanya harus pergi membanting tulang untuk bisa menghidupi kebutuhan keempat orang anaknya. Apalagi, kehidupan di desa yang penuh dengan adat dan tradisi, sudah barang tentu juga memerlukan biaya lebih di luar biaya makan.Â
Belum lagi buat bekal sekolah anak-anaknya. Jalan hidup yang ditempuh oleh kedua orangtuanya adalah sebuah pilihan demi sebuah kehidupan, dan itu rasanya sangat manusiawi dan hakiki. Jadilah serang tunas bangsa, I Kadek Mahardika harus menjadi korban dan memikul beban tanggungjawab yang begitu berat, mengorbankan kewajibannya bersekolah, mengorbankan masa riangnya untuk berkumpul dan bermain dengan teman-teman seusianya.
Namun, di batin saya justru berkecamuk mengapa ketimpangan kehidupan begitu jauh terjadi di sesama kita. Seandainya saja saya bukan wali kelasnya dan tidak melakukan kunjungan rumah (home visit), mungkin saya akan berpersepsi negatif terhadap anak tersebut, bahkan mungkin pula akan menegur atau memberinya sanksi.
Ketika hasil kunjungan saya bersama guru BK tersebut saya ceritakan di grup WhatsApp sekolah, beberapa guru pun berkomentar turut prihatin. Ada juga yang mengatakan bahwa kasus yang dialami oleh I Kadek Mahardika adalah satu di antara kasus-kasus sejenis dari anak-anak lain di sekolah kami. Sebagai guru yang sering berpindah-pindah tugas, kasus seperti ini tidaklah baru saya temukan di SMP Negeri 1 Abang. Ketika bertugas tujuh tahun (mulai tahun 1995 s.d. 2002) di SMP Negeri 1 Kubu, di SMP Negeri 2 Bebandem (2002 s.d. 2016), serta di SMP Negeri 5 Abang (satu semester tahun pelajaran 2016/2017) juga pernah menemukan dan menyelami kasus-kasus anak yang seperti itu.
Begitulah potret nyata kehidupan anak-anak didik yang pernah saya singgahi bertugas selama 22 tahun menjadi seorang guru. Jika potret buram seperti ini juga banyak terjadi di pelosok negeri, kapan negeri ini akan bangkit dan maju. Padahal wacana para pemimpin negeri ini, di pundak para anak-anak muda (para siswa) yang sekarang inilah harapan dan impian "Indonesia Emas" dicanangkan.Â
Berbagai perubahan di dunia pendidikan sudah dilakukan, mulai dari maraknya berbagai program beasiswa, perbaikan kurikulum, perbaikan sarana prasarana, sampai berbagai sistem berbasis IT sudah mulai diperkenalkan dan diterapkan di sekolah-sekolah sampai ke pelosok desa. Niat dan langkah itu tentulah mulia dengan harapan akan menghasilkan out put yang mumpuni sebagai calon-calon penerus bangsa.
Hingar-bingar abad 21 atau yang dikenal era globalisasi, seakan hanya dinikmati oleh sebagian kehidupan masyarakat yang beruntung. Mahardika-Mahardika di berbagai pelosok negeri adalah bagian dari anak-anak bangsa yang kurang beruntung di tengah-tengah kerasnya kehidupan abad 21. Sebagai seorang pendidik dan saksi potret buram kehidupan anak-anak dari keluarga yang kurang beruntung, berharap agar pemerintah, baik yang di daerah maupun di pusat mencarikan jalan keluar terhadap permasalahan yang seperti itu.
 Laporan "asal bapak senang (ABS)" istilah yang terkenal di zaman orba dari para bawahan, sudah saatnya ditinggalkan dalam bentuk laporan yang realistis. Sekali-dua kali, saya berharap para pemimpin juga turun langsung memotret kehidupan mereka. Akhirnya, semoga harapan dan doa saya mewakili mereka yang kurang beruntung bisa berbuah nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H