Penyebab mengapa Vaksin AstraZeneca berbahaya diyakini karena adanya hubungan dengan Mediator lokal dan hubungan antara peradangan, kelainan koagulasi, dan mikrotrombosis dilaporkan adalah perangkap ekstraseluler neutrofil (NETs), dalam proses yang disebut NETosis.Â
Mediasi ini terjadi pada kedua tingkat, lokal (mikrovaskular) dan sistemik (makrovaskular), oleh karena itu, NET dapat memasuki pembuluh darah dan menyebabkan aktivasi trombosit (melalui reseptor Toll, TLR), aktivasi faktor V, dan pembentukan trombin. NET adalah struktur ekstraseluler besar seperti jaring yang terdiri dari protein sitosol dan granula yang berkumpul pada kerangka kromatin, dan memiliki kemampuan untuk membunuh patogen.Â
Mekanisme ini dapat terjadi karena tidak adanya respons sitokin sistemik yang muncul. Kelainan koagulasi dapat menyebabkan penyakit penyerta dan kejadian seperti VTE (Vena Tromboemboli), stroke, diabetes, paru-paru, serangan jantung, cedera ginjal akut, dan cedera hati.[5]
Pada kenyataannya, meskipun banyak orang mempertanyakan keputusan ini, regulator obat-obatan Eropa menyatakan bahwa vaksin AstraZeneca tidak meningkatkan risiko pembekuan darah secara umum. Kesalahan dalam proses manufaktur yang awalnya tidak diakui oleh ilmuwan menyebabkan hasil parsial dari uji klinis pertama vaksin COVID-19 AstraZeneca sendiri.Â
Selain itu, sejumlah negara sempat membatasi vaksin AstraZeneca kepada orang muda karena kurangnya informasi tentang perlindungan vaksin terhadap orang tua. Oleh sebab itu, miliaran dosis vaksin COVID-19 AstraZeneca diketahui didistribusikan ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, ditambah harganya yang relatif murah.[3]
Kebijakan Vaksin AstraZeneca di Indonesia
Â
Emergency Use Authorization (EUA) vaksin COVID-19 AstraZeneca disetujui BPOM pada 22 Februari 2021 dan lebih dari seratus kejadian terkait trombosis dengan thrombocytopenia syndrome (TTS) atau pembekuan darah telah dilaporkan oleh media Inggris dan beberapa media nasional.Â
BPOM telah memantau keamanan vaksin COVID-19 AstraZeneca dalam pemantauan Post Authorization Safety Study (PASS). Kementerian Kesehatan dan Komite Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KOMNAS PP KIPI) melakukan penilaian keamanan vaksin di Indonesia. Penilaian ini termasuk surveilans aktif terhadap Kejadian Ikutan dengan Perhatian Khusus (KIPK) pada program vaksinasi COVID-19 pada 14 rumah sakit sentinel dari Maret 2021 hingga Juli 2022.[3,6]
Â
Hasil yang didapatkan dari kajian BPOM adalah pemberian vaksin COVID-19 AstraZeneca memiliki risiko efek samping yang lebih kecil daripada manfaatnya. Hal ini juga telah dikaji WHO yang menunjukkan bahwa kasus TTS yang terkait dengan vaksin AstraZeneca dikategorikan sebagai sangat jarang atau kurang dari 1 kasus dalam 10.000 kasus. Kemudian, kejadian TTS sangat jarang terjadi pada periode 4 sampai 42 hari setelah diberikannya dosis. Apabila diluar rentang waktu tersebut, maka tidak valid apabila disebabkan oleh vaksin COVID-19 AstraZeneca.[6]