Fenomena ini justru memperlihatkan kelemahan dalam sistem kesehatan di Indonesia. Banyak orang memilih berobat ke luar negeri karena merasa bahwa kualitas layanan kesehatan di dalam negeri masih belum mencukupi. Beberapa keluhan yang sering muncul adalah kurangnya dokter spesialis di berbagai daerah, ketidakmampuan rumah sakit di luar kota besar untuk menyediakan layanan medis yang layak, serta waktu tunggu yang lama untuk mendapatkan perawatan dan diagnosis. Hal ini mengakibatkan munculnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem kesehatan lokal, yang juga memperparah masalah brain drain---di mana banyak tenaga medis berbakat Indonesia memilih bekerja di luar negeri, seperti di Singapura atau Malaysia, karena merasa fasilitas medis dan kondisi kerja di negara-negara tersebut lebih baik.Â
Dari sisi sosial, tren berobat ke luar negeri ini juga menciptakan kesenjangan akses terhadap layanan kesehatan. Wisata medis umumnya dilakukan oleh mereka yang berasal dari kalangan menengah ke atas, yang mampu membiayai perjalanan dan pengobatan di luar negeri. Hal ini membuat perbedaan yang signifikan antara kelompok yang dapat memperoleh akses ke layanan medis berkualitas di luar negeri dengan mereka yang terpaksa puas dengan layanan kesehatan yang ada di dalam negeri, meskipun terkadang kualitasnya belum optimal. Keputusan untuk berobat ke luar negeri sering kali diambil setelah pasien mengalami kekecewaan terhadap layanan yang mereka terima di dalam negeri. Banyak pasien melaporkan ketidakpuasan terhadap diagnosis atau pengobatan yang mereka terima di rumah sakit lokal yang akhirnya mendorong mereka mencari solusi di negara lain. Hal ini memperkuat rasa tidak percaya terhadap dokter dan fasilitas kesehatan di dalam negeri.[1]
Respon Pemerintah Terhadap Fenomena Medical Tourism
Sebagai respons terhadap situasi ini, pemerintah Indonesia mulai berupaya memperkuat kolaborasi antara sektor kesehatan dan pariwisata melalui kerjasama lintas kementerian. Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pariwisata telah menandatangani kesepakatan yang bertujuan untuk mengembangkan konsep medical tourism di Indonesia yang tertuang dalam HK.05.01/IV/2495/2013 dan PK 11/KS.001/Sekjen/KPEK/201. Dengan adanya kesepakatan ini, pemerintah berharap dapat menarik wisatawan asing sekaligus mengurangi arus pasien Indonesia yang memilih berobat ke luar negeri. Upaya ini melibatkan pembangunan dan peningkatan fasilitas medis dengan standar internasional yang menawarkan paket wisata untuk pasien.[3]Â
Salah satu tonggak penting dalam langkah pemerintah untuk memajukan wisata medis adalah diterbitkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 76 Tahun 2015, yang memberikan kerangka hukum bagi rumah sakit di Indonesia untuk menyediakan layanan wisata medis. Dalam peraturan ini, rumah sakit yang ingin menawarkan layanan medis kepada wisatawan harus memenuhi sejumlah syarat administratif dan teknis, termasuk memperoleh sertifikasi akreditasi tingkat nasional maupun internasional. Selain itu, peraturan ini juga mendorong kerjasama antara rumah sakit dan Biro Perjalanan Wisata (BPW) yang bertugas membantu pengaturan perjalanan wisatawan medis, mulai dari penginapan, transportasi, hingga aktivitas wisata. BPW memainkan peran penting dalam menjembatani kebutuhan layanan kesehatan dan pariwisata bagi pasien.[4,5]
Beberapa wilayah di Indonesia sudah mulai mengembangkan potensi mereka sebagai tujuan wisata medis. Salah satu contohnya adalah Bali, yang telah lama dikenal sebagai destinasi wisata internasional dan kini juga mulai menarik wisatawan medis. Pada tahun 2012, tercatat bahwa lebih dari 454.000 wisatawan asing datang ke Bali untuk mendapatkan perawatan kesehatan. Rumah sakit seperti Bali International Medical Center (BIMC) dan RSUP Sanglah menjadi contoh fasilitas kesehatan di Bali yang menawarkan layanan medis berstandar internasional dengan kombinasi dengan wisata alam dan budaya khas Bali. RSUP Sanglah telah berhasil meraih akreditasi Joint Commission International (JCI). Ini menandakan bahwa rumah sakit tersebut telah memenuhi standar internasional dalam hal keselamatan dan kualitas pelayanan kesehatan. RSUP Sanglah pertama kali meraih akreditasi JCI pada tahun 2014 dan berhasil mempertahankan akreditasi ini pada penilaian berikutnya. Keberhasilan ini juga sejalan dengan posisinya sebagai rumah sakit rujukan nasional dan pusat pelayanan kesehatan di wilayah Bali dan Indonesia bagian timur. Selain di Bali, Kota Pontianak, Kalimantan Barat juga mulai mengembangkan layanan wisata medisnya. Pemerintah setempat telah menginvestasikan dana untuk meningkatkan fasilitas kesehatan di Pontianak, seperti dengan menambahkan peralatan medis canggih, termasuk MRI dan CT scanner di Rumah Sakit Umum Daerah Soedarso. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi jumlah pasien yang memilih pergi ke Malaysia untuk mendapatkan perawatan.[4]
Kenapa Medical Tourism bisa terjadi?
Apa yang bisa dilakukan Indonesia untuk Menghadapi Push dan Pull Factors tersebut?
Dalam menghadapi fenomena wisata medis ini, Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis yang mencakup peningkatan kualitas layanan kesehatan dalam negeri serta mengatasi faktor-faktor pendorong (push factors) dan penarik (pull factors) yang menyebabkan pasien memilih berobat ke luar negeri. Langkah-langkah yang diambil tidak hanya harus bersifat jangka pendek, tetapi juga perlu dirancang agar berkelanjutan, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap layanan kesehatan dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada fasilitas medis di luar negeri. Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah: