Potensi para kader sangat besar karena altruismenya yang tinggi. Di tengah pandemi dan ketakutan masyarakat untuk mendatangi puskesmas, beberapa kader bercerita bagaimana mereka mengantarkan sendiri para orangtua bayi untuk imunisasi. Tim kader kesehatan juga tampak solid dan bersemangat; dari diskusi penulis dengan beberapa kader Posyandu, ilmu yang mereka dapatkan saat ini biasanya merupakan turun-temurun dari kader-kader sebelumnya.Â
Walau kebingungan mereka dapat ditanyakan langsung kepada nakes, belum ada pelatihan resmi guna meningkatkan pengetahuan para kader. Tingkat pengetahuan kader juga diteliti dan direkomendasikan pelatihannya dalam sektor-sektor lain seperti resistensi antibiotik. [6] Agar efektif, pelatihan harus dilakukan secara rutin dengan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat. [14]
"Kalau seperti [kader] jumantik dan dasawisma itu kan ada [pendapatannya], ada operasionalnya. Kalau Posyandu itu nggak ada, Bu. Dulu pernah ada, 1 bulan 300 ribu, itu untuk tambahan PMT (Pemberian Makanan Tambahan), tapi semenjak pandemi itu semua ditiadakan. Jadi kader Posyandu itu memang bekerja dengan ikhlas, dengan sukarela, nggak punya [pendapatan] sama sekali, nggak punya uang kehormatan atau apapun itu tidak ada satu rupiah pun." (MA, Kader Posyandu, DKI Jakarta)
Meskipun jasanya besar bagi masyarakat, kader-kader Posyandu yang diwawancarai penulis mengaku minim remunerasi. Hal ini, termasuk tidak adanya lagi uang transportasi, tampaknya sudah dikomunikasikan oleh puskesmas bersamaan dengan kesepakatan deskripsi tugas para kader di awal. Komunikasi tersebut merupakan proses manajemen ekspektasi yang dilakukan puskesmas.Â
Walaupun para kader tampak tetap semangat bekerja secara sukarela dengan sekadar apresiasi verbal dari para petugas puskesmas, mereka mengakui akan lebih semangat bila diberi remunerasi. Terlebih lagi, remunerasi sebanyak 500 ribu rupiah per bulan didapatkan oleh rekan-rekannya di sektor lain (jumantik, dasawisma, dll.). Hal ini berujung pada fenomena rangkap tugas, misalnya orang yang sama menjadi kader Posyandu sekaligus kader dasawisma. Selain itu, banyak kader yang telah bekerja bertahun-tahun sebagai kader dengan rentang 5 hingga 23 tahun.
Sebagai perbandingan, sebuah riset pemberian insentif kader di Nigeria memiliki rentang lama kerja kader satu hingga tiga tahun. [15] Tren periode bekerja yang relatif lama, disertai dengan minimnya remunerasi, mungkin menjelaskan bagaimana para kader di Indonesia mengaku sulit mencari kader baru.
"Sekarang gini, kita kerja sosial itu kan tidak semua orang mau, mau meluangkan waktunya dari pagi sampai siang, menulis laporan yang begini-begini kan tidak semua orang mau, makanya kadernya dia lagi dia lagi." (YL, Kader Posyandu, DKI Jakarta)
Untuk hal ini, pemberian insentif sebaiknya mempertimbangkan status kader, yakni sebagai sukarelawan, atau justru sebagai karyawan. [13,16] Adapun insentif tidak harus berupa gaji uang tunai; asuransi, bonus sesuai performa, pinjaman, dan ongkos juga bisa diberikan. Selain itu, insentif nonfinansial meliputi (1) kepuasan dari pekerjaan yang dapat didapatkan dari kejelasan peran, dukungan, dan pekerjaan yang dapat ditangani; (2) akses menuju layanan seperti pendidikan, kesehatan, dan rumah; (3) pengembangan profesional; dan (4) pengakuan formal maupun informal.
[16] Hal ini memang berkaitan dengan motivasi, yang pada akhirnya berpengaruh pada rekrutmen, retensi, dan performa para kader. [17] Gabungan dari berbagai jenis insentif tersebut, dalam berbagai program, telah terbukti dapat mempertahankan motivasi. [13,18] Manajemen ekspektasi, seperti yang telah dilakukan puskesmas daerah narasumber penulis, dan menghindari janji-janji insentif yang tidak dipenuhi juga penting. [18 Kecemburuan antarsektor layanan kader juga perlu dihindari dengan memberikan insentif yang sesuai. [16]
Arah ke Depan: Optimalisasi Kader
Potensi yang dibiarkan akan selamanya diam sebagai potensi. Agar potensi kader dapat diterjemahkan menjadi peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang lebih jauh, setidaknya dua hal masih perlu diperhatikan: kapasitas dan insentif. Salah satu cara untuk memaksimalkan peran kader adalah melalui pelatihan. Selain itu, remunerasi yang sesuai dan adil juga perlu diatur untuk mengapresiasi jasa para kader lebih jauh lagi. Dalam pengaturan kebijakan tersebut, retensi dan regenerasi kader juga perlu diperhatikan agar masa depannya terjaga.Â